Orang Rimba atau dikenal juga dengan sebutan Anak Suku Dalam (ASD) adalah suku bangsa asli Indonesia yang hidup di Sumatera, tepatnya di Provinsi Jambi. Orang Rimba dikenal sangat kuat dalam memegang tradisi dari nenek moyang mereka secara turun temurun. Hingga kini mereka masih tinggal secara nomaden di hutan-hutan belantara.

Namun, saat hutan yang mereka tinggali semakin menyempit, ladang yang mereka tanami berbagai macam bahan pangan pun turut menyusut. Dalam kurun waktu tiga bulan terakhir 11 orang Rimba meninggal dunia dan sebagian dari mereka yang meninggal akibat kelaparan adalah anak-anak.  

Anak-anak Rimba tersebut meninggal dengan berbagai macam permasalahan kesehatan seperti cacingan, demam, batuk, anemia dan malnutrisi. Jika kita dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka memang tinggal secara nomaden di hutan yang notabene jauh dari fasilitas kesehatan serta makanan dan minuman yang layak, masalah kesehatan yang mereka alami memang sulit untuk dihindari. Namun, apakah kenyataan tersebut menjadi alasan untuk menelantarkan orang Rimba khususnya anak-anak Rimba?

Tak Berbeda

Anak-anak Rimba tidak berbeda dengan anak yang tinggal di kota, mereka sama-sama anak Indonesia yang pantas mendapatkan layanan kesehatan layak. Mereka berhak memiliki masa depan yang cerah terlepas dari pilihan hidup dan tradisi yang mereka pilih.
 
Tradisi yang mereka pegang teguh mungkin sudah tak relevan dengan perkembangan zaman seperti saat ini. Saat berbicara tentang pemenuhan kebutuhan yang mumpuni pun, tentu saja anak-anak Rimba masih jauh dari standar pemenuhan kebutuhan kehidupan yang baik.

Akan tetapi, bukankah tradisi yang mereka miliki adalah kekayaan bagi bangsa kita? Bukankah sebuah hal yang menakjubkan di saat Indonesia digempur pembangunan besar-besaran dan suntikan gaya hidup kekinian yang tak henti-hentinya menerjang anak muda kita masih memiliki kekayaan tradisi yang murni? Sebuah kehidupan sekelompok orang yang menamakan dirinya suku Rimba, bertelanjang dada, dan tidur di hutan-hutan, nyatanya masih bisa kita temui di Indonesia. Tentu hal yang sangat mengkhawatirkan jika anak-anak Rimba meninggal kelaparan karena hutan yang mereka tinggali mulai dijamah oleh tangan-tangan industri.

 Mereka adalah generasi-generasi penerus kehidupan Suku Rimba. Mereka layak hidup agar mendapatkan pendidikan yang membuat mereka tak mudah tertipu oleh oknum-oknum yang ingin menguasai tanah nenek moyang mereka. Mereka layak mendapatkan makanan dan minuman yang bisa membuat mereka aktif bergerak dan bebas dari penyakit apapun.

Tiga Permintaan

Menanggapi kasus meninggalnya anak Rimba akibat kelaparan, Menteri Sosial hofifah Indar Paraswana pun mengunjungi Suku Rimba yang ada di Sungai Kemang, Desa Olak Besar kecamatan Batin XXIV, Jambi, Jumat (13/3). Disana ia berinteraksi langsung dengan orang-orang Rimba, mendengarkan keluh kesah mereka.

Sebuah tindakan yang patut diapresiasi meskipun beredar kabar jika Khofifah membagikan rokok secara gratis dalam lawatannya tersebut. Butet Manurung, aktivis kemanusiaan yang dikenal sebagai pengajar bagi anak-anak Rimba pernah bercerita bahwa pengunjung yang hendak datang ke Rimba dianjurkan untuk membawa barang-barang seperti rokok, sarung, biskuit dan gula.

Hal tersebut diperlukan untuk mengakrabkan pengunjung dengan orang Rimba. Terlepas dari benar tidaknya tindakan Khofifah yang membagikan rokok gratis, hal terpenting yang dihasilkan dari lawatan Khofifah adalah tiga permintaan yang diajukan oleh warga suku Rimba.

Permintaan pertama adalah adanya layanan pendidikan yang datang ke lokasi mereka. Meskipun dulu pendidikan dianggap sebagai hal yang kurang baik di mata warga suku Rimba namun tampaknya kehadiran Butet Manurung di tahun 1999 telah menghasilkan kemajuan.

Kini, orang Rimba tidak terlalu tertutup seperti dulu dalam memandang sistem pendidikan. Permintaan kedua adalah adanya layanan kesehatan. Kemudian Kepala Dinas Kesehatan Sarolangun, Jambi, Adnan, mengatakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sarolangun akan memberikan kartu Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Kesehatan kepada 532 orang warga Orang Rimba yang bermukim di TNBD wilayah Sarolangun.

Proses pemberian BPJS tersebut agak terhambat karena sulitnya melakukan pendataan orang Rimba yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Namun, peristiwa kematian anak-anak Rimba ini menjadi peringatan bagi pemerintah setempat untuk terus meningkatkan pelayanan kesehatan mereka terhadap orang Rimba.

Permintaan ketiga adalah mereka meminta lahan nenek moyang mereka dikembalikan untuk digunakan sebagai kawasan hidup dan berladang.

Saat ini terdapat tujuh Hutan Tanaman Industri (HTI) yang ada di Jambi. Warga suku Rimba yang ditemui Khofifah sendiri meminta 200 hektare area kebun HTI Wana Perintis.
Pada 15 Maret 2015 lalu, HTI Wana Perintis menyetujui konsesi lahan hutan sebesar 114 hektare dengan syarat dibuatkan memorandum of understanding (MoU) terlebih dahulu. Total sudah ada tiga HTI yang memberikan respons atas permintaan konsesi lahan hutan ini.

Besar harapan agar HTI yang lain dapat memberikan respons positif secepatnya karena di satu juta hektare hutan Jambi tersebar hampir separuh populasi orang Rimba.

Azas Egoisme dan Azas Altruisme

Koentjaraningrat pernah menjelaskan pemikiran ahli filsafat H. Spencer tentang azas egoisme dan azas altruisme dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi. Disebutkan bahwa manusia memiliki azas-azas pergaulan yang sifatnya alamiah.

Azas egoisme adalah azas yang sifatnya mendahulukan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan yang lain. Sikap egois itu membuat seseorang mejadi kuat dan memungkinkan seseorang untuk bertahan di alam yang kejam.

Sebaliknya adalah azas altruisme atau azas yang sifatnya hidup berbakti untuk kepentingan yang lain. Azas ini juga memungkinkan seseorang untuk bertahan hidup di alam yang bebas karena menciptakan suatu hubungan bantu-membantu dengan orang lain sehingga bisa kuat menghadapi kehidupan alam yang kejam.

Mari kita menengok kehidupan orang-orang Rimba untuk sejenak. Hingga saat ini mereka masih mampu bertahan hidup di hutan karena mereka memiliki rasa kedekatan yang kuat. Azas altruisme di antara mereka tumbuh begitu besar sehingga bisa bertahan sampai saat ini.

Akan tetapi apa yang terjadi jika azas altruisme yang mereka bangun tidak cukup kuat untuk melawan azas egoisme yang dimiliki oleh para pemilik hutan yang kurang peduli dengan keberadaan mereka? Sayangnya azas altruisme itu belum bisa mencegah anak-anak Rimba meninggal karena kelaparan.

Mereka butuh lebih dari rasa solidaritas antar sesama orang Rimba dalam menghadapi kekurangan pangan dan bermacam-macam penyakit.

Pemerintah harus menyadari pentingnya kelanjutan hidup anak-anak Rimba dengan mengeluarkan wewenang yang mewajibkan HTI menyumbangkan sejumlah lahannya untuk digunakan orang Rimba agar tidak ada lagi anak Rimba yang harus meninggal kelaparan karena tak memiliki lahan untuk ditanami.

Penulis: Firda Fauziyyah, Mahasiswi Semester 6 Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran.

Pewarta:

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2015