Jambi (Antaranews Jambi) - Masyarakat Desa Pematang Rahim Kecamatan Mendahara Ulu Kabupaten Tanjungjabung Timur, belum menerima SK Hak Kelola Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh yang diajukan Januari 2017 lalu sehingga warga setempat belum bisa melaksanakan program yang telah disusun.

Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa Pematang Rahim, Suryani, Jumat, mengatakan masyarakat Pematang Rahim sudah menyusun berbagai rencana pengelolaan Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh dan menyediakan perangkat untuk mendukung pemanfaatan kawasan hutan tersebut.

Kemudian masyarakat sudah membentuk Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHN) yang bertanggung jawab mengelola kawasan dan Masyarakat Peduli Api (MPA) untuk patroli yang akan mengendalikan kebakaran pada kawasan yang berada di lahan gambut itu.  

Masyarakat pun katanya bersemangat untuk menyusun konsep ekowisata dalam kawasan hutan desa, dengan berbagai ide untuk mengembangkan wisata gambut di daerah yang bisa dijangkau dengan waktu 2 jam perjalanan dari Kota Jambi.

Namun ide untuk segera menerapkan pengelolaan hutan desa itu tak kunjung terlaksana. Masalahnya hak pengelolaan hutan desa yang sudah diusulkan masyarakat pada Januari 2017 lalu itu tak kunjung di respons Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Pada awal pengajuan KLHK cukup responsif dengan usulan masyarakat, ditandai dengan adanya tim verifikasi pada Juni 2017.  Tim verifikasi telah menyatakan bahwa seluruh permohonan dapat diterima karena seluruh areal yang dimohon berada dalam Peta Indikatif Arahan Perhutanan Sosial (PIAPS) dan Lembaga Pengelola Hutan Desa dan masyarakat juga telah memenuhi persyaratan lainnya.

"Namun hingga kini kami belum menerima SK penetapan hutan desa kami, kami bingung perencanaan yang disusun tidak bisa dilaksanakan karena kami belum diberikan hak untuk mengelola kawasan itu," kata Suryani.

Suryani mengatakan Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh yang berada di desanya itu, diajukan untuk dikelola dengan skema Hutan Desa seluas lebih kurang 1.185 hektare.  

"Kami ingin hutan desa itu memberi manfaat bagi warga, kami beranggapan daerah gambut juga bisa dimanfaatkan untuk tujuan wisata dengan mengembangkan potensi yang ada. Misalnya rumah pohon dan susur kanal jelajah hutan dengan spot foto yang menarik," kata Suryani.

Padahal kata Suryani, dua desa tetangganya yaitu Sinar Wajo dan Sungai Beras sudah sejak 2014 lalu mendapatkan hak kelola hutan desa di hamparan yang sama dengan usulan Pematang  Rahim. "Kami berharap pemerintah segera mengeluarkan izin hutan desa kami," kata Suryani.

Sementara itu, Wakil Direktur Komunitas Konservasi Indonesia WARSI, Adi Junedi menyayangkan lambatnya respons kementrian menyikapi usulan masyarakat Pematang rahim dan sebelumnya pihaknya sudah mencoba melakukan penelusuran ke KLHK terkait lambatnya perizinan Pematang Rahim.

Rupanya ada tumpang tindih antara Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) dengan Peta Indikatif Arahan Perhutanan Sosial (PIAPS). Dalam PIPIB revisi XII yang telah diterbitkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan  pada tanggal 31 Juli 2017, sebagai tindak lanjut Inpres No 6 tahun 2017 tentang PIPIB kawasan gambut masuk dalam peta ini.   

Di sisi lain, usulan Hutan Desa Pematang Rahim juga masuk dalam Peta Indikatif Arahan Perhutanan Sosial (PIAPS), baik versi lama maupun versi terbaru PIAPS Revisi I Nomor SK.4865/MENLHK-PKTL/REN/PLA.0/9/2017 yang diterbitkan pada tanggal 25 September 2017  yang menjadi acuan masyarakat untuk pengusulan kawasan.  

"Kita melihat ada komunikasi yang kurang di dalam lembaga  KLHK, sehingga memunculkan ketidakjelasan dalam tataran implementasinya di masyarakat," kata Adi Junedi di Jambi.

Dikatakannya jika masalah ini tidak segera ditangani maka akan menghambat pelaksanaan perhutanan sosial. Padahal perhutanan sosial merupakan program pemerintah pusat untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan hutan.

Berdasarkan analisis yang dilakukan WARSI di Provinsi Jambi saja, terdapat 25 persen PIAPS akan teranulir oleh PIPIB. Kawasan hutan dan gambut yang masuk ke dalam PIPIB seluas 1.060.224.06 hektare, sedangkan kawasan yang ditetapkan untuk perhutanan sosial dalam PIAPS seluas 229.321,64 kejtare, dan yang tumpang tindih PIPIB dengan PIAPS seluas 55.564,49 hektare.

"Ini baru hitungan di Jambi, belum daerah lain yang juga kasus seperti ini masih banyak ditemui. Jika ini tidak terlaksana, maka akan menggerus target perhutanan sosial," kata Adi Junedi.  

Padahal target Presiden RI Joko Widodo untuk perhutanan sosial mencapai 12,7 juta hektare hingga akhir masa jabatannya 2019 nanti.  Namun hingga saat ini baru tercapai sekita dua juta hektare.  

Adi Junedi mengharapkan Menteri LHK segera menerbitkan regulasi khusus tentang perhutanan sosial di hutan gambut sebagai acuan penerbitan izin perhutanan sosial di hutan gambut.  

Masyarakat membutuhkan legalitas sehingga masyarakat punya kepastian untuk mengelola kawasan mereka, sekaligus menjauhkan berbagai ancaman yang terus terjadi di kawasan tersebut.

Dikatakan Adi Junedi, jika regulasi sangat penting untuk menyelamatkan hutan tersisa di lahan gambut, maka kawasan hutan Pematang Rahim memegang peranan penting dalam perlindungan ekosistem gambut tersebut.

Adi Junedi menambahkan, kawasan hutan gambut Pematang Rahim menyimpan cadangan karbon yang sangat besar besar. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh LPHD dan KKI WARSI pada September 2018, potensi karbon di hutan desa itu mencapai 76 ton per hektare pada tegakan pohon dan areal gambutnya 1.824 ton per hektare.***

Pewarta: Dodi Saputra

Editor : Syarif Abdullah


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2018