Jakarta (ANTARA) - Kepala Kelompok Kerja Pengembangan Usaha Masyarakat Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Nugroho menyatakan sebanyak 900 ribu hektar lahan gambut rusak di Indonesia sudah direstorasi.
Dia menjelaskan kerusakan lahan gambut ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pembukaan lahan dengan ladang berpindah, penerbangan liar, dan paling umum disebabkan oleh kebakaran.
Dari situ, BRGM memfokuskan proses restorasi gambut yang rusak tersebut dengan berbagai cara, antara lain dengan menyekat kanal, membuat sumur bor, dan mendorong produktivitas masyarakat mengelola kawasan gambut dengan kegiatan perkebunan dan kerajinan.
Ia menyebutkan, proses restorasi tersebut dilakukan tim BRGM bekerja sama Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) di tujuh provinsi prioritas selama lima tahun terakhir (2017-2022).
Masing-masing adalah Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Papua.
"Selain itu di daerah tersebut kami juga memasang alat pemantau tinggi muka air (APTMA) sebanyak 143 unit untuk memantau efektivitas restorasi," kata Nugroho.
Menurutnya, ratusan unit APTMA memudahkan pemantauan operasional 17 ribu sumur bor dan 5.000 unit sekat kanal.
APTMA yang dikembangkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tersebut bekerja setiap 10 menit sekali melaporkan kondisi terkini per hari ke petugas pemantauan di kantor pusat BRGM Jakarta.
"Restorasi lahan gambut penting untuk mengembalikan fungsinya sebagai penyerap air dan emisi gas rumah kaca (CO2)," kata dia.
Namun, BRGM membutuhkan penguatan melalui pengaturan ulang beberapa regulasi terkait restorasi gambut untuk menyelesaikan proyek restorasi 2,6 juta hektare lahan gambut hingga 2024.
BRGM membutuhkan dasar yang jelas untuk bisa merestorasi lahan gambut yang berada dalam kawasan konsesi perusahaan, seluas 1,7 juta hektare.
"Agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan kami butuh kepastian regulasi," kata dia.*