Jakarta (ANTARA) - Pengamat pasar uang Ariston Tjendra menyatakan rupiah berpotensi melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Senin seiring kenaikan tingkat imbal hasil obligasi Pemerintah AS dan sentimen negatif di pasar keuangan.
“Menguatnya imbal hasil obligasi AS sudah dipicu oleh penurunan peringkat utang AS dan ditambah dengan data inflasi produsen AS di akhir pekan kemarin masih menunjukkan potensi kenaikan inflasi di AS,” ujar dia saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Data inflasi produsen inti AS pada Juli 2023 sebesar 2,4 persen disebut masih stabil atau belum bergerak turun dibandingkan Juni 2023 yang juga berada pada posisi 2,4 persen.
Penurunan peringkat utang AS telah dilakukan pula oleh Fitch Rating sebanyak satu notch dari AAA menjadi AA+.
"Dengan naiknya imbal hasil obligasi AS, pelaku pasar bisa jadi lebih memilih aset dolar AS dibandingkan rupiah. Selain itu dengan status dolar AS (sebagai) aset aman, isu negatif di perekonomian global seperti pelambatan ekonomi China, perang, dan lain-lain, mendorong pelaku pasar keluar dari aset berisiko dan masuk ke aset dolar AS yang memicu penguatan dolar AS," ungkapnya.
Adapun sentimen negatif di pasar keuangan muncul dalam berbagai berita. Sejumlah berita tersebut adalah potensi default perusahaan properti China yang tidak bisa membayar utang, tembakan peringatan kapal perang Rusia terhadap kapal kargo yang berusaha masuk ke laut hitam yang bisa memicu gangguan suplai lagi, dan ekspektasi pelambatan ekonomi China.
“Berita-berita tersebut memberikan sentimen negatif ke pasar hari ini dan tentunya sentimen bisa berubah sering dinamika pasar,” kata Ariston.