Jambi (ANTARA Jambi) - Komunitas Konservasi Indonesia Warsi menerbitkan sebuah buku bagi Orang Rimba Jambi atau Suku Anak Dalam (SAD) berjudul "Meretas Aksara di Belantara"
Dengan terbitnya buku ini diharapkan bisa membuka masyarakat luas bagaimana upaya pendidikan bagi Orang Rimba Jambi digagas. Dari buku ini juga publik bisa mendapatkan gambaran bagaimana Orang Rimba mempertahankan alam sebagai sumber kehidupan," ujar Direktur Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Jambi Rudi Syaf di Jambi, Jumat.
Buku setebal 150 halaman itu menceritakan perjuangan almarhum Yusak Adrian Hutapea sebagai guru pertama bagi Orang Rimba, yang dimulai dengan melakukan studi awal hingga menemukan titik terang ketika ada kelompok Orang Rimba yang mulai mau diberikan pendidikan.
Sukmareni, editor buku "Meretas Aksara di Belantara" mengatakan, dengan membaca buku tersebut, akan diketahui bagaimana pendidikan bagi Orang Rimba Jambi digagas, dijalankan dan diadvokasikan.
"Pekerjaan yang tidak mudah mengingat kelompok masyarakat asli Jambi ini masih menganut faham berkebalikan dengan pemahaman umum," katanya.
Konon, menurut legenda yang dipercaya Orang Rimba, pilihan hidup kebalikan dari masyarakat pada umumnya merupakan kesepakatan yang diambil oleh nenek moyang Orang Rimba Jambi ketika terjadi persumpahan antara Bujang Malapangi yang merupakan moyang masyarakat desa dengan Dewa Tunggal yang merupakan moyang Orang Rimba.
Sistem pendidikan bagi Orang Rimba dilakukan melalui metoda sederhana, mudah dipahami, tidak mengubah alam kehidupan Orang Rimba dan disesuaikan dengan adat dan kemauan serta kesempatan yang dimiliki Orang Rimba, merupakan pilihan dalam fasilitasi pendidikan alternatif yang dikembangkan KKI Warsi.
"Baca tulis dan hitung, itu yang pertama dikenalkan. Fasilitator pendidikan mengunjungi kelompok-kelompok Orang Rimba, kemudian merintis untuk sebuah genah pelajoron, sejenis sekolah sederhana di belentara Jambi," jelasnya.
Dengan kehadiran buku tersebut, Sukmareni berharap bisa menggugah pemahaman masyarakat untuk lebih peduli,
lebih peka dengan sekitar bahwa masih ada kelompok masyarakat yang belum tersentuh langsung pendidikan yang merupakan hak semua warga negara.
Orang Rimba sebagian besar mendiami kawasan pedalaman yang berada di hulu anak Sungai Batanghari. Jati diri "kerimbaan" menjadi bagian dari keseluruhan cara-cara hidup komunitas ini.
Berburu dan meramu hasil hutan merupakan sumber kehidupan utama dari Orang Rimba yang ruang hidupnya terus tergusur dan lebih banyak tiga kawasan di Jambi.
Berdasarkan survei KKI Warsi Jambi 2010, Orang Rimba yang mendiami sekitar kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) berjumlah 1.689 jiwa, sebanyak 1.646 jiwa di sepanjang jalan lintas tengah Sumatera serta 527 jiwa lainnya berada di bagian selatan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT).
Secara umum, Orang Rimba hidup berkelompok, yang biasa disebut dengan rombong-rombong. Kehidupan mereka yang menyebar dalam kelompok-kelompok ini telah menjadikan Orang Rimba sebagai kaum marginal. Kondisi tersebut berakibat pada lemahnya posisi Orang Rimba dari segi politik, sosial dan ekonomi.
"Kemarginalan Orang Rimba ini, mendorong KKI Warsi untuk melakukan pendampingan. Pendampingan ditempuh melalui fasilitasi pendidikan, kesehatan serta pengambangan ekonomi. Khusus untuk pendidikan sudah digagas sejak 1998 lalu," tambah Sukmareni.(Ant)
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2012
Dengan terbitnya buku ini diharapkan bisa membuka masyarakat luas bagaimana upaya pendidikan bagi Orang Rimba Jambi digagas. Dari buku ini juga publik bisa mendapatkan gambaran bagaimana Orang Rimba mempertahankan alam sebagai sumber kehidupan," ujar Direktur Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Jambi Rudi Syaf di Jambi, Jumat.
Buku setebal 150 halaman itu menceritakan perjuangan almarhum Yusak Adrian Hutapea sebagai guru pertama bagi Orang Rimba, yang dimulai dengan melakukan studi awal hingga menemukan titik terang ketika ada kelompok Orang Rimba yang mulai mau diberikan pendidikan.
Sukmareni, editor buku "Meretas Aksara di Belantara" mengatakan, dengan membaca buku tersebut, akan diketahui bagaimana pendidikan bagi Orang Rimba Jambi digagas, dijalankan dan diadvokasikan.
"Pekerjaan yang tidak mudah mengingat kelompok masyarakat asli Jambi ini masih menganut faham berkebalikan dengan pemahaman umum," katanya.
Konon, menurut legenda yang dipercaya Orang Rimba, pilihan hidup kebalikan dari masyarakat pada umumnya merupakan kesepakatan yang diambil oleh nenek moyang Orang Rimba Jambi ketika terjadi persumpahan antara Bujang Malapangi yang merupakan moyang masyarakat desa dengan Dewa Tunggal yang merupakan moyang Orang Rimba.
Sistem pendidikan bagi Orang Rimba dilakukan melalui metoda sederhana, mudah dipahami, tidak mengubah alam kehidupan Orang Rimba dan disesuaikan dengan adat dan kemauan serta kesempatan yang dimiliki Orang Rimba, merupakan pilihan dalam fasilitasi pendidikan alternatif yang dikembangkan KKI Warsi.
"Baca tulis dan hitung, itu yang pertama dikenalkan. Fasilitator pendidikan mengunjungi kelompok-kelompok Orang Rimba, kemudian merintis untuk sebuah genah pelajoron, sejenis sekolah sederhana di belentara Jambi," jelasnya.
Dengan kehadiran buku tersebut, Sukmareni berharap bisa menggugah pemahaman masyarakat untuk lebih peduli,
lebih peka dengan sekitar bahwa masih ada kelompok masyarakat yang belum tersentuh langsung pendidikan yang merupakan hak semua warga negara.
Orang Rimba sebagian besar mendiami kawasan pedalaman yang berada di hulu anak Sungai Batanghari. Jati diri "kerimbaan" menjadi bagian dari keseluruhan cara-cara hidup komunitas ini.
Berburu dan meramu hasil hutan merupakan sumber kehidupan utama dari Orang Rimba yang ruang hidupnya terus tergusur dan lebih banyak tiga kawasan di Jambi.
Berdasarkan survei KKI Warsi Jambi 2010, Orang Rimba yang mendiami sekitar kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) berjumlah 1.689 jiwa, sebanyak 1.646 jiwa di sepanjang jalan lintas tengah Sumatera serta 527 jiwa lainnya berada di bagian selatan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT).
Secara umum, Orang Rimba hidup berkelompok, yang biasa disebut dengan rombong-rombong. Kehidupan mereka yang menyebar dalam kelompok-kelompok ini telah menjadikan Orang Rimba sebagai kaum marginal. Kondisi tersebut berakibat pada lemahnya posisi Orang Rimba dari segi politik, sosial dan ekonomi.
"Kemarginalan Orang Rimba ini, mendorong KKI Warsi untuk melakukan pendampingan. Pendampingan ditempuh melalui fasilitasi pendidikan, kesehatan serta pengambangan ekonomi. Khusus untuk pendidikan sudah digagas sejak 1998 lalu," tambah Sukmareni.(Ant)
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2012