Jakarta (ANTARA) - Sebanyak 310 dari 530 kepala daerah di Tanah Air tersangkut kasus hukum yang disebabkan oleh pelaksanaan pilkada langsung, kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan.
"Data terakhir kami sudah 310 kepala daerah kena kasus hukum, lebih dari 86 persen di antaranya karena kasus korupsi," kata Djohermansyah di Jakarta, Senin.
Kebanyakan kepala daerah tersebut tersangkut hukum yang diadukan oleh mantan pasangan calon pesaing saat pilkada daerahnya. Hal itu merupakan cerminan elit politik yang tidak siap menerima kekalahan sehingga menggugat lawannya yang menang menjadi kepala daerah.
"Faktanya, masih banyak yang belum siap menerima kekalahan. Ketika ada selisih suara yang besar (dari pasangan calon yang menang) dibawa juga gugatan itu ke Mahkamah Konstitusi. Seolah-olah kalau belum ke MK, proses pilkadanya belum selesai," kata Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu.
Djohermansyah mengatakan konflik berkepanjangan juga muncul pasca-pilkada yang berpengaruh buruk pada pelaksanaan pemerintahan daerah.
"Tim sukses tidak kunjung dibubarkan sesudah dilantik, tim lawan juga mencari masalah dan melaporkan kepala daerahnya ke polisi. Ini menyebabkan pemerintahan jadi tidak efektif," tambah Djohermansyah.
Pengamat politik Satya Arinanto membenarkan bahwa elit politik tidak siap dengan pelaksanaan pilkada, sehingga ketika kalah akan mencari kesalahan lawan yang menang.
"Polanya ini seperti pileg, pasangan calon yang meraih suara terbanyak kedua dan ketiga biasanya mencari-cari kesalahan pemenang, seperti ijazah palsu, dan digugat pidana," kata Arinanto.
Oleh karena itu, Pemerintah akan menarik lagi kewenangan DPRD dalam memilih kepala daerah, khususnya bupati dan wali kota, sebab pasangan calon bupati dan wali kota, dibandingkan dengan gubernur, lebih dekat dengan konstituennya di daerah.(Ant)
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2013
"Data terakhir kami sudah 310 kepala daerah kena kasus hukum, lebih dari 86 persen di antaranya karena kasus korupsi," kata Djohermansyah di Jakarta, Senin.
Kebanyakan kepala daerah tersebut tersangkut hukum yang diadukan oleh mantan pasangan calon pesaing saat pilkada daerahnya. Hal itu merupakan cerminan elit politik yang tidak siap menerima kekalahan sehingga menggugat lawannya yang menang menjadi kepala daerah.
"Faktanya, masih banyak yang belum siap menerima kekalahan. Ketika ada selisih suara yang besar (dari pasangan calon yang menang) dibawa juga gugatan itu ke Mahkamah Konstitusi. Seolah-olah kalau belum ke MK, proses pilkadanya belum selesai," kata Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu.
Djohermansyah mengatakan konflik berkepanjangan juga muncul pasca-pilkada yang berpengaruh buruk pada pelaksanaan pemerintahan daerah.
"Tim sukses tidak kunjung dibubarkan sesudah dilantik, tim lawan juga mencari masalah dan melaporkan kepala daerahnya ke polisi. Ini menyebabkan pemerintahan jadi tidak efektif," tambah Djohermansyah.
Pengamat politik Satya Arinanto membenarkan bahwa elit politik tidak siap dengan pelaksanaan pilkada, sehingga ketika kalah akan mencari kesalahan lawan yang menang.
"Polanya ini seperti pileg, pasangan calon yang meraih suara terbanyak kedua dan ketiga biasanya mencari-cari kesalahan pemenang, seperti ijazah palsu, dan digugat pidana," kata Arinanto.
Oleh karena itu, Pemerintah akan menarik lagi kewenangan DPRD dalam memilih kepala daerah, khususnya bupati dan wali kota, sebab pasangan calon bupati dan wali kota, dibandingkan dengan gubernur, lebih dekat dengan konstituennya di daerah.(Ant)
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2013