Jambi (ANTARA Jambi) - Wakil Bupati Merangin Khafid Moein mengatakan bahwa pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat (MHA) Serampas adalah langkah politik hukum dalam rangka menjalankan amanat UUD 1945.
Sebab eksistensi masyarakat hukum adat sudah ada sejak sebelum berdirinya republik ini. Banyak hasil studi yang menyatakan bahwa MHA hingga saat ini masih memiliki kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam dan hutan.
"Keberadaan masyarakat hukum adat Serampas dengan kearifan lokalnya hingga saat ini masih ada, jadi harus diakui dan dihormati keberadaannya oleh NKRI," kata Khafid saat kegiatan Diseminasi dan Internalisasi Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengakuan dan Perlindungan MAH Serampas oleh Pemkab Merangin bekerjasama dengan WARSI dan UNDP, Selasa (21/6).
Menurut Wabup, Perda itu merupakan tonggak sejarah sekaligus momen penting bagi semua masyarakat di Kabupaten Merangin dan marga Serampas khususnya, untuk melestarikan kearifan lokal yang ada diwilayah Serampas. Untuk itu Perda itu perlu diketahui oleh masyarakat luas agar dapat dipahami dan implementasikan.
Deputi Direktur WARSI Yulqari mengatakan, selama ini marga Serampas terisolasi dari pembangunan. Dan dengan lahirnya keputusan MK 35 menjadi suatu landasan untuk melahirkan perda tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Serampas. Setelah itu dilakukan pendampingan dengan komitmen bersama oleh Pemda, DPRD, NGO, dan masyarakat, maka lahirlah perda nomor 8 tahun 2016.
Meski sudah memiliki perda, namun tantangan ke depan kata Yulqari masih sangat berat bagi masyarakat Serampas. "Kondisi saat ini memang masih relatif aman, namun bagaimana kondisinya ke depan kita belum bisa diketahui," katanya.
Dalam rangka implementasi Perda ini, dirinya mengimbau agar masyarakat dan semua pihak terkait bisa memastikan batas wilayah Serampas dengan desa tetangga, serta tetap solid menjaga kearifan lokal yang selama ini mereka pertahankan.
"Tantangan ke depan sangat berat, masyarakat boleh melakukan pemanfaatan sumber daya alam tapi yang berkelanjutan, jangan dieksploitasi. Intinya bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dan lingkungan. Untuk itu forum Serampas harus bekerja keras bagaimana agar masyarakat benar-benar paham ini," jelasnya.
Sementara Ketua Baleg DPRD Merangin, Sudirman mengatakan, pengesahan Perda tersebut membutuhkan perjalanan yang sangat panjang. Yaitu sekitar dua tahun. Karena pada tahun 2015 belum sempat dibahas dan baru tahun 2016 bisa dibahas.
Pembahasan itu dilakukan karena masyarakat Serampas sudah memiliki kearifan lokal dan memproteksi sumber daya alam mereka. Jadi, inisiatif DPRD ini bukan datang dengan sendirinya, tapi memang sudah ada prakarsa dari masyarakat.
"Yang perlu ditekankan adalah perlunya penyelesaian tata batas dan membuat pemetaan tata ruang wilayah adat. Perda ini harus disampaikan ke KLH untuk pelepasan kawasan hutan adat dari kawasan hutan Negara," kata Sudirman.
"Masyarakat Serampas sampai sekarang masih tetap menjaga hutan. Ini yang perlu kita apresiasi. Alhamdulillah air masih jernih, makan masih enak, dan udara masih bersih. Ke depan bagaimana kita melakukan pembinaan dan yang paling penting mencegah adanya perusakan. Dengan adanya perda ini konflik yang ada di masyarakat pun akan bisa ditanggulangi." katanya lagi.
Serampas adalah nama komunitas masyarakat hukum adat yang tersebar di lima desa sekitar kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), tepatnya di Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, Jambi. Mereka diperkirakan telah menempati daerah ini antara abad ke-11 dan abad ke-13 Masehi.
Awalnya Serampas terdiri dari tiga desa, yaitu Renah Alai, Tanjung Kasri, dan Renah Kemumu. Saat ini jumlahnya berkembang menjadi lima desa dengan adanya penambahan dua desa yang baru (Lubuk Mentilin dan Rantau Kermas) berasal dari desa Renah Alai.
Lokasi tiga desa yang pertama berada di pinggiran TNKS. Keberadaan taman nasional di daerah ini seringkali mendapat kritikan dari penduduk setempat. Hal itu dikarenakan sebelum TNKS ada mereka sudah lebih dulu tinggal di sana.
Untuk melestarikan keberlangsungan komunitas ini beserta kearifan lokalnya, terutama dalam menjaga hutan, dibutuhkan payung hukum dalam bentuk peraturan daerah (Perda). Perjuangan pengusulan ranperda tersebut berbuah manis dengan disetujuinya Perda Nomor 8 tahun 2016 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Marga Serampas. Perda ini merupakan salah satu respon atas keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 dan amanah Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945.
Subtsansi dari perda ini bersifat deklaratif, mengakui, dan memberikan perlindungan terhadap keberadaan dan hak-hak tradisional masyarakat Serampas yang selama ini terabaikan. Dengan adanya Perda ini hak-hak mereka dapat dipulihkan dan menjadi pintu masuk untuk melakukan pemberdayaan dan pembangunan di wilayah adat Serampas.(Ant)