Jambi, Antarajambi- Provinsi Jambi memiliki aksara Incung yang termasuk aksara tertua yang ada di Indonesia, namun kenyataanya saat ini masyarakat khususnya generasi muda masih banyak yang belum mengetahui apa aksara Incung.
"Aksara Incung itu sempat tenggelam dan hampir punah, karena sudah lama sekali tidak diperkenalkan rutin kepada masyarakat khususnya generasi, sehingga sekarang masih banyak masyarakat Jambi yang belum tahu," kata Masgia, sembari menujukan Aksara Incung yang terpampang di lemari kaca Museum Siginjei Jambi.
Masgia yang juga Kepala Seksi Bimbingan dan Publikasi pada Museum Siginjei Jambi itu kepada Antara di Jambi, Kamis (7/9) menerangkan, Aksara Incung merupakan aksara tulisan yang digunakan masyarakat suku Kerinci sebelum datangnya tulisan Arab-Melayu.
Tulisan Incung kata dia, adalah tulisan naskah kuno yang bentuk tulisannya tidak lurus Incung atau yang artinya mencong. Bahasa dalam penulisan naskah tua ini adalah bahasa Kerinci Dahin (lama), yakni bahasa lingua franca suku asli Kerinci.
Catatan terakhir kata Masgia, sampai tahun 1825 aksara Incung masih digunakan masyarakat suku Kerinci. Namun pada awal abad ke XX aksara Incung secara perlahan tidak lagi digunakan sebagai media komunikasi tertulis.
"Setelah datangnya tulisan Arab-Melayu di bumi alam Kerinci itu aksara Incung itu secara perhalan tidak digunakan lagi," katanya.
Meskipun pada masa itu Aksara Incung tidak digunakan lagi, namun sampai saat ini naskah tua itu masih disimpan oleh masyarakat adat suku Kerinci sebagai benda pusaka yang dirawat secara turun temurun. Aksara Incung juga saat ini ada yang tersimpan menjadi koleksi di museum.
"Aksara Incung koleksi di Museum Siginjei ini kita lakukan perawatan rutin, dan setiap dua tahun kita bersihkan dan dilakukan revitalisasi," katanya.
Aksara Incung pada masa itu ditorehkan masyarakat suku Kerinci menggunakan berbagai media, yakni tanduk kerbau, tulang, bambu, kulit kayu. Namun tanduk dan bambu yang lazim digunakan sebagai media untuk mengabadikan tulisan itu.
"Karena jaman dulu kertas belum ada," kata Masgia yang puluhan menggeluti naskah filologi, khsusunya aksara Incung di Museum Sigenjei itu.
Aksara Incung yang ditulis pada masa itu beragam tentang apa yang disampaikan, misalnya tentang petatah-petitih nasehat dan syair pelipur lara yang dituliskan menggunakan tulisan Incung itu.
Kemudian kata dia, ada juga tentang naskah tulisan Aksara Incung yang pada masa itu dicatatkan untuk menentukan batas wilayah antara depati-depati (pemangku adat) di Kerinci.
"Selain itu ada yang mengenai mantra dan cara meramu pengobatan tradisonal juga disampaikan pada naskah Incung," kata pria asli Kerinci itu.
Masgia sendiri saat ini berharap banyak kepada generasi muda untuk lebih peduli terhadap aksara Incung yang merupakan sejarah dan budaya peninggalan nenek moyang yang teramat penting untuk dilestarikan.
Hingga saat ini hanya tinggal beberapa orang yang umumnya berusia lanjut yang masih dapat menulis dan memahami aksara Incung, sehingga dibutuhkan peran generasi untuk menjaga peninggalan sejarah ini agar tidak punah.
"Sekarang hanya tinggal beberapa orang tua yang berusia lanjut yang bisa memahami dan menulis aksara Incung itu," katanya.
Sekolah Incung
Tri Firmansyah, pemuda di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, yang tergugah untuk melestarikan dan belajar aksara Incung itu mendirikan komunitas sejak 2015 yang diberi nama Sekolah Incung.
"Nak kalau bapak ini sudah meninggal, siapa lagi yang mau mengajari orang-orang soal aksara Incung ini," kata Tri menirukan pesan dari orang tua yang masih konsen kelesetarian aksara Incung.
Dari perkataan bapak tua itu, Tri langsung bengong dan mengatakan. "Benar juga ya kalau bukan kita (generasi muda) yang menjaga supaya tidak punah, dari satu saya dan teman saya terketuk membuat komunitas Sekolah Incung," ceritanya awal mendirikan Sekolah Incung.
Menurutnya, aksara Incung tidak saja khasanah budaya masyarakat Kabupaten Kerinci dan Kota Sungaipenuh, namun sudah menjadi aset budaya Provinsi Jambi yang haru diketahui dan dikuasai masyarakat Jambi.
"Karena itu kami belajar bersama memberikan pelatihan kepada pemuda yang ingin belajar menulis Incung," katanya.
Pada momen Hari Aksara Internasional 2017 yang jatuh setiap 8 September, komunitas ini juga mendesak pemerintah daerah setempat agar memasukan aksara Incung dalam kurikulum pendidikan dengan menjadikannya materi pelajaran muatan lokal.
"Dulu memang sempat ada wacana mau dimasukan ke pelajaran muatan lokal, tapi pemerintah berdalih tidak ada gurunya," katanya.
Menurutnya setelah masuknya aksara Arab Melayu dan aksara latin, masyarakat Kerinci dan Kota Sungaipenuh tidak pernah lagi menggunakan aksara Incung yang merupakan warisan budaya leluhur mereka.
"Kami mendukung agar dimasukan ke pelajaran muatan lokal, jika pemerintah beralasan tidak ada gurunya, kami siap menjadi guru mengajarkan siswa-siswi belajar aksara Incung itu," kata Tri.
Generasi muda supaya lebih peduli menjaga aksara Incung yang menjadi kekayaan literasi dan peninggalan peradaban melayu kuno agar tidak punah karena tegerus arus globalisasi.
"Kalau bukan kita siapa lagi," demikian Tri.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2017
"Aksara Incung itu sempat tenggelam dan hampir punah, karena sudah lama sekali tidak diperkenalkan rutin kepada masyarakat khususnya generasi, sehingga sekarang masih banyak masyarakat Jambi yang belum tahu," kata Masgia, sembari menujukan Aksara Incung yang terpampang di lemari kaca Museum Siginjei Jambi.
Masgia yang juga Kepala Seksi Bimbingan dan Publikasi pada Museum Siginjei Jambi itu kepada Antara di Jambi, Kamis (7/9) menerangkan, Aksara Incung merupakan aksara tulisan yang digunakan masyarakat suku Kerinci sebelum datangnya tulisan Arab-Melayu.
Tulisan Incung kata dia, adalah tulisan naskah kuno yang bentuk tulisannya tidak lurus Incung atau yang artinya mencong. Bahasa dalam penulisan naskah tua ini adalah bahasa Kerinci Dahin (lama), yakni bahasa lingua franca suku asli Kerinci.
Catatan terakhir kata Masgia, sampai tahun 1825 aksara Incung masih digunakan masyarakat suku Kerinci. Namun pada awal abad ke XX aksara Incung secara perlahan tidak lagi digunakan sebagai media komunikasi tertulis.
"Setelah datangnya tulisan Arab-Melayu di bumi alam Kerinci itu aksara Incung itu secara perhalan tidak digunakan lagi," katanya.
Meskipun pada masa itu Aksara Incung tidak digunakan lagi, namun sampai saat ini naskah tua itu masih disimpan oleh masyarakat adat suku Kerinci sebagai benda pusaka yang dirawat secara turun temurun. Aksara Incung juga saat ini ada yang tersimpan menjadi koleksi di museum.
"Aksara Incung koleksi di Museum Siginjei ini kita lakukan perawatan rutin, dan setiap dua tahun kita bersihkan dan dilakukan revitalisasi," katanya.
Aksara Incung pada masa itu ditorehkan masyarakat suku Kerinci menggunakan berbagai media, yakni tanduk kerbau, tulang, bambu, kulit kayu. Namun tanduk dan bambu yang lazim digunakan sebagai media untuk mengabadikan tulisan itu.
"Karena jaman dulu kertas belum ada," kata Masgia yang puluhan menggeluti naskah filologi, khsusunya aksara Incung di Museum Sigenjei itu.
Aksara Incung yang ditulis pada masa itu beragam tentang apa yang disampaikan, misalnya tentang petatah-petitih nasehat dan syair pelipur lara yang dituliskan menggunakan tulisan Incung itu.
Kemudian kata dia, ada juga tentang naskah tulisan Aksara Incung yang pada masa itu dicatatkan untuk menentukan batas wilayah antara depati-depati (pemangku adat) di Kerinci.
"Selain itu ada yang mengenai mantra dan cara meramu pengobatan tradisonal juga disampaikan pada naskah Incung," kata pria asli Kerinci itu.
Masgia sendiri saat ini berharap banyak kepada generasi muda untuk lebih peduli terhadap aksara Incung yang merupakan sejarah dan budaya peninggalan nenek moyang yang teramat penting untuk dilestarikan.
Hingga saat ini hanya tinggal beberapa orang yang umumnya berusia lanjut yang masih dapat menulis dan memahami aksara Incung, sehingga dibutuhkan peran generasi untuk menjaga peninggalan sejarah ini agar tidak punah.
"Sekarang hanya tinggal beberapa orang tua yang berusia lanjut yang bisa memahami dan menulis aksara Incung itu," katanya.
Sekolah Incung
Tri Firmansyah, pemuda di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, yang tergugah untuk melestarikan dan belajar aksara Incung itu mendirikan komunitas sejak 2015 yang diberi nama Sekolah Incung.
"Nak kalau bapak ini sudah meninggal, siapa lagi yang mau mengajari orang-orang soal aksara Incung ini," kata Tri menirukan pesan dari orang tua yang masih konsen kelesetarian aksara Incung.
Dari perkataan bapak tua itu, Tri langsung bengong dan mengatakan. "Benar juga ya kalau bukan kita (generasi muda) yang menjaga supaya tidak punah, dari satu saya dan teman saya terketuk membuat komunitas Sekolah Incung," ceritanya awal mendirikan Sekolah Incung.
Menurutnya, aksara Incung tidak saja khasanah budaya masyarakat Kabupaten Kerinci dan Kota Sungaipenuh, namun sudah menjadi aset budaya Provinsi Jambi yang haru diketahui dan dikuasai masyarakat Jambi.
"Karena itu kami belajar bersama memberikan pelatihan kepada pemuda yang ingin belajar menulis Incung," katanya.
Pada momen Hari Aksara Internasional 2017 yang jatuh setiap 8 September, komunitas ini juga mendesak pemerintah daerah setempat agar memasukan aksara Incung dalam kurikulum pendidikan dengan menjadikannya materi pelajaran muatan lokal.
"Dulu memang sempat ada wacana mau dimasukan ke pelajaran muatan lokal, tapi pemerintah berdalih tidak ada gurunya," katanya.
Menurutnya setelah masuknya aksara Arab Melayu dan aksara latin, masyarakat Kerinci dan Kota Sungaipenuh tidak pernah lagi menggunakan aksara Incung yang merupakan warisan budaya leluhur mereka.
"Kami mendukung agar dimasukan ke pelajaran muatan lokal, jika pemerintah beralasan tidak ada gurunya, kami siap menjadi guru mengajarkan siswa-siswi belajar aksara Incung itu," kata Tri.
Generasi muda supaya lebih peduli menjaga aksara Incung yang menjadi kekayaan literasi dan peninggalan peradaban melayu kuno agar tidak punah karena tegerus arus globalisasi.
"Kalau bukan kita siapa lagi," demikian Tri.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2017