Jambi (ANTARA Jambi) - Pemerintah diminta untuk terus meningkatkan mitigasi bencana sebagai upaya meminimalisir dampak dari sebuah bencana alam seperti gempa bumi yang mengguncang Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, kata praktisi kebencanaan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Teuku Alvisyahrin PhD.

"Perlunya latihan-latihan mitigasi kebencanaan itu untuk meningkatkan kesadaran bahwa kita berada di daerah rawan bencana," kata praktisi mitigasi bencana pada Tsunami and Disarter Mitigation Research Centre (TDMRC) Unsyiah, Teuku Alvisyahrin yang dihubungi dari Jambi, Kamis.

Gempa berkekuatan 6,5 skala richter mengguncang Pidie Jaya, Rabu (7/12) mengakibatkan korban jiwa meninggal dunia hampir mencapai 100 orang, dan ratusan jiwa lainnya luka-luka serta menghancurkan ratusan unit rumah, dan rumah toko milik penduduk setempat.

"Memang ada pelatihan tentang kebencanaan, tapi harus ditingkatkan lagi sehingga masyarakat di daerah rawan tidak lupa, dan selalu siap jika memang terjadi bencana. Kalau selama ini, misalnya di Aceh dilakukan pelatihan mitigasi sekali setahun, mungkin kedepan dua kali. Itu sebagai upaya kita mengurangi risiko bencana," kata dia.

Pelatihan-pelatihan mitigasi bencana yang selama ini telah dilakukan di sekolah-sekolah sejumlah daerah di Aceh, kata staf pengajar pada Prodi Magister Ilmu Kebencanaan Unsyiah Darusalam itu juga harus ditingkatkan agar kedepan adanya pemahaman masyarakat tentang bencana.

Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat di daerah rawan bencana, terutama gempa dan tsunami, katanya harus berupaya terus untuk memantapkan mitigasi guna mengurangi jatuhnya korban jiwa manusia dan harta benda.

"Hal tersebut dapat terlaksana jika sudah ada kebijakan mitigasi, misalnya soal rancang bangun rumah dan gedung tahan gempa. Itu bahagian ikhtiar atau usaha untuk menghindari jatuhnya korban jiwa dan harta benda ketika bencana terjadi," kata Teuku Alvisyahrin menjelaskan.

Selain itu juga, diperlukan kebijakan untuk melakukan pemetaan wilayah rawan bencana dengan membuat peta ancaman gempa atau tsunami, selain bencana banjir, dan tanah longsor khususnya di 23 kabupaten dan kota di Provinsi Aceh.

Dengan adanya peta ancaman gempa dan tsunami itu sehingga kedepan dapat melahirkan strategi untuk pengurangan risiko dari sebuah bencana yang terjadi, kata Alvisyahrin.

Pemerintah, katanya juga harus mengintervensi terkait dengan pengaturan tata ruang, terutama pengintegrasian tata ruang di daerah rawan bencana.

"Terkait dengan tata ruang, misalnya adanya relokasi yang harus dilaksanakan, tapi itu juga terkadang akan menimbulkan masalah. Pascatsunami Aceh, 26 Desember 2004, sudah dipersiapkan aturan yang tidak boleh ada pemukiman di areal dua kilometer dari bibir pantai. Namun, kenyataan warga tidak mau pindah karena memang penghidupannya di pesisir pantai," kata dia mencontohkan.

Di pihak lain upaya pengurangan risiko bencana, Alvisyahrin mempertanyakan apakah di semua wilayah rawan gempa itu sudah membuat aturan (perda) terkait pendirian bangunan tahan gempa. Gempa memang tidak "membunuh" orang, tapi bangunan yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa.



Pewarta: azhari

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2016