Jambi (ANTARA Jambi)- "Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta. Indonesia baru akan bercahaya karena lilin-lilin di desa," begitu kata Bung Hatta, yang disampaikan Sugeng Handoko saat menutup Dialog Inovatif di Jambore Masyarakat Gambut (JMG) 2016 di Jambi, Senin (7/11) pekan lalu.

Sugeng Handoko, pemuda desa yang menjadi pelopor pengembangan di Desa Nglanggeran, Gunungkidul, Yogyakarta, menyemangati peserta pada JMG yang diselenggarakan Badan Restorasi Gambut (BRG).

Peserta JMG yang datang tersebut adalah mayoritas perwakilan para petani dari wilayah pedesaan di areal gambut yang terdapat di Papua, Kalimantan dan Sumatera.

Pada dialog inovatif itu sejumlah pemateri mendorong masyarakat yang tinggal di wilayah gambut agar mengelola potensi lokal dengan mencari berbagai alternatif dan inovasi sehingga dapat meningkatakan taraf ekonomi masyarakat.

Sugeng berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang cara meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang juga sekaligus menjaga kelestarian lingkungan desa supaya berkelanjutan.

"Kita bisa memanfaatkan potensi lokal yang ada di desa. Masyarakat Indonesia yang katanya agraris ini jangan sampai kehilangan kearifan lokal," kata Sugeng yang sengaja diundang BRG pada hari penutupan dalam rangkaian acara JMG 2016.

Masyarakat di pedesaan kata Sugeng bisa meningkatkan potensi desa dengan mencari berbagai macam alternatif inovasi komoditi pertanian, diantaranya alternatifnya adalah mencari komoditi pertanian lokal selain kelapa sawit.

"Jadi segala potensi yang ada di desa  harus ditingkatkan, kemudian lagi selanjutnya masyarakat bisa merancang 'sosial business plan' yang tujuan kedepannya memberi manfaat pada pemberdayaan komunitas dan masyarakat di desa," katanya menjelaskan.

Dalam pengembangan di wilayah pedesaan itu kata dia peran pemuda yang energik sangat dibutuhkan sebagai pelopor untuk meningkatan taraf ekonomi masyarakat di desa salah satunya dengan membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa).

Pembentukan BUMDesa

Program restorasi lahan gambut ini sejalan dengan program Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Transmigrasi (Kemendes-PDTT), karena sebagian besar desa di lahan gambut merupakan desa yang masih tertinggal.  

Pada restorasi lahan gambut tersebut BRG mendorong desa membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) sebagai upaya mengentaskan desa dari ketertinggalan sebagaimana Nawacita Presiden Joko Widodo.

Pembentukan BUMDesa tersebut tertuang pada Peraturan Menteri Desa dan PDTT No 4 Tahun 2015 Tentang BUMDesa.

"Jangan takut berkreatif membuat BUMDesa,  semua sudah difalitasi oleh pemerintah, yakni melalui dana desa," kata Ketua Kelompok Kerja Masyarakat Sipil Desa Membangun Indonesia, Ahmad Rofik.

Dia menjelaskan, pembentukan BUMDesa harus sesuai kesepakatan antara pemerintah desa dan masyarakat desa, namun juga harus melihat potensi yang ada di desa itu.

"Masyarakat perlu mengidentifikasi potensi di desanya, dan yang harus diingat dalam mengidentifikasi itu tidak bisa main-main dan harus jelas supaya BUMDesa bisa meningkatan taraf ekonomi masyarakat pedesaan," katanya menjelaskan.

Identifikasi potensi itu perlu karena kata Rofik, kaitannya tidak cukup pada kelembagaan ekonomi saja, melainkan harus dikelola secara berkelanjutan. 

"Pembentukan BUMDesa itu terserah dari masyarakat desa, namun haru sesuai dengan kesepakatan, BUMDesa mau bergerak dibidang apa nantinya, dan yang perlu diingat harus detail dengan mengedepankan tata kelola yang baik," kata Rofik.

Dalam pengembangan ekonomi kelembagaan desa katanya menjelaskan, kuncinya ada pada masyarakat itu sendiri yang harus mengambil peran dengan bersinergi dengan berbagai pihak pemerintahan desa.

"Intinya menjadi konsentrasi bersama, dan ini tidak bisa diserahkan kepada desanya saja, Masyarakat harus ikut memiliki desanya dengan berinovasi dan kreatif membangun desanya," katanya.

Pada 2016, pemerintah memberikan dana desa total Rp46 triliun. Dana desa pada 2017 diperkirakan meningkat mencapai Rp60 triliun, kemudian Rp120 triliun pada 2018 atau nantinay setara satu desa mendapat Rp1,8 miliar. 

Selain itu Rofik melanjutkan, "Anak muda juga harus dilibatkan, karena untuk mengelola kelembagaan itu butuh peran pemuda di desa yang sesuai dengan kearifan masyarakatnya," kata dia.

2.945 Desa di Areal Gambut

Badan Restorasi Gambut (BRG) yang merupakan lembaga nonstruktural yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 1 2016.

BRG ditugaskan oleh Presiden Joko Widodo untuk menkoordinasikan dan memfasilitasi restorasi gambut di tujuh provinsi. Yakni Riau, Jambi, Sumsel, Kalimatan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.

Hingga tahun 2020 BRG secara indikatif menargetkan dapat merestorasi seluas 2,4 juta hektare lahan gambut. Restorasi lahan gambut harus dilakukan agar lahan tidak mudah terbakar. 

Program restorsasi juga dapat mendongkrak perekonomian sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat khsusnya yang berada areal lahan gambut.

Selain itu BRG juga mencatat sebanyak 2.945 yang tersebar berada di areal lahan gambut di Sumatera, Kalimantan dan Papua. 

Dari jumlah tersebut 1.205 desa diantaranya terindikasi berada di area retorasi gambut. Sebagian besar desa yang berada di areal restorasi gambut tersebut memiliki status tertinggal.

"Sebagaimana arah kebijakan nasional yang meletakkan desa pada garda terdepan, maka restorasi gambut sejalan dengan pembangunan pedesaan," kata Kepala BRG Nazir Foead.

Sementara itu, Deputi Edukasi Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan pada BRG Myrna A Safitri mengatakan dari total desa tersebut yang berada di areal restorasi sebanyak 1.205 desa.

"Dari jumlah desa di areal restorasi itu kami menargetkan hingga tahun 2020 ada 1.000 desa yang akan diintervensi melalui program pemberdayaan Desa Peduli Gambut supaya hutan dan lahan gambut dapat dikelola dengan baik," kata Myrna.

"Dengan jumlah jumlah tersebut akan ada kontribusi pada 10-20 persen target pemerintah mengubah 5.000 desa tertinggal menjadi berkembang," kata dia.

Myrna mengatakan perlu adanya intervensi penyokong desa yang berada di areal gambut. Apalagi sebagian besar desa yang berada di areal gambut tersebut tergolong desa yang masih tertinggal.

Dijelaskannya dalam intervensi di desa yang berada di areal gambut tersebut perlu dilakukan supaya keberadaan lahan gambut tetap berkelanjutan (sustanaible).

Nantinya dari 1.000 desa tersebut diantaranya 300 desa akan didukung melalui APBN, 200 desa menggunakan dana donor dan 500 desa menggunakan dana dari korporasi, 

Sebagaimana diketahui sejumlah wilayah desa di areal gambut telah mempunyai praktik ekonomi yang berbasis pada pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan.

Sejumlah inovasi produk pertanian yang dihasilkan petani dari lahan gambut di pamerakan pada jambore ini, diantaranya manisan labu, ikan tapa, madu sialang, tikar anyaman purun dan masih banyak produk inovasi lainnya.

Pada Jambore Masyarakat Gambut itu para petani dan pemerintahan desa diperkenalkan mengenai konsep BUMDesa untuk membantu pemasaran komoditi hasil pengembangan warga desa di wilayah gambut.

"Kami juga mempunyai target 500 BUMDesa di lahan gambut hingga tahun 2020 dan ini yang menjadi awal kami," demikian Myrna A Safitri.






Pewarta: Gresi Plasmanto

Editor : Dodi Saputra


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2016