Jakarta (ANTARA) - Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) mengingatkan kosmetik vegan yang berasal dari bahan nabati belum tentu otomatis halal, meski berpotensi mengurangi terkontaminasi najis, eksploitasi hewan, dan penyembelihan hewan tidak sesuai syariat.
Adapun unsur haram yang dimaksud Raafqi seperti penggunaan bahan penolong untuk produksi bahan baku yang berasal dari turunan produk hewani yang tidak jelas kehalalannya, seperti enzim hewani untuk memproses sebuah senyawa.
Selain itu, bahan yang berasal dari hasil fermentasi juga kritis karena bisa jadi menggunakan media mengandung bahan hewani.
Begitu juga dengan penggunaan alkohol. Dalam produk kosmetika seperti skincare atau perawatan kulit, alkohol biasanya berfungsi sebagai pelarut, pengemulsi, antiseptik, pengawet yang meminimalisasi pertumbuhan bakteri, hingga membantu agar penyerapan produk ke dalam kulit menjadi lebih maksimal.
Hukum penggunaan etanol dalam produk obat diatur di dalam Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2018 tentang Produk Kosmetika yang Mengandung Alkohol/Etanol dan Fatwa MUI Nomor 26 Tahun 2013 tentang Standar Kehalalan Produk Kosmetika dan Penggunaannya.
Dalam fatwa tersebut, ditegaskan bahwa penggunaan kosmetika untuk kepentingan berhias hukumnya boleh, dengan syarat bahan yang digunakan adalah halal dan suci serta tidak membahayakan. Sedangkan penggunaan kosmetika untuk dikonsumsi atau masuk ke dalam tubuh yang menggunakan bahan yang najis atau haram, hukumnya pun menjadi haram.
Berdasarkan hal tersebut, Raafqi pun menyarankan agar masyarakat tetap selektif dalam memilih produk kosmetika termasuk kosmetika vegan.
"Jangan mudah terkecoh dengan klaim halal sepihak dari produsen atau pedagang. Pastikan bahwa kosmetika yang dipakai telah benar-benar bersertifikat halal,” ujar dia.