Pada proyek infrastruktur yang gencar dibangun, bahkan dengan status Proyek Strategis Nasional (PSN), pengadaan tanah kerap menjadi persoalan pelik yang kerap menghasilkan konflik agraria. Sebuah konflik dengan jumlah korban dan luasan yang tidak sedikit.

Berdasarkan pada Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (Catahu KPA), pada tahun 2022 telah terjadi sekurang-kurangnya 32 letusan konflik agraria dan 11 diantaranya terkait dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan luasan konflik mencapai 102.752 hektare dan berdampak pada 28.795 KK.

Sebelumnya, situasi lebih dramatis terjadi, tercatat sebanyak 52 kejadian konflik, dan 38 berasal dari proyek strategis nasional (PSN) selama 2021.

Jika dibandingkan dengan tahun 2020 yang tercatat terjadi 17 konflik PSN, maka pada tahun 2021 terjadi lonjakan sebesar 123 persen.

Dalam hal pertanahan, penyebab terjadinya konflik agraria dapat diidentifikasi sejak dari sisi regulasi, proses pembebasan tanah, dan model pembebasan tanah atau ganti kerugian yang terus berlangsung hingga rentan terjadi konflik pada tahap operasionalisasi proyek.

Pada sisi regulasi, percepatan target dan eksekusi pembangunan PSN selama ini menyebabkan ia ditopang kuat oleh berbagai regulasi penjaminnya khususnya untuk memudahkan proses pengadaan dan pembebasan tanah. Di antara regulasi tersebut adalah Peraturan Presiden Nomor 109/2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Dalam peraturan ini lebih dari 200 proyek bisnis raksasa milik pengusaha dan diklaim sebagai kepentingan umum.

Setelah pengesahan UU Cipta Kerja di tahun 2020, lahir beragam PP turunan seperti PP Nomor 64/2021 tentang Bank Tanah, PP Nomor 19/2021 tentang Pengadaan Tanah dan PP Nomor 42/2021 tentang PSN.

Sayangnya, jaminan regulasi tersebut telah memposisikan masyarakat di lokasi proyek pada status yang tidak selalu menguntungkan. Tidak heran jika sejumlah proyek tersebut memunculkan konflik agraria.

Pembebasan tanah

Kebutuhan tanah dalam proyek PSN yang telah ditetapkan oleh pemerintah akan dilanjutkan dengan proses meliputi Penetapan Lokasi, Perolehan Tanah, Penetapan Harga, Proses Pembayaran Ganti Kerugian/Konsinyasi.

Pada beberapa proyek yang lain terdapat juga terjadi kenaikan status sebuah proyek dari sebelumnya bukan PSN menjadi berstatus PSN melalui keputusan pemerintah.

Kenaikan status tersebut tentu berimplikasi pada proses pengadaan tanah dapat menggunakan standar pengadaan tanah pada PSN.

Dalam proses Penetapan Lokasi, minimnya pelibatan masyarakat setempat, pelibatan akademisi dan para pemangku kebijakan lainnya dalam hal penetapan lokasi telah mengakibatkan banyaknya informasi dan disinformasi pada lokasi proyek.

Tidak terbukanya penetapan lokasi telah memicu juga persoalan mafia tanah berupa banyaknya tanah-tanah yang telah berpindah tangan secara murah kepada orang kuat setempat, spekulan tanah yang bisa mempengaruhi tahapan proses selanjutnya khususnya yakni Penetapan Harga.

Pengaruh tersebut dapat berjalan pada sisi yakni jika lobi tentang penetapan harga menguntungkan spekulan tanah tidak terjadi, orang kuat setempat dan spekulan tanah ini bisa mendorong proses seolah-olah terjadi perlawanan masyarakat terkait dengan soal harga.

Selanjutnya, pada proses Penetapan Harga dengan menggunakan appraisal. Pemilihan jasa appraisal seringkali dianggap oleh masyarakat kurang bekerja secara baik dan berpihak kepada Calon Pengguna Tanah dapat memicu persoalan dalam penetapan harga.

Misalnya, terdapat proses penetapan harga tanah bandara di Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat untuk pembangunan bandara telah menetapkan harga ganti kerugian sebesar Rp1000/meter.

Pada proses Penetapan Harga yang tertutup dan kurang profesional telah menyebabkan ganti kerugian tanah tidak dapat menghasilkan harga yang cukup untuk membeli tanah baru dengan luasan tanah yang sama dan produktifitas yang sebanding, alih-alih menguntungkan masyarakat.

Umumnya masyarakat membuat perhitungan awal dari sebuah ganti rugi yang sebanding adalah nilai ganti kerugian dapat mengganti tanah dengan luasan dan kualitas produksi yang sama di lokasi baru yang tidak berjauhan.

Di lain pihak, tata cara perlawanan hukum masyarakat dalam atas Penetapan Harga melalui Pengadilan sebagaimana diatur oleh UU Pengadaan Tanah tidak banyak menghasilkan kemenangan masyarakat.

Bahkan, akibat ketertutupan informasi Penetapan Harga, masyarakat umumnya terlambat secara jangka waktu untuk melayangkan gugatan ke pengadilan.

Sedangkan pada proses Perolehan Tanah, terdapat proses berupa pengukuran ulang tanah-tanah masyarakat di lapangan.

Proses ini banyak menghasilkan salah ukuran luas dan kesalahan nama, banyak kecurigaan kesalahan ini besar kemungkinan disengaja untuk membuat masyarakat melakukan pendekatan kepada panitia untuk merevisi ukuran dan nama dengan melakukan penyuapan.

Tahapan selanjutnya adalah Proses Pembayaran Ganti Kerugian/Konsinyasi. Pada tahapan ini banyak terdapat laporan pemerasan dan penyuapan. Perolehan Tanah sangat rentan pemerasan dan penyuapan salah satunya karena perbedaan harga yang cukup jauh antara beberapa jenis tanah berupa bangunan, tanah pekarangan, tanah sawah dalam proses Penetapan Harga.

Pemerasan tersebut misalnya jika tidak membagi hasil ganti kerugian diancam jenis tanah pekarangannya dinyatakan sawah, atau memberi penyuapan agar tanah sawah dijadikan status tanah rumah/pekarangan. Itulah sebabnya ada banyak rumah-rumahan pada sawah di lokasi proyek.

Proses Pembebasan Tanah kerap kali mendapat tentangan dari masyarakat juga disebabkan oleh minimnya tawaran keuntungan jangka panjang kepada masyarakat yang lokasi tanahnya dipakai untuk proyek PSN.

Tidak adanya usaha memperkenalkan jenis/model Ganti Kerugian Lain yang sesungguhnya telah diatur oleh Undang-Undang seperti Relokasi dan Penyertaan Modal.

Pengabaian model ganti kerugian ini menandakan terdapat dominasi pemikiran bahwa pemilik atau penggarap tanah-tanah sebelumnya adalah penghambat, dan bukan subjek yang seharusnya dapat dilibatkan dan menjadi target untuk turut serta mendapatkan keuntungan jangka panjang dari pembangunan PSN.

Potensi eskalasi

Kecenderungan persoalan tanah yang tidak diselesaikan dapat berlanjut bahkan ketika PSN sudah memasuki masa-masa operasional.

Hal ini sesungguhnya memberi pertanda bahwa awal pengadaan tanah yang buruk membawa potensi letupan pada fase-fase sesudahnya jika masa operasional tidak sebaik yang dijanjikan.

Eskalasi konflik agraria pada sektor pertambangan ada potensi kecenderungan eskalasi konflik atau potensi kerusuhan pada proyek PSN yang terkait dengan pertambangan.

Hal ini disebabkan minimnya akses masyarakat sekitar tambang akibat kehadiran proyek PSN sementara kerusakan lingkungan dan SDA nyata dirasakan oleh masyarakat sekitar pertambangan.

Proses Penetapan Lokasi, Perolehan Tanah, Eksploitasi Tambang, Pengangkutan, Persoalan Perburuhan, dan relasi dengan masyarakat sekitar akibat eksploitasi tambang, pengangkutan hasil tambang, reklamasi pasca penambangan telah melahirkan sejumlah ketegangan dengan masyarakat sekitar.

Dapat disimpulkan bahwa rangkaian tahapan proses pertambangan memiliki jejak panas yang mudah meletupkan konflik sosial.

Hal yang sama juga terjadi pada wilayah PSN Pariwisata. Eskalasi konflik pariwisata disebabkan yang awalnya berupa konflik tanah juga dapat berhubungan dengan para korban non tanah akibat perubahan landskap bisnis yang berubah dan mengakibatkan peminggiran pelaku usaha sebelumnya.

Peningkatan eskalasi juga dipicu oleh minimnya tawaran, atau penghilangan model pariwisata rakyat yang telah terbangun sebelumnya.

Sehingga, jenis tawaran keterlibatan masyarakat hanya dipandang sebagai tenaga kerja atau pelaku usaha mikro di lapangan usaha pariwisata super premium.

Sementara, eskalasi konflik Food Estate dan perkebunan terjadi jika proses pengadaan tanah yang tidak adil juga berlanjut dengan praktik bisnis yang kurang menguntungkan/merugikan para mitra masyarakat atau petani plasma yang dilibatkan dalam proyek PSN ini.

Proses ini akan mengakibatkan eskalasi konflik PSN Food Estate atau perkebunan menjadi membesar.

Kecenderungan eskalasi terkait potensi konflik yang membesar pada proses pertanahan adalah naiknya status sebuah proyek yang sebelumnya proyek bisnis biasa menjadi status PSN.

Konsekuensi dari naiknya status tersebut sebagaimana telah dibahas di atas, membawa tata cara perubahan dalam proses pengadaan tanah.

Menurunkan risiko

Jika tidak segera dimitigasi, proyek PSN memiliki kerawanan dengan lingkungan sosial, sehingga sangat rentan berhadapan dengan masyarakat dan mengalami aksi-aksi perusakan, sasaran protes dan jenis aksi-aksi masyarakat lainnya.

Situasi semacam ini akan menghasilkan beban ekonomi biaya tinggi yang tidak terjadi sebelumnya yakni penambahan biaya asuransi hingga biaya siluman akibat pentingnya jaminan keamanan dari aparat.

Risiko investasi yang tinggi potensi konflik dengan masyarakat juga mengakibatkan permintaan fasilitas tambahan dari investor sejak dari perencanaan dan setelah proyek berjalan/operasional seperti jaminan pajak, asuransi yang semakin memperkecil keuntungan pemerintah dari proyek PSN

Menurunkan eskalasi Konflik Agraria pada proyek PSN urgen dilakukan. Konflik Agraria pada proses pengadaan tanah akan menurun jika pada proyek PSN baru direncanakan dengan baik bersama masyarakat.

Selain itu, ketika sedang memasuki tahapan-tahapan awal dilakukan pengawasan kuat dari sisi pengadaan tanah.

Kecenderungan de-eskalasi konflik jika proses perencanaan, perolehan tanah, pembangunan dan operasional PSN dijalankan dalam koridor yang transparan dan akuntabel dengan partisipasi masyarakat yang ditumbuhkan.

Sementara, untuk mencegah dan menyelesaikan konflik perlu juga dibentuk badan/lembaga adhoc yang mengawasi dan memberi arahan dalam proses perolehan tanah PSN dan memiliki kewenangan dalam memberikan arahan penyelesaian yang ditindaklanjuti oleh pelaksana PSN.

*) Iwan Nurdin; Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Anggota Majelis Pemberdayaan Masyarakat Pengurus Pusat Muhammadiyah.

Pewarta: Iwan Nurdin*)

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2023