Jambi (ANTARA Jambi) - Pertengahan 2015, bencana panjang kabut asap menimpa masyarakat di beberapa provinsi akibat kebakaran hutan dan lahan di Pulau Sumatra dan Kalimantan.

Kebakaran hutan dan lahan yang cukup luas, termasuk di Provinsi Jambi itu telah menukilkan sejarah bahwa kabut asap 2015 merupakan terlama dan terburuk meski bencana tersebut sebenarnya rutin terjadi setiap tahun.

Pengalaman buruk kabut asap yang merupakan bencana 2015 diharapkan tidak terulang kembali pada tahun-tahun mendatang dengan upaya meminimalkan kebakaran hutan dan lahan pada musim kemarau, khususnya di areal gambut.

Pihak aktivis lingkungan menyatakan salah satu upaya mengantisipasi bencana kabut asap, misalnya mencegah lahan gambut tidak dijadikan sebagai areal perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI).

Wahana Lingkungan Hidup Provinsi Jambi menyatakan pemerintah harus segera merevisi izin konsesi perusahaan di lahan gambut.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian turun menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PPEG) menyatakan bahwa areal gambut yang mempunyai kedalaman 3 meter tidak boleh dikonsesikan.

"Sekitar 70 persen areal gambut di Provinsi Jambi dikonversi menjadi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri, padahal dalam undang-undang tersebut sudah jelas bahwa areal gambut itu ada regulasinya," kata Manajer Advokasi Walhi Jambi Rudiansyah.

Namun, dari alasan pemerintah, kata dia, izin konsesi di lahan gambut tersebut diberikan sebelum adanya undang-undang yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut tersebut.

"Menurut kami, kalau itu sudah telanjur kan itu bisa direvisi, jika lahan gambut itu mempunyai ekologi yang tinggi, bisa direkomendasikan untuk dicabut karena ini soal 'sustainability' atau berkelanjutan untuk lahan gambut," katanya.

Walhi meminta Pemerintah Provinsi Jambi merasionalisasi izin konsesi di lahan gambut karena 70 persen wilayah gambut di daerah ini izinnya dikuasai oleh perusahaan.

"Sebelum melakukan restorasi gambut, sebaiknya pemerintah meninjau ulang izin konsesi di lahan gambut. Jika bicara restorasi itu adalah wilayah yang betul-betul tidak dibebankan izin, misalkan ada izin harus dicabut," kata  Rudiansyah.

Langkah pemerintah yang akan merestorasi lahan gambut itu bagus, apalagi setiap tahunnya lahan gambut selalu kebakaran hingga menyebabkan bencana kabut asap.

"Izin konsesi lahan gambut yang setiap tahunnya terus kebakaran itu artinya perusahaan pemegang izin tidak sanggup dan itu harus dicabut izinnya yang kemudian direstorasi," katanya.

Data Walhi menyebutkan lahan gambut di Provinsi Jambi yang luasnya mencapai 700.000 hektare itu 70 persennya telah diberikan/dikuasasi izin konsesinya oleh perusahaan HTI dan perusahaan perkebunan kelapa sawit.

"Artinya, masih ada 30 persen lagi, tetapi 30 persennya itu merupakan lahan gambut di wilayah konservasi," katanya.

Jika memang akan merestorasi gambut, kata Rudi, pemerintah harus mencabut izin lahan itu terlebih dahulu. Akan tetapi, sejauh ini belum ada bukti pemerintah mencabut izin konsesi perusahaan yang wilayah konsesinya selalu kebakaran.

"Bagaimana restorasinya kalau di wilayah gambut masih ada izin konsesi dan juga nantinya restorasi bersama masyarakat atau bersama perusahaan sejauh ini juga belum ada," kata Rudi.

Jika pemerintah ingin merestorasi dengan melibatkan pihak ketiga, lanjut dia, pemerintah juga harus memperhatikan keberadaan eksistensi masyarakat di lingkup wilayah konsesi tersebut.
    
Berkelanjutan

Sementara itu, Kepala Dinas Kehutan Provinsi Jambi Irmansyah menegaskan bahwa lahan gambut di daerah ini harus dikelola  berkelanjutan untuk meminimalkan potensi kebakaran yang menyebabkan kabut asap.

"Pengelolaan lahan gambut harus berkelanjutan dan sesuai dengan aturan. Jika pengelolaan secara sembarangan, akan berakibat fatal, seperti kabut asap parah beberapa waktu lalu," kata Irmansyah.

Dari seluruh lahan gambut itu, kata Irmansyah, seluas 18.000 hektare yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Jambi melalui Dinas Kehutanan. Areal gambut itu merupakan lahan kawasan hutan yang saat ini digunakan sebagai kawasan konservasi.

"Yang dikelola pemprov itu 18.000 hektare sebagai konservasi yang merupakan kawasan pelestarian alam. Di luar itu bukan domain Dishut lagi," katanya.

Menurut dia, untuk lahan gambut yang dikelola pemprov, akan dilakukan rehabilitasi. Tujuannya mencegah lahan gambut menjadi kering dan kritis.

Pemprov memanfaatkan lahan itu sebagai kawasan pelestarian, sementara di luar yang 18.000 hektare itu tidak ada pengelolaan oleh Pemerintah.

"Dinas Kehutanan mengawasi dan membina berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 863 Tahun 2015 tentang Kawasan Hutan. Di luar kawasan hutan bukan domain kami lagi," katanya.

Di lahan gambut yang dikelola pemerintah tersebut, juga terdapat Taman Hutan Raya (Tahura) yang hingga saat ini masih terjadi perambahan.

Irmansyah mengatakan bahwa perambahan dilakukan oleh warga sekitar. Namun, ketika kedapatan langsung ditindak dan dibina.

Untuk lahan gambut sendiri saat ini, kata dia, sudah ada aturan untuk tidak ada pengelolaan lagi. Bahkan, bukan hanya untuk lahan yang belum dikelola, melainkan juga areal yang sudah terbit izin pengelolaannya.

"Ini Presiden langsung yang perintahkan, lahan gambut tidak boleh dikelola oleh korporasi. Bahkan, yang sudah punya izin akan dievaluasi. Pembangunan kanal juga harus sesuai dengan pedoman teknis, bukan atas persepsi masing-masing," katanya.

Selain itu, lanjut dia, lahan gambut yang terbakar juga tidak boleh lagi dikelola. Saat ini, menurutnya, untuk perusahaan kehutanan sudah ada tiga perusahaan yang menjalani pemeriksaan.

"Ada izinnya yang dicabut, ada juga yang dihentikan sementara. Seluruhnya ada tiga perusahaan kehutanan. Kalau di luar perusahaan kehutanan tentu masih banyak lagi," katanya.

Negara Uni Eropa menyatakan siap membantu Indonesia dalam memulihkan dan menata pengelolaan lahan gambut yang terbakar dengan mengucurkan dana lebih kurang Rp300 miliar pada tahun 2016.

Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunai Darussalam Vincent Guerend di Kayuagung, Sumatera Selatan, baru-baru ini mengatakan bahwa bantuan itu dikucurkan sebagai bentuk dukungan Uni Eropa atas tercapainya komitmen bersama negara ASEAN untuk membenahi tata kelola lahan gambut.

"Sebagian besar bantuan akan terserap di Indonesia karena memiliki luas lahan gambut terluas di ASEAN, ada juga sedikit didonasikan ke Malaysia dan Thailand," kata Vincent di sela kunjungannya ke Kayuagung untuk melihat realisasi bantuan UE di bidang pendidikan dan memantau lahan gambut.

Ia mengatakan bahwa UE berencana menjalankan tiga program berkaitan dengan manajemen penanggulangan bencana kebakaran lahan di Indonesia sejak Januari 2016.

Bantuan tersebut diawali dengan mengirimkan tim ahli asal Belanda untuk studi lahan gambut karena di negara tersebut juga ada sedikit lahan gambut.

Ketika ditanya mengapa program bantuan itu baru diberikan saat ini? Vincent menjawab karena Indonesia juga baru memintanya setelah mengalami kebakaran hutan dan lahan hebat pada tahun 2015.

"Bagi UE sendiri persoalan yang dihadapi Indonesia ini bukan hanya masalah satu negara dengan negara lain (kasus asap Indonesia dengan Malaysia dan Singapura), bukan pula masalah regional, melainkan sudah persoalan dunia," katanya.

Menurut dia, negara UE tergugah membantu Indonesia karena mengamati pemerintahan saat ini yang dipimpin Presiden RI Joko Widodo sangat peduli dengan upaya pengelolaan lahan gambut, seperti belum lama ini membuat moratorium izin lahan.

Kemudian, Jokowi juga sudah berkomitmen turut serta menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen melalui usaha sendiri dan 41 persen melalui bantuan dalam KTT Perubahan Iklim di Paris, membuat peta lahan gambut, hingga berencana meningkatkan manajemen hutan.

Sebagai catatan, mulai 2016, Jambi dipimpin gubernur dan wakil gubernur baru hasil pilkada serentak, 9 Desember 2015, yang diharapkan berkomitmen penuh untuk menyelamatkan lingkungan hidup melalui berbagai kebijakan pemerintah setempat. (Ant)

Pewarta: Azhari

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2015