Jakarta (ANTARA) - Tingkat kematian pada anak akibat COVID-19 yang diklaim lebih rendah dibandingkan orang dewasa tidak lantas menjadikan semua pihak lalai untuk melindungi anak dari kemungkinan terinfeksi virus corona.
Padahal program vaksinasi di Indonesia telah dimulai sejak 13 Januari 2021 ditandai dengan injeksi vaksin Sinovac kepada Presiden Jokowi sebagai orang pertama yang menerima vaksin di tanah air.
Vaksin yang sebelumnya sempat menuai kontroversi ini telah mendapatkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Pemerintah menargetkan vaksinasi ini akan menyasar 70 persen atau 181,5 juta orang yang akan diselesaikan dalam 15 bulan.
Pertimbangannya semata-mata agar memunculkan kekebalan kelompok (herd immunity) atas COVID-19. Namun, mengingat hingga saat ini masih belum ditemukan obatnya, maka COVID-19 masih menjadi pekerjaan rumah besar bangsa Indonesia.
Hal lain yang juga kemudian layak menjadi perhatian adalah nasib anak-anak di tengah pandemi.
Sebagaimana diketahui, vaksin COVID-19 yang ada kini hanya bisa diberikan untuk rentang usia 18-59 tahun.
Sementara untuk usia di bawah 18 tahun, vaksin ini belum diuji coba. Dengan kata lain, anak-anak belum bisa mendapatkan vaksinasi COVID-19. Padahal, anak-anak juga merupakan kelompok usia yang rentan tertular COVID-19.
Aktivis kesehatan anak Yayasan Abhipraya Insan Cendekia (YAICI) Yuli Supriati menekankan perlunya ditempuh cara lain untuk sementara ini sebelum vaksin COVID-19 untuk anak tersedia.
Sebab anak-anak pun butuh perlindungan di masa pandemi yang meresahkan ini. Maka Yuli lebih mendorong untuk menjaga imunitas anak dalam kondisi baik dan protokol kesehatan dari waktu ke waktu.
Memang kemudian hal yang menjadi kunci untuk membentengi anak-anak dari ancaman COVID-19 adalah orang tua.
Menurut dia, peran orang tua sangat penting, apalagi orang tua yang masih harus bekerja di luar rumah, bertemu banyak orang, ini harus waspada, jangan abai dengan protokol sehingga keselamatan keluarga juga terjamin, anak-anak terlindungi.
Baca juga: Hari Ibu dan tantangan pemenuhan gizi anak di tengah pandemi
Baca juga: KPPPA: Pemenuhan gizi anak terkendala pandemi COVID-19
Gizi Anak
Selain dengan penerapan protokol kesehatan, Yuli juga mengingatkan orang tua harus tetap memenuhi asupan gizi anak.
Pemenuhan gizi anak harus menjadi prioritas keluarga karena faktor inilah yang akan meningkatkan imunitas tubuh anak. Khusus untuk bayi dan balita bahkan juga penting sekali karena ini adalah masa penentuan masa depan anak. Jangan sampai asupan gizinya kurang, anak jadi kurang gizi dan yang paling bahaya adalah kekerdilan (stunting).
Faktanya harus diakui bahwa pandemi telah mengakibatkan dampak yang signifikan terhadap ekonomi keluarga.
Namun, hal itu tak lantas menjadi alasan pembenaran untuk misalnya membiarkan anak-anak kekurangan asupan nutrisi. Dari yang sering dia temui saat berhadapan dengan masyarakat yang memiliki balita adalah kebutuhan untuk balita itu menjadi salah satu pengeluaran rumah tangga yang besar. Karena itu, di saat situasi seperti ini, tanpa disadari anak-anaklah yang paling terdampak.
Berdasarkan pengamatan Yuli dari kunjungannya di beberapa kawasan padat penduduk di Jakarta seperti Manggarai, Cipinang, Senen hingga Tangerang, susu dan diapers anak adalah kebutuhan anak yang banyak dipangkas keluarga saat pandemi melanda.
Untuk diapers, nggak masalah, kata dia, masih ada alternatif popok kain yang juga lebih ramah lingkungan. Tapi untuk nutrisi dan asupan gizi, ini harus hati-hati.
Pegiat kesehatan anak ini menjelaskan, di dalam susu terdapat zat gizi dan mikronutrient yang penting bagi pertumbuhan anak. Namun, sayangnya, pengetahuan masyarakat mengenai hal ini masih kurang.
Kurangnya edukasi inilah yang menimbulkan persoalan baru di tengah masyarakat. Orang tua kemudian mencari alternatif nutrisi yang murah, yang penting anak tetap minum susu.
Maka jadilah anak mengonsumsi susu kental manis. Belum lagi di awal-awal bantuan sembako kerap terselip susu jenis ini, yang bukannya membentengi anak, tapi justru memancing masalah baru bagi kesehatan anak.
Langkah awal yang harus dilakukan orang tua adalah memastikan anak mendapat ASI minimal selama 6 bulan pertama.
Setelah 6 bulan, anak sudah mengenal makanan pendamping ASI (MPASI). Artinya, kebutuhan gizi anak dapat dipenuhi dari bahan pangan kaya protein.
Anak dibiasakan mengkonsumsi makanan tinggi kandungan gizi sejak dini, dengan demikian tidak ada ada alasan lagi orang tua memberikan kental manis untuk anak sebagai pengganti susu.
Baca juga: Sejumlah pihak komitmen dukung pelaksanaan imunisasi anak di Jatim
Baca juga: UNICEF akan pimpin upaya pengadaan, distribusi vaksin COVID-19
Risiko wasting
Sebelumnya, UNICEF memprediksikan jumlah anak yang mengalami wasting atau kekurangan gizi akut di bawah 5 tahun dapat meningkat secara global sekitar 15 persen karena COVID-19.
Sebagaimana disebutkan perwakilan UNICEF Debora Comini bahwa angka itu menunjukkan peningkatan risiko wasting. Pada saat yang sama, ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami wasting akan lebih cenderung mengalami stunting.
Anak-anak dengan stunting dan wasting akan rentan terhadap gangguan perkembangan jangka panjang.
“COVID-19 memukul keluarga yang paling rentan. Jika kita tidak segera meningkatkan layanan pencegahan dan perawatan untuk anak-anak yang mengalami masalah gizi, kita berisiko melihat peningkatan penyakit dan kematian anak,” kata Debora Comini.
Dalam merespon COVID-19, UNICEF bekerja dengan pemerintah untuk melanjutkan layanan gizi untuk anak-anak dan keluarga yang rentan.
Sejumlah langkah dilakukan, termasuk pemantauan pertumbuhan, distribusi gizi mikro, dukungan bagi para ibu untuk pemberian makan bayi dan anak secara memadai, dan penapisan serta perawatan anak balita karena gizi buruk.
Memang dibutuhkan langkah konkret untuk melindungi anak-anak dari ancaman tertular COVID-19. Selain bahwa mereka adalah kelompok usia yang rentan, faktanya mereka juga adalah segolongan usia yang paling terdampak COVID-19 dalam berbagai sisi.
Tak hanya fisik yang rentan kekurangan nutrisi namun dari segi psikis mereka kehilangan peluang untuk berinteraksi sosial dengan baik lantaran harus terkurung dalam rumah dan tak diizinkan sekolah.
Mereka pun sejatinya menunggu sampai saat vaksin COVID-19 bagi anak tersedia dan kekebalan komunal terbentuk hingga kebebasan menjadi milik mereka lagi. Tak bisa dipungkiri bahwa mereka adalah pemilik masa depan yang sesungguhnya.*
Baca juga: Kerentanan ganda anak penyandang disabilitas selama pandemi COVID-19
Baca juga: Satgas: Anak sekolah penyumbang 8,87 persen kasus COVID-19 nasional