Jambi (ANTARA Jambi) - Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Jambi mengungkapkan, keberadaan lapis hutan 'bufferzone' (penyangga) Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di bentangan pematang Bukit Bujang Panjang kini sudah habis dibabat dan dikonversi menjadi lahan sawit oleh PT Malaka Agro Perkasa (MAP) dari Malaysia.

Seluas 13.000 hektare kawasan hutan yang berstatus bufferzone TNKS  kini sudah dikonversi menjadi lahan sawit sejak 2009, sehingga ekosistem ekologi dan kehidupan sosial di dalamnya  semakin kacau-balau,  kata fasilitator KKI Warsi Adi Junedi di Jambi, Jumat.

Saat ini,  puluhan bukit yang sebelumnya adalah kawasan hutan lebat yang menjadi rumah bagi satwa dan areal jelajah enam kelompok Suku Anak Dalam (SAD) dalam berburu serta menjadi sumber air bagi kehidupan pertanian masyarakat di tujuh  desa di tiga  kecamatan di Kabupaten Bungo telah berubah menjadi gundukan tanah merah yang baru ditanami bibit sawit.

Bencana ekologi yang disebabkan iklim dan cuaca kini sudah mengancam Jambi dan sekitarnya, karena kawasan hutan ini adalah kawasan tangkapan air bagi sedikitnnya enam anak Sungai Bantanghari yang kesediaan airnya sangat tergantung pada keberadaan hutan yang kini telah digunduli ini, katanya.

Akibat konversi yang telah dimulai PT MAP bersama dengan tiga anak perusahaan lainnya di kawasan tersebut sejak 2009, kini semakin dirasakan masyarakat desa di kawasan tersebut seperti Desa Senamat Ulu, Aur Cino, Batu Kerbau dan Pelepat.

Sawah-sawah masyarakat di desa-desa tersebut kini tidak lagi bisa mendapat pengairan yang lancar, debit air anak-anak sungai yang mengaliri desa mereka terus menyusut bahkan banyak yang sudah kering, karena mata air yang ada di ketiak-ketiak bukit sudah mengering seiring dengan terbukanya hutan yang sudah di "landclearing" tersebut.

"Sedikitnya ada lima anak Sungai Batang Bungo yang merupakan salah satu cabang utama Sungai Batanghari yang berhulu di kawasan hutan Bukit Bujang Panjang ini, yakni Sungai Batang Senamat, Lapan Panjang, Lubuk Beringin, Buat, dan Sungai Telang, yang debit airnya semakin susut dan mengecil.

Karena kondisi itu, ekosistem satwa air di sepanjang sungai itu pun sudah terganggu, populasi ikan khas sungai air deras seperti semah, medik, barau, tilan dan udang kini sudah semakin langka, dibuktikan dengan tingkat produksi Lubuk Larangan yang merupakan bentuk konservasi sungai oleh warga yang kini terus menurun.

Menurut dia, biasanya setiap kali panen yang umumnya dilakukan sekali dalam setahun bisa menghasilkan ikan sampai tiga ton, saat ini panen yang diperjarang hingga sekali dalam dua tahun hasilnya bahkan tidak sampai satu ton.

KKI Warsi mengindikasikan, aktivitas ekspansi dan konversi yang dilakukan perusahaan dari Malaysia yang sejatinya adalah perusahaan pertambangan yang sebelumnya beroperasi di Kalimantan adalah untuk mengincar potensi tambang yang memang tersimpan dalam kawasan bentang Bukit Bujang Panjang.

"Memang dari hasil survei dan penelitian bahkan oleh penjajah Belanda dulunya kawasan ini telah dipetakan sebagai kawasan yang mengandung potensi emas, bijih besi, batu bara dan mineral lainnya," ujar dia.

Namun, karena PT MAP yang induknya adalah PT Harum Energi tersebut melihat kawasan tersebut masih hutan maka mereka menyiasati dengan membentuk perusahaan perkebunan dan HTI guna mendapatkan izin dari Kemenhut untuk mengelola kawasan hutan tersebut.

"Strategi mereka adalah kuasai dulu seluruh lahannya, baru selanjutnya dikembangkan ke pertambangan yang mereka inginkan, karena itu mereka mendirikan PT MAP untuk mendapatkan izin pengelolaan HTI, mereka juga mendirikan tiga perusahaan satu grup lainnya, yakni Citra Sawit Harum (CSH), Sawit Harum Lestari (SHL), dan Sawit Harum Makmur (SHM) yang bergerak mendapatkan izin perkebunan sawit," tegasnya.(PSO-144)

Pewarta:

Editor : Edy Supriyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2012