Jakarta (ANTARA Jambi) - Kejaksaan menyatakan Asian Agri Group (AAG) telah melunasi denda Rp2,5 triliun dalam kasus penyimpangan pajak oleh 14 anak perusahaannya, setelah membayar cicilan terakhirnya pada 17 September 2014 sebesar Rp200 miliar.

"Pihak AAG telah memenuhi. Atas nama jajaran Kejaksaan, saya memberikan apresiasi kepada AAG karena telah patuh pada putusan Mahkamah Agung," kata  Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Datas Ginting di Jakarta, Selasa.

Denda sebesar Rp2,5 Triliun tersebut merupakan denda wajib yang harus dibayarkan oleh AAG berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung (MA) pada 18 Desember 2012 terkait perkara penyimpangan pajak yang dilakukan 14 perusahaan yang tergabung dengan AAG.

Ketika itu, majelis hakim MA (Putusan MARI No.2239K/PID.SUS/2012), memutuskan, selain membayar pajak terhutang sebesar Rp1,2 triliun, AAG juga dihukum denda dua kali pajak terhutang sebesar Rp2,5 triliun.

Akhir Januari 2014, kejaksaan dan AAG sepakat membayar terlebih dahulu sebesar Rp719,9 miliar dan pembayaran tersebut terlaksana pada 28 Januari 2014. Sisanya, sebesar Rp 1,8 triliun dicicil hingga Oktober 2014 sebesar Rp 200 miliar per bulan.

Sebagai jaminan itikad baik, AAG berkomitmen melunasi seluruh denda dengan mengeluarkan bilyet giro lebih dari 100 lembar yang sudah dititipkan kepada Mandiri dan tiap bulan dapat dicairkan.

Datas Ginting juga menjelaskan, pihak Kejaksaan sebagai eksekutor ketika itu sepakat memberikan kesempatan pada AAG untuk melakukan pembayaran dengan sistem mencicil karena lembaga kejaksaan juga harus mempertimbangkan aspek mendasar dari hukum itu sendiri yakni keadilan.

"Kami mempertimbangkan sedalam-dalamnya nasib puluhan ribu para pekerja serta petani plasma yang selama ini menggantungkan nasibnya pada 14 perusahaan yang tergabung di AAG. Karena itulah kejaksaan memberikan tenggang waktu pembayaran dan hal ini tentu saja dimungkinkan oleh perundang-undangan yang ada," katanya.

Kepala Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan (PPA), Chuck Suryosumpeno menyebutkan penegak hukum negara-negara asing termasuk kejaksaan-kejaksaan banyak negara, terutama para praktisi pemulihan aset dunia mengapresiasi lembaga Kejaksaan Indonesia karena mampu melakukan terobosan eksekusi yang luar biasa hingga AAG patuh membayar secara sukarela.

Karena itu, kata dia, para praktisi pemulihan aset dunia juga saat ini mulai mengembangkan "voluntary asset recovery" yang ternyata sangat efektif dan efisien dengan studi kasus eksekusi denda kasus pajak AAG.

Kasus tersebut bermula saat Vincentius Amin Sutanto yang berusaha mencuri uang perusahaan Asian Agri Group, namun gagal. Vincent tidak tinggal diam, dia membocorkan penyimpangan pajak perusahaan yang notabene dia juga terlibat dalam penyimpangan tersebut, kasus ini menjadi heboh setelah berbagai media massa membahasnya.

Ditjen Pajak kemudian melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kasus terkait. Penyidik menemukan pelanggaran administrasi sekaligus pelanggaran pidana yang dilakukan Suwir Laut dan lainnya.

Selanjutnya kasus ini diproses hukum hingga akhirnya MA memutuskan Suwir Laut bersalah dan 14 perusahaan yang tergabung dalam Asian Agri Group (AAG) turut dihukum dengan membayar pajak terhutang kurang lebih Rp1,2 triliun dan hukuman denda dua kali pajak terhutang, yaitu sebesar Rp2,5 triliun.

Kejaksaan sebagai eksekutor, terus mengejar pihak Asian Agri untuk membayar denda sebagaimana putusan. Bersamaan dengan itu, pihak Kejaksaan menelusuri aset Asian Agri di tiga provinsi. Setelah ditelusuri, Kejaksaan membekukan sejumlah aset.

Saat itu Kejaksaan bekerja sama dengan berbagai lembaga baik di dalam maupun di luar negeri. Saat ini, Asian Agri masih menunggu putusan banding pada Pengadilan Pajak terkait penyimpangan administrasinya.

Setelah dibui selama beberapa waktu, belakangan Vincent dibebaskan karena menjadi "whistle blower" untuk kasus penyimpangan pajak 14 perusahaan Asian Agri.(Ant)

Pewarta: Riza Fahriza

Editor : Edy Supriyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2014