Jambi (ANTARA Jambi) - Komunitas Konservasi Indonesia Warsi Jambi mengungkapkan, tanpa disadari Kota Jambi telah merasakan efek pemanasan global, karena suhu di kota ini sempat mencapai 40 derajat Celcius pada Maret 2013 lalu.
"Kekhawatiran terjadinya pemanasan global sebenarnya sudah dirasakan Kota Jambi dengan meningkatnya suhu (panas) yang tinggi pada Maret lalu seperti yang dirilis BMKG Provinsi Jambi," kata Direktur Konunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Jambi Rudi Syaf di Jambi, Senin.
Pernyataan tersebut disampaikannya ketika diminta tanggapannya terkait peringatan Hari Bumi yang jatuh pada setiap tanggal 22 April.
Ia mengatakan, efek yang sudah terasa secara global dan melanda Kota Jambi tersebut hendaknya menjadi renungan dan penyadaran oleh seluruh masyarakat, dimana bumi yang menjadi tempat tinggal satu-satunya bagi miliaran manusia kini kondisinya sudah semakin kritis seiring dengan kerusakan lingkungan yang semakin menggila karena ulah tangan manusia.
"Tak usah jauh-jauh melihat es yang terus mencair ke kutub selatan, di Jambi saja kerusakan alam yang terjadi sudah sangat kentara sekali, dimana tutupan hutan kini tinggal secumput akibat berbagai program alih fungsi baik perkebunan maupun eksploitasi batu bara yang tak terkendali dalam lima tahun belakangan," ujar dia.
Kondisi inilah yang telah memicu meningkatnya suhu udara, sehingga Jambi saat ini mengalami peningkatan suhu yang drastis dari biasanya yang maksimal hanya 35 derajat Celcius, dan tingkat itu sudah dirasakan sangat panas.
Rudi mengatakan, pada bulan Maret tersebut, Kota Jambi memang mengalami cuaca yang aneh ketika daerah lain masih diguyur hujan lebat dan mengalami banjir, Jambi justeru mengalami kemarau dan peningkatan suhu udara.
Di sisi lain Rudi juga mengkritisi sikap pemerintah dan negara maju yang cenderung bermuka dua.
Mereka menolak usulan dunia agar bersedia menurunkan tingkat pertumbuhan ekonominya demi menekan tingkat produks gas emisi karbon akibat penggunaan bahan bakar minyak dan batu bara dalam industri sebagai sumber pemanasan global, justru menolak dan melempar tanggung jawab kepada negara-negara ketiga.
"Negara ketiga yang umumnya negara miskin dijadikan objek dan sampel untuk pelestarian alam dan penghijauan, dengan sistem pemberian dana kompensasi dalam berbagai bentuk untuk penyelamatan hutan," ujarnya.
Sayangnya pula, pemerintah di negara-negara ketiga justru memanfaatkan kesempatan tersebut untuk tujuan lain, karena di sisi lain ekploitasi alam seperti batu bara yang menyisakan kerusakan lingkungan dan ekosistem di Jambi tetap saja tidak terbendung dan terus berlangsung, meskipun pemerintah daerah sudah membuat berbagai peraturan daerah guna menatanya.
Karena itulah, tegas Rudi, semestinyalah peringatan Hari Bumi yang jatuh setiap 22 April hendaknya menjadi momentum penyadaran setiap orang untuk penduli dengan nasib bumi karena itu juga berarti dia peduli dengan nasib dirinya sendiri yang kini sudah kian terancam.(Ant)