Jambi (ANTARA Jambi) - Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Jambi dalam catatan akhir tahunnya menyebutkan minimal ada delapan dampak negatif serius yang dihadapi Provinsi Jambi dalam pengelolaan sumber daya alam.
"Kondisi ini berlangsung secara terus menerus dari tahun ke tahun. Jika pengelolaan sumber daya alam Jambi masih saja serampangan, akibatnya akan lebih parah lagi dibanding saat ini," kata Direktur Komunikasi KKI Warsi Jambi Rudi Syaf di Jambi, Jumat.
Ia menyebutkan delapan dampak tersebut di antaranya adalah masih tingginya kasus pembalakan liar di Jambi dan sebanyak 38 kasus ditangani aparat hukum setempat.
"Dari catatan kami ribuan kubik kayu olahan maupun gelondongan diselundupkan dari beberapa kawasan hutan baik hutan negara maupun yang dikelola swasta. Kerugian mencapai Rp12,1 miliar," ujarnya.
Dampak kedua adalah bencana alam khususnya banjir akibat kerusakan kawasan hutan di bagian hulu Provinsi Jambi. Sepanjang 2012, KKI Warsi mencatat ada 23 kasus banjir yang menyebabkan empat orang meninggal, ratusan hektare lahan dan ribuan rumah warga terendam.
Ketiga bencana tanah longsor. Sembilan kasus yang berakibat putusnya akses antar daerah. Titik paling sering terjadi longsor di Jambi ada di lintas Kota Jambi menuju Kabupaten Kerinci tepatnya di Kecamatan Muara Imat.
Keempat, dampak kebakaran lahan dan hutan, pada 2012 tercatat ada 1.300 hektare kawasan Jambi terbakar termasuk di antaranya Taman Nasional Berbak (TNB) di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Kondisi ini menempatkan Provinsi Jambi pada urutan keempat terparah bencana kebakaran lahan dan hutan.
Dampak kelima meningkatnya konflik antara manusia dengan satwa. Kasus ini telah menyebabkan dua orang meninggal dan enam luka luka.
"Ini diakibatkan rusaknya hutan sebagai ekosistem satwa, sehingga banyak satwa yang masuk ke perkampungan, tidak hanya manusia, akibat konflik ini juga menyebabkan satwa langka mati," kata Rudi.
Dampak selanjutnya adalah masih adanya konflik lahan yang menjadi cerita lama di daerah itu. Sepanjang 2012 sedikitnya terjadi 35 kasus konflik lahan di Jambi dengan luas areal mencapai 135,686,6 hektare. Akibat konflik ini menewaskan satu orang warga maupun kerugian lain seperti pembakaran alat berat maupun sarana perusahaan lainnya.
Dampak ketujuh, masih maraknya penambangan emas tanpa izin (PETI) di sepanjang aliran Sungai Batanghari dari hulu hingga ke hilir tercatat ada 27 kasus resmi.
"Meski belum ada penelitian khusus kami, akibat PETI ini akan merusak ekosistem sungai yang tentunya bisa berdampak bagi manusia mengingat penggunaan zat beracun pada kegiatan ilegal ini," ujar Rudi lagi.
Dampak terakhir kasus pertambangan khususnya batu bara dan emas di Jambi mencakup 10.175 hektare lahan pertambangan.
"Dampak dari masalah pertambangan adalah persoalan izin pinjam pakai yang tidak jelas. Begitu juga dampak jalur transportasi pertambangan batubara di Jambi yang masing menggunakan jalan umum sehingga merusak fasilitas jalan," jelasnya.
Terkait persoalan pengelolaan lingkungan ini, KKI Warsi Jambi tengah mendorong pemerintah di Jambi agar dapat menyusun kerangka acuan selain Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai pedoman khusus untuk pengelolaan sumber daya alam di daerah itu.
Bahkan, KKI Warsi juga tengah mendorong adanya moratorium perizinan kehutanan oleh korporasi di Jambi karena dinilai kerusakan ekosistem alam Jambi lebih disebabkan pengelolaan dan perizinan yang serampangan.
"Faktanya meski RTRW sudah disusun masih banyak perusahaan yang justru tidak patuh dengan aturan tersebut. Tidak hanya itu saja, kami berharap adanya penegakan hukum yang tegas," tambah Rudi Syaf.(Ant)