Jakarta (ANTARA) - Kebijakan pengaturan BBM bersubsidi sepanjang dilakukan melalui pembatasan pembelian, dinilai tidak akan pernah diperoleh hasil yang optimal dan berpotensi menimbulkan sejumlah permasalahan ikutan dalam implementasinya.
"Biaya kebijakan pembatasan subsidi BBM berpotensi akan lebih besar jika dibandingkan dengan potensi manfaat yang akan diperoleh. Jika tidak terkelola dengan baik, biaya ekonomi dan biaya sosial dari kebijakan pembatasan BBM dapat tidak terkendali," kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro di Jakarta, Rabu.
Menurut Komaidi, potensi biaya sosial dari kebijakan pembatasan BBM subsidi pada tahun 2024 dapat lebih besar mengingat pada saat yang sama akan dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di seluruh Indonesia. Keterbatasan akses BBM pada saat pelaksanaan pesta demokrasi serentak dapat berpotensi memicu permasalahan vertikal dan horisontal.
Komaidi menyatakan kebijakan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) subsidi pada dasarnya bukan merupakan sesuatu yang baru. Kebijakan pembatasan BBM tercatat sudah diinisiasi dan diimplementasikan sejak Pemerintahan Presiden SBY dan terbukti tidak efektif.
ReforMiner sebagai lembaga riset ekonomi energi mencatat bahwa pada kebijakan pembatasan BBM sebelumnya, telah dilakukan dengan pemasangan Radio Frequency Identification (RFID) agar BBM subsidi dapat lebih tepat sasaran.
RFID disampaikan berfungsi membaca jumlah BBM yang dikonsumsi oleh kendaraan dan dipasang di SPBU. Sementara di kendaraan dipasang suatu alat yang disinkronkan dengan RFID.
"Berdasarkan data, dilaporkan sudah ratusan ribu kendaraan dipasang RFID, akan tetapi kemudian pemerintah membatalkan kebijakan tersebut," kata Komaidi memaparkan.
Ia berpendapat kebijakan pengelolaan BBM subsidi akan dapat lebih optimal jika pemberian subsidi BBM dilakukan melalui mekanisme subsidi langsung, yaitu pemberian subsidi secara langsung kepada individu penerima manfaat bukan melalui mekanisme subsidi terhadap harga barang seperti mekanisme subsidi yang diberlakukan saat ini.
Dari aspek regulasi pun, lanjut Komaidi, kebijakan pembatasan BBM subsidi relatif belum dapat dilaksanakan jika revisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 191/2014 belum diselesaikan oleh pemerintah. Badan usaha pelaksana penugasan (Pertamina) tidak memiliki rujukan dan payung hukum untuk pelaksanaan kebijakan jika revisi Perpres tersebut belum diselesaikan.
Di sisi lain, potensi nilai penghematan anggaran subsidi BBM yang akan diperoleh dari kebijakan pembatasan BBM pada dasarnya belum dapat dikuantifikasikan, jika objek atau kelompok yang akan menjadi target pembatasan tidak ditetapkan secara tegas oleh pemerintah.
"Jika mencermati kuota BBM subsidi dan BBM JBT (jenis tertentu) pada tahun 2024 dan 2025 yang tercatat lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, maka dari perspektif fiskal dapat dikatakan bahwa pemerintah pada dasarnya tidak berencana melakukan pembatasan BBM," ujar Komaidi. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan bahwa pihaknya akan melakukan pembatasan pembelian BBM bersubsidi yang direncanakan efektif sejak 17 Agustus 2024. Pembatasan dimaksudkan agar BBM bersubsidi lebih tepat sasaran dan dapat menghemat keuangan negara.