Jakarta (ANTARA) - Indonesia memasuki babak baru era penyehatan tanah dengan pemanfaatan sumber C-organik. Pada 27 April 2023 Presiden meminta pupuk organik kembali disubsidi untuk menyokong pertanian berkelanjutan.
Pada era ini Pemerintah tak hanya menjadi regulator untuk mendorong penggunaan pupuk organik pada petani, tetapi langsung memberi bantuan pupuk organik pada petani.
Kebijakan fundamental itu banyak ditunggu berbagai kalangan seperti praktisi pertanian, akademisi, peneliti, dan pegiat ilmu tanah.
Hasil penelitian oleh Balai Penelitian Tanah pada tahun 2019 memang mengungkap bahwa 66 persen tanah sawah intensif di Indonesia memiliki kadar C-organik kurang 2 persen alias rendah, atau rata-rata sebesar 1,66 persen.
Hanya 27 persen sawah intensif di Indonesia yang kadar C-organiknya sedang atau pada kisaran 2—4 persen. Memang ada 8 persen sawah intensif dengan kadar C-organik tinggi di atas 4 persen, tetapi mereka di lahan gambut, rawa lebak, dan pasang surut sulfat masam yang sebetulnya tergolong marjinal.
Sawah intensif di Indonesia memang rawan kehilangan bahan organik karena berada di wilayah tropis. Proses pelapukan tanah di daerah tropis sangat cepat karena faktor alami dan faktor antropogenik.
Secara alami wilayah tropis memiliki curah hujan dan temperatur tinggi. Curah hujan yang tinggi membuat bahan organik mudah tercuci maupun tererosi.
Demikian pula temperatur tinggi membuat bahan organik gampang hancur secara fisik. Di sisi lain aktivitas antropogenik berupa pengelolaan lahan yang tidak mengembalikan bahan organik menjadi sebab bahan organik terangkut panen sangat besar.
Dengan hitung-hitungan kedalaman olah tanah 20 cm atau 0,2 m, maka bobot tanah per ha adalah 2 juta kg atau 2.000 ton. Itu berdasarkan asumsi berat jenis tanah sawah 1.000 kg/m3 sehingga pada luasan 1 hektare adalah 2 x106 kg atau 2 juta kg.
Berikutnya dengan asumsi 66 persen sawah yang C-organiknya kurang dari 2 persen memiliki rata-rata C-organik sebanyak 1,66 persen, maka upaya untuk meningkatkan kadar C-organik menjadi 2 persen membutuhkan tambahan C-organik dari luar sebesar 0,34 persen.
Di kalangan petani, praktik yang umum adalah menambahkan pupuk organik sebesar 1.000 kg atau setara 1 ton per ha/musim. Untuk pupuk organik yang baik mengandung C-organik 25 persen, lalu memiliki batas bawah kadar air 8 persen (SNI 7763:2018 tentang Pupuk Organik Padat) maka kadar C-organik yang ditambahkan hanya sebesar 230 kg saja.
Pada luasan 1 ha jumlah itu hanya menambah sekitar 0,0115 persen/musim. Artinya, sebetulnya untuk memenuhi tambahan C-organik 0,34 persen ke dalam tanah dibutuhkan pupuk organik sejumlah 29,56 ton per hektare!
Tentu bukan upaya mudah membenamkan 29,56 ton bahan organik ke setiap ha sawah. Jumlah yang besar itu sebetulnya telah disadari oleh para ahli di lembaga riset dan perguruan tinggi.
Riset-riset terkait pengaruh bahan organik umumnya membandingkan jumlah pupuk organik pada level 5; 10; 15; 20; 25; dan 30 ton per ha.
Dampak pupuk organik jangka pendek biasanya terlihat berbeda nyata pada kisaran 15—25 ton per ha. Namun, hasil riset tersebut dianggap kurang praktis digunakan di lapangan karena jumlah bahan organik sebesar 15 ton per ha saja sudah setara dengan 3 truk kapasitas 4—5 ton.
Upaya mengumpulkan bahan organik sebanyak 3 truk bukan perkara mudah bagi petani. Belum lagi ongkos angkut sewa truk yang sudah tentu tak terjangkau.
Di sisi lain riset-riset di lembaga penelitian lebih ke arah terapan yang realistis. Umumnya level pupuk organik yang digunakan 1; 2,5; dan 5 ton per ha setara dengan persediaan bahan insitu yang dikombinasikan dengan perlakuan formula atau teknologi lainnya yang diteliti.
Dengan kata lain upaya menambah C-organik tanah 0,34 persen untuk mencapai target bahan organik tanah 2 persen membutuhkan strategi yang mudah, murah, dan realistis.
Pada konteks ini Indonesia memerlukan peta jalan (roadmap) serta target waktu untuk mencapainya.
Publik juga harus memahami bahwa upaya tersebut tak mungkin dilakukan dalam 1—2 tahun, tetapi membutuhkan waktu sekitar 15 tahun jika dalam satu tahun dilakukan penanaman dua musim masing-masing dengan membenamkan 1 ton pupuk organik.
Tujuh strategi
Paling tidak dibutuhkan tujuh strategi untuk mencapai hal tersebut. Pertama, gerakan mengembalikan sisa biomassa panen—seperti jerami padi, jerami jagung, jerami sorgum, blotong tebu—ke lahan.
Para peneliti mengungkap rata-rata nisbah hasil gabah padi dengan jerami umumnya 2:3 sehingga ketika hasil gabah kering panen 5 ton per ha, maka bobot jerami segar mencapai 7,5 ton per ha.
Beberapa jenis padi dengan hasil yang tinggi dapat menghasilkan 12—15 ton jerami segar yang setara dengan bobot jerami kering 4—5 ton per ha.
Jerami dapat langsung dikembalikan ke lahan dan disemprot dekomposer sebelum walik jerami, atau dikomposkan terlebih dahulu di sisi lahan. Kompos jerami mengandung C-organik 7—8 persen.
Pengembalian jerami ini penting untuk mencegah C-organik hilang terangkut panen serta membantu konservasi karbon dalam tanah.
Kedua, gerakan pemerintah memanfaatkan biomassa berupa gulma setempat sebagai pupuk organik.
Tanaman yang tumbuh di lahan selain tanaman utama jangan lagi dipandang sebagai musuh pengganggu, tetapi dipandang berkah sebagai sumber bahan organik.
Tumbuhan azolla, kiambang, dan eceng gondok yang biasa tumbuh di lahan sawah jangan dibuang, tetapi dibenamkan ke dalam tanah.
Sementara tanaman liar di sekitar lahan seperti titonia Tithonia diversifolia, kirinyu Chromolaena odorata, gamal Gliricidia sepium, dan orok-orok Crotalaria junce dapat juga dimasukkan ke dalam lahan.
Sebagai contoh riset Prof. Nurhayati Hakim di Universitas Andalas, Padang, mengungkap biomassa titonia mencapai 30-35 ton segar per tahun setara 6-7 ton kering per ha.
Ketiga, melakukan bera atau mengistirahatkan lahan 1—3 bulan untuk memberi kesempatan penutupan lahan oleh tumbuhan.
Penutup lahan berupa gulma dapat dibenamkan ke dalam tanah saat pengolahan tanah sehingga langsung menjadi sumber C-organik.
Selain itu, proses bera juga dapat dibantu manusia dengan menanam cover crop seperti orok-orok Crotalaria juncea.
Penanaman cover crop itu dalam jangka waktu 4 bulan sudah dapat menutup lahan sehingga ketika tanah diolah langsung dibenamkan sehingga dapat mendongkrak C-organik tanah.
Keempat, membangun "pabrik pupuk hijau gratis tahunan" di lahan dengan menyediakan lorong untuk tanaman penghasil biomassa seperti Flemingia congesta, Leucena glauca, Gliseridia sepium, Setaria splendida, dan Panikum maximum.
Tanaman berkayu tersebut ditanam di lorong lalu dipangkas setiap 2—3 bulan untuk disebarkan ke lahan. Balai Pengujian Standar Instrumen Tanah dan Pupuk mencatat bahwa tanaman tersebut dapat menghasilkan 30—70 ton biomassa segar per ha per tahun.
Kelima, menambahkan pembenah tanah organik yang tepat, serta memupuk dengan pupuk organik dan pupuk hayati yang berkualitas.
Keenam, rotasi tanaman pangan utama dan hortikultura dengan tanaman kacang-kacangan yang mampu menambat nitrogen dan bahan organik.
Ketujuh, tidak menggunakan herbisida dan pestisida berlebihan yang dapat mengganggu keseimbangan mikro dan makro fauna tanah yang berfungsi sebagai pengurai bahan organik dan pemberi dinamika kehidupan di lingkungan perakaran.
Dengan tujuh langkah tersebut maka upaya memulihkan lahan sawah kembali menjadi 2 persen tidak terlalu menguras energi dan biaya.
Tentu dibutuhkan dukungan dan insentif dari pemerintah, serta pengawalan dari penyuluh pertanian bagi petani yang melakukan hal tersebut.
*) Dr. Ladiyani Retno Widowati, MSc. (Kepala Balai Pengujian Standar Instrumen Tanah dan Pupuk) dan Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc (Peneliti di Pusat Riset Tanaman Pangan, Badan Riset, dan Inovasi Nasional).