Jambi (ANTARA) - Provinsi Jambi dikenal sebagai salah satu daerah dengan potensi sumber daya mineral yang melimpah, terutama batu bara, emas, dan pasir mineral. Kontribusi sektor pertambangan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi ini cukup signifikan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Jambi, pada 2024 sektor pertambangan menyumbang lebih dari 23% terhadap total PDRB. Namun, besarnya potensi tersebut tidak selalu sejalan dengan optimalnya penerimaan negara maupun daerah.
Salah satu penyebabnya adalah maraknya shadow economy yaitu aktivitas ekonomi yang berlangsung di luar pengawasan pemerintah dan tidak tercatat secara resmi.
Dalam konteks tambang di Jambi, fenomena ini kerap terwujud dalam bentuk pertambangan tanpa izin (PETI), penjualan batu bara atau emas tanpa faktur pajak, penghindaran royalti, serta transaksi lintas batas ilegal.
Akibatnya, potensi penerimaan negara dari pajak, retribusi, dan royalti yang seharusnya menjadi modal pembangunan, justru hilang di “ruang gelap” perekonomian.
Shadow economy dalam sektor tambang tidak hanya berdampak pada aspek fiskal, tetapi juga memicu kerusakan lingkungan, konflik sosial, hingga rawan dimanfaatkan oleh jaringan kriminal lintas daerah.
Oleh karena itu, perlu strategi komprehensif yang tidak sekadar represif, melainkan juga membangun ekosistem formal yang inklusif, transparan, dan terintegrasi.
Faktor-Faktor Pemicu Shadow Economy Tambang di Jambi
Beberapa faktor yang dapat diidentifikasi sebagai pemicu shadow economy tambang di Provinsi Jambi adalah Pertama, kompleksitas legalitas dan perizinan dimana banyak pelaku tambang rakyat di Jambi yang beroperasi tanpa izin resmi, bukan semata-mata karena niat melanggar hukum, tetapi juga akibat proses perizinan yang rumit, mahal, dan memakan waktu. Keterbatasan akses informasi dan bantuan teknis membuat masyarakat lebih memilih jalur informal.
Kedua, lemahnya pengawasan di lapangan dimana hal ini berhubungan dengan luasnya wilayah tambang yang tersebar di kabupaten/kota membuat pengawasan menjadi tantangan besar.
Aparat pengawas tambang dan aparat penegak hukum sering kali kekurangan sumber daya, baik personel maupun teknologi monitoring berbasis satelit atau drone.
Ketiga, adanya dugaan keterlibatan Jaringan Perantara yang kerap melibatkan mata rantai distribusi yang panjang dan membuat pelacakan aliran barang dan dana menjadi sulit, termasuk di dalamnya pengepul, pedagang perantara, hingga jaringan lintas provinsi dan lintas negara.
Keempat, kesenjangan ekonomi dan pilihan mata pencaharian yang bagi sebagian masyarakat di sekitar tambang, shadow economy menjadi satu-satunya sumber penghidupan yang cepat menghasilkan uang. Rendahnya diversifikasi ekonomi membuat mereka sulit beralih ke sektor formal.
Kelima, minimnya sinergi antar instansi dalam penanganan shadow economy yang sering kali berjalan sektoral. Dinas ESDM, Kepolisian, Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup, hingga pemerintah daerah punya program masing-masing, namun koordinasinya lemah yang mengakibatkan tindakan upaya penegakan hukum dan pembinaan tidak berkesinambungan.
Dampak Shadow Economy Tambang terhadap Perekonomian Jambi
Bayangan gelap ekonomi tambang ilegal saat ini masih menjadi tantangan perekonomian di Provinsi Jambi. Kegiatan Penambangan Tanpa Izin (PETI) bukan hanya sekadar persoalan pelanggaran hukum, tetapi telah menjadi masalah multidimensi yang merembet ke ranah fiskal, lingkungan, sosial, hingga iklim investasi.
Praktik tambang ilegal yang berlangsung tanpa regulasi dan pengawasan resmi membuat potensi penerimaan negara dari sektor ini bocor begitu saja, sementara biaya sosial dan ekologis yang ditimbulkan harus ditanggung bersama.
Salah satu dampak paling nyata adalah hilangnya potensi penerimaan pajak dan royalti. Dalam sistem tambang legal, setiap ton mineral yang diambil akan tercatat dan dikenai pungutan pajak serta pembayaran royalti kepada negara.
Uang ini menjadi sumber penting bagi pemerintah daerah maupun pusat untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan berbagai layanan publik lainnya. Namun, transaksi dari tambang ilegal tidak pernah masuk dalam neraca penerimaan negara. Akibatnya, pemerintah kehilangan kesempatan untuk memperkuat kapasitas fiskal, sementara kebutuhan pembiayaan pembangunan terus meningkat.
Dampak berikutnya yang tak kalah serius adalah kerusakan lingkungan. PETI kerap dilakukan tanpa mengikuti prosedur Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau kewajiban reklamasi pasca tambang.
Sungai-sungai di Jambi tercemar oleh merkuri dan bahan kimia lain yang digunakan dalam proses pemisahan emas, memicu degradasi ekosistem perairan dan membahayakan kesehatan masyarakat di sekitarnya.
Lahan bekas tambang dibiarkan menganga, menyebabkan erosi tanah dan menurunkan produktivitas lahan pertanian di sekitarnya. Kerusakan ini bukan hanya merugikan generasi sekarang, tetapi juga membebani generasi mendatang yang akan mewarisi lingkungan yang sudah rusak.
Tak berhenti di situ, tambang ilegal juga memicu konflik sosial. Persaingan antar kelompok penambang ilegal sering kali berujung pada bentrok terbuka, memunculkan ketegangan horizontal di masyarakat.
Di sisi lain, sengketa lahan antara perusahaan tambang resmi dan penambang rakyat sering kali mengundang intervensi aparat keamanan, yang dalam beberapa kasus justru memperuncing ketegangan.
Konflik ini menimbulkan rasa tidak aman bagi warga, mengganggu harmoni sosial, dan pada titik tertentu mengancam stabilitas wilayah.
Dampak terakhir yang perlu dicermati adalah menurunnya daya saing investasi. Investor legal membutuhkan kepastian hukum, stabilitas harga, dan jaminan keamanan dalam menjalankan operasinya.
Ketika praktik ilegal dibiarkan merajalela, harga komoditas di pasar menjadi tidak stabil karena adanya pasokan dari jalur ilegal yang tidak mengikuti standar biaya dan regulasi. Hal ini membuat investor formal berpikir dua kali sebelum menanamkan modalnya di sektor pertambangan Jambi.
Dalam jangka panjang, kondisi ini akan menurunkan minat investasi, memperlambat penciptaan lapangan kerja formal, dan mengurangi potensi pertumbuhan ekonomi daerah.
Dengan demikian, shadow economy tambang di Jambi bukan sekadar masalah hukum atau penegakan aturan, tetapi sudah menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan pembangunan daerah.
Untuk mengatasinya, diperlukan sinergi kuat antara pemerintah pusat dan daerah, aparat penegak hukum, pelaku usaha, serta masyarakat. Tanpa upaya bersama yang konsisten, potensi ekonomi tambang yang seharusnya menjadi berkah justru akan terus menjadi sumber kerugian yang menggerogoti masa depan Jambi.
Model Penanganan Melalui InJEKSI sebagai Strategi Terpadu
Mengatasi persoalan shadow economy di sektor tambang Jambi membutuhkan strategi yang jauh melampaui tindakan penindakan biasa. Penegakan hukum memang penting, namun tanpa perubahan sistemik, praktik Penambangan Tanpa Izin (PETI) akan terus mencari celah untuk bertahan.
Di sinilah konsep InJEKSI yang merupakan singkatan dari Inisiatif Jaring Ekonomi Klarifikasi dan Sinergi Integratif sebagai model konseptual alternatif yang bersifat proaktif, integratif, serta berorientasi pada transformasi menyeluruh.
Model ini memandang penanganan tambang ilegal bukan semata urusan menangkap pelaku di lapangan, tetapi membangun sistem ekonomi yang mampu menyerap, mengarahkan, dan mengubah aliran ekonomi ilegal menjadi bagian dari sistem resmi yang produktif dan berkelanjutan dengan penjelasan sebagai berikut:
Inisiatif (In) adalah langkah pertama adalah memastikan pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan para pemangku kepentingan terkait tidak sekadar merespons ketika pelanggaran terjadi.
InJEKSI menekankan perlunya pemetaan wilayah rawan PETI secara detail, analisis rantai pasok mineral dari titik produksi hingga pemasaran, serta identifikasi aktor kunci yang terlibat, baik di hulu maupun hilir. Dengan basis data ini, kebijakan bisa diarahkan secara tepat sasaran, mencegah aliran ilegal sebelum menjadi masif.
Jaring Ekonomi (JE), makna frasa “jaring” dalam InJEKSI adalah simbol dari ekosistem formal yang mampu “menangkap” pelaku ekonomi ilegal untuk diarahkan masuk ke jalur resmi.
Salah satu instrumennya adalah pemberlakuan skema Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang disertai pembinaan teknis dan akses pembiayaan.
Dengan legalisasi bertahap, penambang rakyat dapat beroperasi secara sah, membayar pajak dan royalti, sekaligus mendapat pelatihan untuk menambang secara ramah lingkungan. Langkah ini tidak hanya mengurangi PETI, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Klarifikasi (K) adalah adalah kunci untuk mengeringkan ruang gerak shadow economy. Klarifikasi disini secara efektif mendorong penggunaan sistem digital terintegrasi untuk pencatatan data tambang, mulai dari produksi hingga penjualan.
Bahkan, pemanfaatan teknologi blockchain untuk rantai pasok mineral dapat memastikan setiap transaksi tercatat secara permanen dan dapat diverifikasi publik. Dengan demikian, manipulasi data, penghilangan jejak transaksi, atau under-reporting dapat diminimalkan secara signifikan.
Sinergi Integratif (SI) adalah pendekatan yang menempatkan sinergi sebagai pilar utama. Aparat penegak hukum, instansi teknis, otoritas fiskal, dan lembaga keuangan harus bekerja dalam satu kerangka koordinasi terpadu. Artinya, hasil penindakan PETI tidak berhenti pada penyitaan barang, tetapi juga diolah menjadi penerimaan negara melalui mekanisme lelang resmi. Pendekatan ini memastikan penegakan hukum berdampak langsung pada pemulihan kerugian negara, sekaligus menutup peluang keuntungan bagi pelaku ilegal.
Melalui InJEKSI, penanganan shadow economy tambang di Jambi tidak lagi sebatas urusan razia atau operasi gabungan, tetapi menjadi transformasi menyeluruh yang memadukan teknologi, regulasi, penegakan hukum, dan pemberdayaan masyarakat.
Model ini memposisikan pemerintah bukan hanya sebagai penindak, tetapi juga sebagai pengarah dan pengelola alur ekonomi agar manfaat sumber daya alam dapat dirasakan secara adil dan berkelanjutan.
Penerapan InJEKSI di Provinsi Jambi
Model InJEKSI (Inisiatif Jaringan Ekonomi dan Kepatuhan Sistemik Industri) menawarkan pendekatan terintegrasi untuk memberantas tambang ilegal sekaligus membangun ekosistem ekonomi rakyat yang legal dan berkelanjutan.
Provinsi Jambi, yang selama ini menjadi salah satu episentrum aktivitas pertambangan rakyat, merupakan wilayah yang tepat untuk menguji penerapan model ini. Implementasinya dapat dilakukan melalui tiga tahap strategis.
Tahap 1 – Pemetaan dan Klarifikasi adalah tahap awal dimulai dari langkah yang berbasis data dan teknologi. Menggunakan citra satelit beresolusi tinggi, pemerintah daerah dapat memetakan secara akurat titik-titik aktivitas tambang ilegal di seluruh wilayah Jambi.
Pemetaan ini tidak hanya melihat lokasi penambangan, tetapi juga mengidentifikasi jaringan jalur distribusi, titik pengolahan, hingga aliran logistik yang mendukung kegiatan tersebut.
Selanjutnya, data yang diperoleh akan diintegrasikan dengan basis data pajak mineral, izin tambang resmi, dan laporan produksi dari perusahaan yang beroperasi legal.
Integrasi ini disajikan dalam bentuk dashboard terpadu yang bisa diakses oleh lintas instansi seperti Dinas ESDM, Direktorat Jenderal Pajak (DJP), aparat kepolisian, dan bahkan kementerian terkait di tingkat pusat.
Dengan pendekatan ini, semua pihak memiliki informasi yang sama, meminimalkan celah perbedaan data, dan memudahkan pengambilan keputusan berbasis bukti.
Tahap 2 – Legalisasi dan Formalisasi Bertahap yang dilakukan setelah peta masalah jelas, yaitu dengan mengubah potensi konflik menjadi peluang ekonomi resmi.
Pemerintah daerah bersama pemerintah pusat dapat menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di titik-titik yang secara geologi memungkinkan untuk ditambang skala kecil dan tidak mengganggu kawasan lindung.
Melalui WPR ini, para penambang diberikan izin usaha mikro tambang rakyat dengan kewajiban membayar royalti dalam skema ringan, sehingga tidak memberatkan mereka namun tetap memberikan kontribusi resmi pada negara.
Selain itu, program akses pembiayaan mikro dan penyediaan teknologi ramah lingkungan, misalnya alat pemisah emas tanpa merkuri dapat membantu para penambang meningkatkan produktivitas sekaligus mengurangi dampak lingkungan.
Pendekatan legalisasi bertahap ini akan mengurangi ketegangan sosial karena memberi ruang transisi bagi penambang ilegal untuk masuk ke jalur formal tanpa langsung kehilangan mata pencaharian.
Tahap 3 – Penegakan dan Sinergi Lintas Sektor adalah Tahap terakhir adalah penegakan hukum yang kuat namun terukur. Operasi terpadu dilakukan dengan melibatkan Polri, TNI, Dinas ESDM, dan DJP untuk menghentikan rantai pasok ilegal secara menyeluruh.
Penegakan hukum tidak berhenti pada para pelaku lapangan, tetapi juga menargetkan pengepul, penyandang dana, dan jaringan distribusi yang menjadi tulang punggung ekonomi ilegal tersebut.
Pendekatan ini memastikan bahwa akar masalah benar-benar diputus, bukan sekadar mengganti pelaku di lapangan. Dengan sinergi lintas sektor, operasi penertiban akan lebih efektif karena masing-masing lembaga membawa kewenangan dan instrumennya sendiri.
DJP, misalnya, bisa menelusuri transaksi mencurigakan yang terkait hasil tambang ilegal; Polri dan TNI mengamankan wilayah; sementara Dinas ESDM memastikan semua operasi pertambangan pasca-legalisasi berjalan sesuai regulasi.
Penerapan InJEKSI di Jambi tidak hanya akan mengurangi aktivitas tambang ilegal secara signifikan, tetapi juga membuka peluang pajak dan penerimaan daerah yang selama ini hilang.
Lebih jauh, pendekatan ini bisa menjadi model nasional untuk memberantas pertambangan ilegal di provinsi lainnya, seperti di Kalimantan dan Sulawesi, dengan menempatkan legalisasi bertahap dan penegakan hukum yang berbasis data sebagai inti kebijakan.(Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis).
