Jakarta (ANTARA) - Pengusaha Hendry Lie dituntut 18 penjara terkait kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada tahun 2015—2022.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) Feraldy Abraham Harahap meyakini Hendry Lie telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, seperti diatur dalam dakwaan primer.
"Ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP," kata JPU dalam sidang pembacaan surat tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Selain pidana penjara, Hendry Lie juga dituntut untuk dibebankan pidana denda sebesar Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 1 tahun.
JPU juga menuntut agar Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta mengenakan pidana tambahan kepada Hendry Lie berupa pembayaran uang pengganti senilai Rp1,06 triliun dengan subsider 10 tahun penjara.
Sebelum melayangkan tuntutan, JPU mempertimbangkan beberapa hal memberatkan dan meringankan. Hal memberatkan, yakni perbuatan Hendry Lie tidak mendukung program Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Hal memberatkan lainnya, yaitu perbuatan Hendry Lie telah menyebabkan kerugian negara yang sangat besar, termasuk kerugian negara dalam bentuk kerusakan lingkungan yang sangat masif, serta Hendry Lie telah menikmati hasil tindak pidananya.
"Sementara hal meringankan yang dipertimbangkan, yang ada pada diri terdakwa Hendry Lie, yaitu terdakwa belum pernah dihukum," ungkap JPU menambahkan.
Dalam kasus itu, Hendry Lie didakwa menerima uang senilai Rp1,06 triliun, melalui PT Tinindo Internusa, dari pembayaran pembelian bijih timah ilegal melalui kegiatan borongan pengangkutan sisa hasil pengolahan (SHP), sewa smelter, dan harga pokok produksi (HPP) PT Timah.
Atas perbuatannya bersama dengan para terdakwa maupun terpidana lain, Hendry Lie diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp300 triliun dalam kasus itu.
Hendry Lie didakwa sebagai pemilik saham mayoritas PT Tinindo Internusa, yang pada awalnya memerintahkan General Manager Operasional PT Tinindo Internusa Rosalina dan Marketing PT Tinindo Internusa tahun 2008-2018 Fandy Lingga untuk membuat dan menandatangani Surat Penawaran PT Tinindo Internusa perihal penawaran kerja sama sewa alat processing (pengolahan) timah kepada PT Timah.
Kerja sama diduga dilakukan bersama smelter swasta lainnya, antara lain PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, dan PT Stanindo Inti Perkasa, yang diketahuinya para smelter swasta tersebut tidak memiliki orang yang kompeten atau competent person (CP), dengan format surat penawaran kerja samanya sudah dibuatkan oleh PT Timah.
Setelah itu, Hendry Lie bersama-sama dengan Fandy dan Rosalina melalui PT Tinindo Internusa dan perusahaan afiliasi, yaitu CV Bukit Persada Raya, CV Sekawan Makmur Sejati, dan CV Semar Jaya Perkasa diduga melakukan pembelian dan/atau pengumpulan bijih timah dari penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Dengan demikian, perbuatan Hendry diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.