Jambi (ANTARA Jambi) - Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jambi meluncurkan sebuah buku antologi naskah lakon drama "Pancang Negeri" karya dramawan dan sastrawan Jambi EM Yogiswara di Taman Budaya Jambi.
"Sejak berdirinya Fakultas Ilmu Budaya pada 2013, ini adalah kegiatan luar kampus perdana yang digelar dan terasa istimewa karena kegiatan merupakan peluncuran buku antologi naskah drama sejarah pertama di Jambi," kata Dekan FIB Universitas Jambi (Unja) Ardinal di Jambi, Kamis.
Peluncuran buku kumpulan karya dramawan dan penyair Jambi EM Yogiswara ini juga menjadi salah satu wujud aktifnya gerakan mahasiswa FIB yang tergabung dalam Teater Kuju.
Peluncuran buku tersebut dihadiri ratusan mahasiswa, pelajar, guru dan dosen, perwakilan instansi/dinas, seniman dan masyarakat umum, yang diselingi dengan diskusi bedah buku.
Kegiatan bedah buku Pancang Negeri itu menghadirkan narasumber budawan Junaidi T Noor yang juga staf ahli Gubernur Jambi yang mengupas nilai-nilai budaya dalam buku, lalu akademisi sejarawan sekaligus Sekretaris Disbudpar Jambi Ujang Hariadi yang mengulas dari sisi sejarah, serta Apriandi Gusti penulis dan kritikus dari Kantor Bahasa Provinsi Jambi yang menelaah dari sisi bahasa dan kesastraan naskah bersangkutan.
Sementara itu, respon positif juga disampaikan akademisi, sastrawan dan budayawan Jambi DR Sudaryono yang menilai penerbitan dan peluncuran buku antologi naskah drama Pancang Negeri karya EM Yogiswara tersebut tidak semata menjadi buku naskah drama sejarah pertama di Jambi tapi juga menjadi buku antologi naskah drama pertama yang pernah terbit di Jambi.
"Saya menyambut baik kreatifitas cara pikir dramawan dan penyair EM Yogiswara, ketika para sastrawan lain tengah tren menerbitkan buku antologi puisi atau cerpen, Yogiswara dengan pikiran nyelenehnya yang kerap melawan arus malah menerbitkan buku antologi naskah drama," katanya.
Ia menjelaskan, sejarah perkembangan drama di Jambi telah dimulai pada zaman klasik yang ditandai awal dengan masuknya agama Islam di Jambi saat masa berkembang sebentuk drama tradisional yang disebut "Dul Muluk", Panggung Bangsawan dan kemudian Tonil pada masa penjajahan Belanda.
Sebelum Yogiswara, di Jambi telah ada banyak dramawan, sastrawan dan penulis yang menggubah dan melahirkan karya-karya lakon drama seperti almarhum Arifien Akhmad dan almarhumah Anik Sudaryo yang digelari bapak dan ibu teater modern Jambi.
Ada pula almarhum Ari Setya Ardhi, penyair, Bonarti Lubis yang sekarang menggeluti komedian, Dimas Arika Mihardja, Yoyo S Limah, Ary MHS Ce'gu, Pak Do, dan Yupnical Saketi.
Namun naskah-naskah drama yang ditulis tersebut tidak pernah diterbitkan dalam bentuk buku seperti yang dilakukan EM Yogiswara dengan buku antologi Pancang Negeri tersebut.
Sementara itu Yogiswara saat menjawab pertanyaan peserta bedah bukunya menegaskan, dirinya sempat mengendapkan cukup lama kedua naskah yang tertuang dalam buku Pancang Negeri tersebut, yakni naskah yang berjudul Sultan Thaha dan naskah Raden Mattaher, karena khawatir materi yang disajikannya sebagai inspirasi adalah fakta sejarah.
"Saya sempat mengendapkan naskah ini cukup lama sampai akhirnya satu persatu saya pentaskan bersama teater AiR pada 2012 dan 2014. Kini baru saya terbitkan dalam bentuk buku yang bisa dikoleksi dan dipelajari oleh siapapun yang memiliki ketertarikan pada seni drama dan sejarah," ujarnya.
Kedua naskah drama tersebut meskipun berwujud karya fiksi sastra dalam bentuk lakon drama, namun apa yang dipaparkannya semuanya fakta sejarah yang benar terjadi, termasuk fakta adanya pengkhianat di kalangan bangsa sendiri sehingga kedua pahlawan Jambi tersebut bisa dikalahkan Belanda.
Isinya semuanya adalah faktsa sejarah, yang fiksi hanya seputar dialog yang disajikannya, itupun karena sangat sulit mendapatkan dokumentasi tekstual maupun rekaman dialog peristiwa yang terjadi dalam rentang waktu 1901 hingga 1904 tersebut.
Ada beberapa kutipan monumental dan masih terus diucapkan oleh masyarakat Jambi saat ini, seperti kalimat "Sultan Thaha tidak pernah mati", atau kutipan patriotis sang sultan sendiri yang berbunyi, "jika aku tertembak sampaikan kepada Belanda akulah yang mati tapi sampaikan kepada rakyatku yang mati hanyalah prajuritku," kata Yogiswara.
Sultan Thaha adalah pahlawan nasional asal Jambi yang merupakan sultan terakhir yang berkuasa di Jambi pada masa itu, sementara Raden Mattaher adalah salah seorang panglima perang Sultan Thaha, penerus perjuangan rakyat Jambi ketika Sultan Thaha telah meninggal dunia.
Bersama Depati Parbo dari Kerinci, nama Raden Mattaher juga sudah diusulkan ke pemerintah pusat untuk ditetapkan menjadi pahlawan nasional, namun hingga saat ini belum ada ketetapan, kata Ujang Hariadi.(Ant)
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2014
"Sejak berdirinya Fakultas Ilmu Budaya pada 2013, ini adalah kegiatan luar kampus perdana yang digelar dan terasa istimewa karena kegiatan merupakan peluncuran buku antologi naskah drama sejarah pertama di Jambi," kata Dekan FIB Universitas Jambi (Unja) Ardinal di Jambi, Kamis.
Peluncuran buku kumpulan karya dramawan dan penyair Jambi EM Yogiswara ini juga menjadi salah satu wujud aktifnya gerakan mahasiswa FIB yang tergabung dalam Teater Kuju.
Peluncuran buku tersebut dihadiri ratusan mahasiswa, pelajar, guru dan dosen, perwakilan instansi/dinas, seniman dan masyarakat umum, yang diselingi dengan diskusi bedah buku.
Kegiatan bedah buku Pancang Negeri itu menghadirkan narasumber budawan Junaidi T Noor yang juga staf ahli Gubernur Jambi yang mengupas nilai-nilai budaya dalam buku, lalu akademisi sejarawan sekaligus Sekretaris Disbudpar Jambi Ujang Hariadi yang mengulas dari sisi sejarah, serta Apriandi Gusti penulis dan kritikus dari Kantor Bahasa Provinsi Jambi yang menelaah dari sisi bahasa dan kesastraan naskah bersangkutan.
Sementara itu, respon positif juga disampaikan akademisi, sastrawan dan budayawan Jambi DR Sudaryono yang menilai penerbitan dan peluncuran buku antologi naskah drama Pancang Negeri karya EM Yogiswara tersebut tidak semata menjadi buku naskah drama sejarah pertama di Jambi tapi juga menjadi buku antologi naskah drama pertama yang pernah terbit di Jambi.
"Saya menyambut baik kreatifitas cara pikir dramawan dan penyair EM Yogiswara, ketika para sastrawan lain tengah tren menerbitkan buku antologi puisi atau cerpen, Yogiswara dengan pikiran nyelenehnya yang kerap melawan arus malah menerbitkan buku antologi naskah drama," katanya.
Ia menjelaskan, sejarah perkembangan drama di Jambi telah dimulai pada zaman klasik yang ditandai awal dengan masuknya agama Islam di Jambi saat masa berkembang sebentuk drama tradisional yang disebut "Dul Muluk", Panggung Bangsawan dan kemudian Tonil pada masa penjajahan Belanda.
Sebelum Yogiswara, di Jambi telah ada banyak dramawan, sastrawan dan penulis yang menggubah dan melahirkan karya-karya lakon drama seperti almarhum Arifien Akhmad dan almarhumah Anik Sudaryo yang digelari bapak dan ibu teater modern Jambi.
Ada pula almarhum Ari Setya Ardhi, penyair, Bonarti Lubis yang sekarang menggeluti komedian, Dimas Arika Mihardja, Yoyo S Limah, Ary MHS Ce'gu, Pak Do, dan Yupnical Saketi.
Namun naskah-naskah drama yang ditulis tersebut tidak pernah diterbitkan dalam bentuk buku seperti yang dilakukan EM Yogiswara dengan buku antologi Pancang Negeri tersebut.
Sementara itu Yogiswara saat menjawab pertanyaan peserta bedah bukunya menegaskan, dirinya sempat mengendapkan cukup lama kedua naskah yang tertuang dalam buku Pancang Negeri tersebut, yakni naskah yang berjudul Sultan Thaha dan naskah Raden Mattaher, karena khawatir materi yang disajikannya sebagai inspirasi adalah fakta sejarah.
"Saya sempat mengendapkan naskah ini cukup lama sampai akhirnya satu persatu saya pentaskan bersama teater AiR pada 2012 dan 2014. Kini baru saya terbitkan dalam bentuk buku yang bisa dikoleksi dan dipelajari oleh siapapun yang memiliki ketertarikan pada seni drama dan sejarah," ujarnya.
Kedua naskah drama tersebut meskipun berwujud karya fiksi sastra dalam bentuk lakon drama, namun apa yang dipaparkannya semuanya fakta sejarah yang benar terjadi, termasuk fakta adanya pengkhianat di kalangan bangsa sendiri sehingga kedua pahlawan Jambi tersebut bisa dikalahkan Belanda.
Isinya semuanya adalah faktsa sejarah, yang fiksi hanya seputar dialog yang disajikannya, itupun karena sangat sulit mendapatkan dokumentasi tekstual maupun rekaman dialog peristiwa yang terjadi dalam rentang waktu 1901 hingga 1904 tersebut.
Ada beberapa kutipan monumental dan masih terus diucapkan oleh masyarakat Jambi saat ini, seperti kalimat "Sultan Thaha tidak pernah mati", atau kutipan patriotis sang sultan sendiri yang berbunyi, "jika aku tertembak sampaikan kepada Belanda akulah yang mati tapi sampaikan kepada rakyatku yang mati hanyalah prajuritku," kata Yogiswara.
Sultan Thaha adalah pahlawan nasional asal Jambi yang merupakan sultan terakhir yang berkuasa di Jambi pada masa itu, sementara Raden Mattaher adalah salah seorang panglima perang Sultan Thaha, penerus perjuangan rakyat Jambi ketika Sultan Thaha telah meninggal dunia.
Bersama Depati Parbo dari Kerinci, nama Raden Mattaher juga sudah diusulkan ke pemerintah pusat untuk ditetapkan menjadi pahlawan nasional, namun hingga saat ini belum ada ketetapan, kata Ujang Hariadi.(Ant)
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2014