(Sosialisasi Penggunaan Obat Generik Berlogo)

Kota Jambi (ANTARA JAmbi) - Penggunaan obat secara tradisional mungkin sama tuanya dengan sejarah peradaban manusia itu sendiri.

Obat pada mulanya diramu dan diracik berdasar pada pengalaman empirik manusia; bahwa bagian-bagian dari tumbuhan atau hewan tertentu dapat menyembuhkan penyakit tertentu pula pada manusia.

Dalam masa ini, proses pembuatan obat-obatan dapat dikatakan cukup sederhana dan tanpa memerlukan biaya yang besar.

Sesuai dengan watak modernisme abad 20 yang bertekan pada nilai-nilai ilmiah, maka dalam perkembangannya, bahan-bahan organik dan anorganik yang akan dibuat menjadi obat sintetik harus melewati serangkaian penelitian dan uji coba ilmiah. yang kadang memakan waktu panjang serta biaya yang tidak sedikit.

Akumulasi biaya yang diperlukan dalam sebuah penelitian untuk satu jenis obat, mulai dari isolasi atau sintesis senyawa kimia, uji praklinik dan uji klinik sampai diperolehnya satu jenis obat, dapat mencapai angka 500 juta dollar AS.

Angka ini mungkin fluktuatif, sebab beberapa sumber lain menyatakan, anggaran tersebut dapat saja berkisar pada 800 juta dollar AS.

Belakangan Profesor Dra Arini Setiawati dari Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menengarai saat ini biaya penelitian dan pengembangan satu jenis obat baru membutuhkan dana sebesar 900 hingga 1,8 miliar dollar AS, dengan rentang waktu antara 12-15 tahun.

Demikianlah, setelah diproduksi secara massal, maka berlakulah regulasi pasar dalam menentukan harga obat-obatan. Ongkos produksi ini akan semakin berlipat-lipat sebab produsen obat harus mengeluarkan royalti bagi ilmuwan yang menemukan obat tersebut. Atau mempertimbangkan ulang biaya penelitian dan pengembangan obat yang mereka ciptakan.

Jenis obat inilah yang kemudian dikenal sebagai obat paten—dengan masa paten yang mencapai 20 tahun. Dengan hak paten yang dibeli oleh perusahaan, maka monopoli obat yang diproduksi sangat mungkin terjadi, sehingga harganya tentu saja disesuaikan dengan hitung-hitungan si produsen.

Angka-angka ini jelas tidak berhenti sampai di sana. Setelah dikemas semenarik mungkin, agar obat-obatan yang diproduksi dapat dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat secara luas, maka diperlukan sebuah promosi, yang anggarannya juga bisa lebih besar dari ongkos produksi barang atau obat-obatan itu sendiri. Maka tidak heran, harga obat menjadi mahal di pasaran.

Mahalnya harga obat di Indonesia

Di Indonesia, faktor lain yang membuat harga obat tetap melambung di awang-awang adalah terutama pada pasokan bahan baku yang masih saja harus diimpor dari negara lain.

Banyaknya penggunaan bahan impor ini sangat mempengaruhi tingginya harga obat. Sehingga biaya pembelian obat-obatan saat berobat di rumah sakit dapat mencapai 40 persen dari total biaya yang harus dikeluarkan oleh si pasien.

Mahalnya biaya perobatan ini membuat M Yusuf Yakub, (67) seorang pasien yang berobat di salah satu rumah sakit di Jambi, pada 12 Juni 2012 lalu mengeluh. Padahal, beberapa bulan sebelumnya, kakek lima cucu yang cenderung terserang asam urat dan reumatik akibat pola makan yang serampangan ini, justru mengeluarkan biaya yang jauh lebih murah untuk jenis perobatan yang sama atas penyakit yang dideritanya.

Menurut dia, obat asam urat yang dibelinya dengan harga mahal itu memang berpenampilan menarik, kemasannya berwarna dan obatnya juga warna cerah, sehingga sangat meyakinkan dirinya, bahwa obat tersebut mampu meredakan sakit pada persendian kakinya. Namun harganya sangat mahal untuk ukuran dirinya, apalagi dibanding dengan obat sebelumnya yang dia beli dengan harga murah.

“Satu butirnya Rp7 ribu, saya belinya satu tepek dengan harga Rp70 ribu. Setelah saya makan obatnya, sakit saya memang reda. Sama dengan obat yang saya beli dengan harga murah beberapa bulan lalu. Awalnya saya pikir harga yang mahal menentukan kualitas obat, tapi ternyata sama saja. Sama-sama dapat meredakan dan mengobati sakit saya. Kalau begitu untuk apa saya bayar lebih mahal, kalau ada yang murah?” katanya.

Diakuinya, obat yang dia bayar lebih murah itu memang berpenampilan biasa saja; tidak bermerek dan kemasannya juga cenderung tidak menarik. Harga pertepeknya hanya Rp9 ribu hingga Rp11 ribu.

Penasaran dengan soal itu, pensiunan BUMN itu kemudian meminta cucunya untuk mencari tahu sebab hal itu. Si cucu yang merupakan generasi dunia maya (internet) ini langsung berselancar dan melakukan pencarian di google.

Alhasil diketahui obat yang direkomendasikan dokter untuk asam urat dan reumatik sang kakek pada waktu yang lalu itu adalah jenis obat generik. Dan pada 12 Juni itu, dokter mungkin lupa—atau sengaja? Sehingga mencantumkan obat paten (bermerek) pada salinan resep yang harus ditebus oleh kakek tersebut.

“Obat yang kakek beli dengan harga murah itu adalah obat generik, dan obat yang harganya mahal, adalah obat paten atau bermerek. Paten bukan berarti hebat atau manjur, tapi adalah lisensi atau merek dagang yang harus dibayarkan produsen atas penggunaan hak penemuan sesuatu barang atau dalam hal ini adalah obat-obatan, dan itulah salah satu biaya yang musti kita tanggung sebagai konsumen,” kata sang cucu.

Faktor yang membuat obat generik dengan obat paten memiliki selisih harga yang sangat jauh, meski khasiatnya sama-sama manjur adalah karena obat generik berpenampilan biasa saja, kemasan monoton, dan tidak bermerek. Lagi pula penjualan obat-obatan generik biasanya tidak dipromosikan.

Produsen juga tidak harus membayar lisensi kepada penemu obat atau perusahaan awal, sebab masa patennya sudah habis. Sehingga biaya produksinya dapat ditekan serendah mungkin. Harga obat generik juga diatur oleh pemerintah dengan harga eceran tertinggi (HET). Berbeda dengan produksi obat bermerek atau obat paten yang segala sesuatunya harus dihitung.

Diterangkan sang cucu, cara mengenali obat generik sangat mudah. Di Indonesia, pada kemasan obat generik terdapat logo lingkaran hijau bergaris-garis putih dengan tulisan "generik" di bagian tengah lingkaran.

Logo menunjukkan bahwa obat tersebut adalah jenis Obat Generik Berlogo (OGB) yang telah lulus uji kualitas, khasiat dan keamanan. Garis-garis putih pada logo menyatakan bahwa obat tersebut dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Entah benar-benar paham atau tidak, kakek warga Kelurahan Talang Jauh Kecamatan Jelutung, Kota Jambi ini manggut-manggut mendengar penjelasan sang cucu. Namun bisa jadi, si kakek adalah representasi dari sebagian besar masyarakat Indonesia yang kurang memiliki pengetahuan tentang jenis obat, produksi dan regulasinya, sehingga mereka acap salah kaprah dalam memahami obat-obatan yang mereka beli, utamanya terkait dengan kandungan zat-zat aktif dalam obat dan harganya.

Minimnya pemahaman sang kakek terhadap hal tersebut berkebalikan dengan pemahaman sebagian besar masyarakat di kota-kota negara maju. Mereka umumnya sangat paham dan mengerti regulasi obat-obatan, termasuk kandungan zat-zat aktif yang dikandungnya.

Obat Generik Berlogo

Dalam beberapa referensi disebutkan, di negara-negara maju hanya dikenal dua jenis obat, yakni obat generik dan obat paten. Namun di Indonesia, obat generik kiranya masih dibedakan menjadi dua macam, yakni Obat Generik Berlogo (OGB) dan obat generik bermerek.

Yang terakhir ini adalah jenis obat yang dipasarkan dengan menggunakan nama dagang/merek tertentu, sebab itu harganya masih jauh lebih mahal dari Obat Generik Berlogo, karena diproduksi dengan merek dagang.

Sementara itu OGB adalah jenis obat-obatan yang dibuat berdasarkan program pemerintah RI sejak tahun 1989. Laiknya program pemerintah, OGB dipasarkan tidak menggunakan bendera atau merek dagang tertentu. Obat-obatan tersebut diproduksi dan dijual dengan apa adanya. Artinya tanpa mengunakan nama, atau kemasan yang umum untuk menarik minat pembeli.

Penjualan OGB dilakukan tanpa promosi yang jor-joran seperti iklan obat-obatan bermerek yang sering kita lihat di televisi. Yang dijual dari OGB adalah kandungan zat aktifnya, zat aktif yang merupakan komponen utama dari obat untuk mengobati sesuatu penyakit.

Yang dikedepankan dalam penggunaan OGB adalah substansi dari pengobatan itu sendiri, yakni sehat. OGB berfungsi mengobati penyakit, bukan untuk menjual merek, gengsi atau macam-macam faktor eksternal lainnya. Jadi jika ingin membeli amoxycilin, maka belilah amoxycilin, bukan Bemoxycilin atau Antumoxycilin. Yang pertama adalah zat aktif dalam obat, dan yang berikutnya adalah nama obat yang mengandung zat aktif amoxycilin.

Namun begitu, kualitas dan keampuhan obat jenis OGB ini tetap sama dengan obat paten atau bemerek, sebab mulai dari bahan baku hingga cara pembuatannya, tetap mengacu pada standar obat originator, dan diproses dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang diawasi secara ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI.

Masa Depan OGB

Meski telah berjalan selama dua dekade, namun sosialisasi penggunaan OGB di Indonesia masih belum berterima dengan pemahaman masyarakat.

Menurut Maura Linda Sitanggang, Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, saat diwawancarai sejumlah media nasional beberapa waktu lalu, dalam pemahaman umum masyarakat Indonesia, obat generik adalah obat kelas dua dan tak berkualitas. Obat generik pun acap dicap sebagai obat bagi kaum tidak mampu. Faktor-faktor inilah yang membuat sosialisasi OGB sulit berterima dengan pemahaman masyarakat Indonesia.

“Anggapan ini tidak saja merugikan pemerintah, tetapi juga merugikan pasien sendiri, sebab pembiayaan obat menjadi tidak efisien,” katanya.

Menurut Linda, penggunaan obat generik di Indonesia baru mencapai 40 %, dari total penggunaan obat secara nasional, sementara itu di negara-negara maju, penggunaan obat generik sudah mencapai 70 – 80 persen.

Dari 40 persen tersebut, porsi penjualan juga terbagi antara obat generik berlogo dan obat bermerek. Menurut dia, OGB hanya menyumbang sekitar 10 persen, sisanya didominasi oleh obat generik bermerek yang mencapai 70 persen.

Rendahnya angka penjualan OGB di Indonesia juga dipicu oleh minimnya ketersediaan OGB di apotek dan rumah sakit. Ketaktersediaan OGB ini secara massal akhirnya membuat para dokter lebih merekomendasikan obat-obatan bermerek dan paten kepada pasiennya.

Berdasar data dari Departemen Kesehatan RI, peresepan obat generik oleh dokter di rumah sakit umum milik pemerintah pada 2010 baru mencapai 66 %, sedangkan di rumah sakit swasta dan apotek hanya 49 %. Ketersediaan obat essensial generik di sarana pelayanan kesehatan juga baru 69,7 % dari target 95 %.

Dalam sebuah wawancara seperti dikutip kompas.com, Sekjen Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Slamet Budiarto, (24/6) mengatakan, pada dasarnya dokter memiliki pengaruh yang besar terhadap peningkatan penjualan OGB nasional, sebab dokter adalah orang terpercaya untuk memberikan obat-obatan generik kepada pasien dan menerangkan kualitas OGB tersebut saat menuliskan resep obat.

Namun lacurnya, masih banyak pasien atau keluarganya yang—mungkin karena merasa gengsi, atau tidak paham—menolak obat generik saat dokter menuliskan resepnya. Mereka merasa tersinggung saat dokter meresepkan obat generik. Alasannya, masih mampu membayar obat paten.

“Banyak dokter-dokter merasa tidak enak kalau pasien yang berlatar belakang mampu merasa tersinggung saat diresepkan OGB. Maka itu, dokter biasanya melihat latar belakang pasien atau jenis penyakitnya lebih dulu sebelum meresepkan obat generik,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Jambi, Polisman Sitanggang, saat diwawancarai ANTARA beberapa saat lalu.

Senada dengan Maura Linda, Polisman Sitanggang juga mengatakan, saat ini pemerintah telah menyediakan apotek khusus obat generik untuk menambah laju penjualan obat generik berlogo ke tengah-tengah masyarakat, meski jumlahnya masih sangat terbatas.

Saat ini, ujarnya, pelayanan kesehatan di rumah sakit pemerintah atau puskesmas sudah diwajibkan menggunakan obat generik. Bahkan penggunaan obat ini juga sangat ditekankan pada peserta jaminan kesehatan masyarakat (Jemkesmas).

Pada dasarnya, masa depan OGB sangat potensial di Indonesia, mengingat kesejahteraan dan pemahaman masyarakat yang terus meningkat. Potensi ini juga dapat lebih dikembangkan apabila apoteker di instalasi farmasi dapat memberikan penerangan kepada masyarakat agar memilih obat generik berlogo.

Dengan pehamanan seperti itu, masyarakat dapat menggunakan haknya untuk meminta resep obat generik dari dokter. Masyarakat dapat bertanya kepada apoteker untuk mendapatkan obat generik jika membeli obat atau menebus resep dari dokter.

Sosialisasi penggunaan OGB juga dapat dilakukan dengan pihak-pihak asuransi kesehatan yang ada. Pihak asuransi dan institusi kesehatan harus membuat persetujuan agar selalu memberikan obat generik kepada pasien yang datang berobat.

Mengkampayekan OGB


Sepanjang dua dekade sejak pemerintah meluncurkan program OGB, mungkin sudah ratusan cara dilakukan oleh pihak-pihak terkait untuk mensosialisasikan dan menganjurkan masyarkat untuk menggunakan obat generik berlogo dalam upaya-upaya penyembuhan atas penyakit yang mereka derita. 

Sudah ratusan kali pula mungkin, para pakar melakukan seminar-seminar dan diskusi-diskusi alot untuk merumuskan sistem yang pada dasarnya hanya untuk menganjurkan masyarakat menggunakan OGB. Namun, seperti yang diakui banyak pihak, program ini seperti berjalan di tempat. Terbentur oleh ego, gengsi dan ketidakpahaman masyarakat tentang betapa pentingnya dan betapa beruntungnya mereka jika sudi dan berkenan mengkonsumsi OGB.

Bahkan pada 2014 mendatang, digadang-gadang melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), pemerintah berencana melakukan penetrasi terhadap penggunaan OGB melalui sistem yang sedang digodok tersebut.

Dalam hitung-hitungan kasar pemerintah, dari 257 juta penduduk Indonesia, masih ada 119, 2 juta jiwa yang belum memiliki asuransi kesehatan. Sebanyak 119,2 juta itu diperkirakan akan menjadi peserta SJSN pada 2014 mendatang. Untuk itu, mereka musti membayar premi Rp 6.500 per orang per bulan. Dalam setahun, pemerintah akan memiliki dana Rp 9,2 triliun. Sekitar 30-35 persen atau Rp 2,7 triliun, dari dana itu akan digunakan untuk biaya obat.

Tapi mungkin angka-angka maksimal yang diharapkan itu akan dapat terwujud pada dua atau tiga tahun setelah program tersebut diluncurkan. Namun begitu, tidak ada salahnya pemerintah dari sekarang sudah mulai melakukan kampanye murah yang masif. Seperti kampanye lewat lagu-lagu, misalnya.

Terbukti, sejak tiga puluh tahun lalu, masih banyak warga negara yang ingat dan hapal lagu Pemilu, misalnya. Atau masih dapat kita ingat bagaimana lirik lagu sosialisasi Keluarga Berencana (KB), atau lagu-lagu lainnya. Maka itu pemerintah harus pula menciptakan lagu-lagu kampanye untuk sosialisasi OGB, yang liriknya dapat mendorong masyarakat agar menggunakan obat generik berlogo. Dengan ini mengapa tidak? (***)

*Disarikan dari berbagai sumber 

Pewarta: Oleh Nurul Fahmy

Editor : Nurul


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2012