Kawasan Hutan Lindung Gambut (HLG) Londrang kembali terbakar disebabkan kawasan di sekitar HLG tersebut sudah menjadi areal konsesi dari perusahaan-perusahaan besar kelapa sawit dan juga hutan tanaman industri.

Ketika kawasan ini jadi areal konsesi maka sudah dipastikan dibangun kanal-kanal baik kanal utama dengan lebar 8 meter kedalaman 4 meter bahkan ada yang lebih maupun kanal-kanal sekunder yang akibatnya kawasan HLG Londrang yang berada di tengah merupakan kubah gambut itu ikut terpengaruh dengan kanal yang dibuat ikut kering kala musim kemarau, kata Asisten Komunikasi KKI Warsi, Sukmareni di Jambi, Rabu.

"Apalagi kawasan HLG Londrang juga tidak lepas dari masalah okupasi dan pembukaan lahan tanpa izin yang dilakukan pemodal menengah yang juga membuat kanal-kanal di kawasan lindung itu. Kedua kondisi ini menyebabkan Londrang tidak lepas dari bahaya kebakaran di musim kemarau," tambahnya.

Dalam penegakan aturan, berdasarkan PP nomor 57 tahun 2016, ketentuan untuk mengatur muka air gambut dipertahankan diangka 40 cm dari permukaan lahan masih belum diterapkan dengan baik. Masih terjadi tarik ulur yang akibatnya kawasan lindung yang berada di tengah areal gambut itu menjadi kekeringan.

Warsi mengimbau kepada pemberi izin dalam hal ini kementerian lingkungan hidup untuk izin HTI dan kementerian agraria pemberi izin HGU sawit untuk menegakkan aturan ketika perusahaan tidak tertib dalam aturan menjaga tinggi muka air gambut, terang Sukmareni.

Kemudian KKI Warsi juga menyerukan kepada pemerintah untuk mengembalikan fungsi lindung gambut. Dalam catatan Warsi saat ini dari 50 ribu Ha kawasan gambut dengan kedalaman lebih dari empat meter, 10 ribu Ha atau 21 persen telah dijadikan kawasan HTI dan 18 ribu HA atau 37 persen ditanami kelapa sawit sehingga kondisi ini yang menyebabkan gambut di pesisir pantai Tmur Jambi selalu terulang kebakaran di musim kemarau.

Sukmareni menjelaskan, tanpa melakukan perubahan dan penegakan hukum sudah pasti akan selalu timbul kebakaran gambut di musim kemarau. Kebiasaan masyarakat membuka lahan dengan tanpa bakar hingga kini masih belum bisa ditanggulangi, meski dalam perda penanggulangan kebakaran hutan dan lahan gambut sudah harus tidak ada pembukaaan lahan tanpa bakar.

Untuk melakukan ini perda mengamanakan pemerintah daerah mengalokasikan mekanisasi pertanian di tiap kecamatan.Namun kenyataanya hingga kini ketersediaan mekanisasi pertanian di tingkat tapak masih sangat minim dan kalau masyarakat menyewa biayanya sangat besar yaitu sekitar Rp4 juta per Ha untuk pembersihan lahan saja.

"Kemudian dalam menerapkan aturan masih belum singkron, sehingga tetap ada celah untuk melakukan pelanggaran dan lagi-lagi kebakaran kembali terjadi," kata Sukmareni.



 

Pewarta: Nanang Mairiadi

Editor : Syarif Abdullah


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2019