Semarang (ANTARA) - Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota (RPKPU Pencalonan Pilkada) segera dipublikasikan.
Begitu janji lembaga penyelenggara pemilu melalui pernyataan anggota KPU RI Idham Holik pada hari Kamis, 13 Juni 2024. Dengan demikian, masyarakat luas mengetahui isi draf RPKPU Pencalonan Pilkada apakah mengadopsi Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024 atau tidak.
Sebelumnya, Mahkamah Agung menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU RI Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Bunyi Pasal 4 ayat (1) huruf d itu pun diubah menjadi: "Berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih."
Karena putusan Mahkamah Agung ini bersifat final dan mengikat, tentunya revisi pasal tersebut wajib masuk dalam RPKPU Pencalonan Pilkada.
Putusan MA ini tidak hanya berlaku untuk seseorang atau sekelompok tertentu, tetapi semua warga negara Indonesia yang berhak memperoleh kesempatan sama untuk mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.
Akan tetapi, diskursus batas usia calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah ini sampai menyebut-nyebut nama putra bungsu Presiden RI Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang konon bakal meramaikan bursa pemilihan gubernur dan wakil gubernur di suatu provinsi.
Pasalnya, hingga pendaftaran pasangan calon (paslon) pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak, 27—29 Agustus 2024, usia Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu belum genap 30 tahun. Kaesang Pangarep lahir di Kota Surakarta, Jawa Tengah, pada tanggal 25 Desember 1994.
Namun, sebenarnya kesempatan itu tidak hanya Kaesang, tetapi pemuda lain pun berpeluang ikut kontestasi Pilkada 2024, baik di 37 provinsi maupun 508 kabupaten/kota.
Di tengah perdebatan, dua warga negara Indonesia bernama A.Fahrur Rozi dan Antony Lee pada tanggal 11 Juni 2024 mengajukan uji materi Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 terhadap UUD NRI Tahun 1945 ke Mahkmah Konstitusi (MK).
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini memandang perlu MK memprioritaskan perkara dengan Nomor Akta Pengajuan Permohonan Pemohon (AP3): 69/PUU/PAN.MK/AP3/06/2024, kemudian memutuskannya sebelum pendaftaran paslon Pilkada 2024.
Pengujian ke MK akan bisa menjawab isu konstitusionalitas persyaratan pencalonan yang menjadi kontroversial karena adanya tafsir yang berbeda dalam operasionalisasinya. Oleh sebab itu, sangat perlu kepastian hukum dalam mengimplementasikan ketentuan persyaratan usia calon dalam pencalonan Pilkada 2024.
Di sini diperlukan putusan MK untuk akhiri perdebatan terkait dengan kapan syarat usia diberlakukan meskipun selama ini tidak ada masalah soal pemberlakuan syarat usia calon, baik pada pilkada maupun pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres), yang dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU.
Akan tetapi, hal itu menjadi spekulasi khususnya setelah putusan MA yang menafsirkan berbeda. Apalagi, putusan tersebut terbit ketika tahapan pencalonan sudah berlangsung memasuki fase krusial verifikasi administrasi bakal pasangan calon perseorangan.
Perdebatan soal syarat usia ini, menurut dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI Titi Anggraini, sejatinya merupakan substansi undang-undang yang lebih tepat diselesaikan oleh MK untuk menjawab isu konstitusionalitasnya.
Dengan demikian, kepastian hukum pencalonan pilkada bisa lebih terjamin dan dapat menjadi pedoman semua pihak sebagai prosedur yang harus diikuti dalam mengukur keberlakuan syarat usia calon pada pilkada.
Jika KPU menganggap syarat usia sebagaimana putusan MA hanya berlaku ketika pendaftaran paslon pada tanggal 27—29 Agustus 2024, artinya KPU telah berlaku diskriminatif dan seolah hanya mengakomodasi calon dari jalur partai politik semata.
Ditegaskan pula bahwa pencalonan pilkada itu proses panjang, bukan hanya dimulai saat pendaftaran calon. Hal ini berbeda dengan pilpres, pencalonan pilkada mengenal calon perseorangan yang prosesnya sudah mulai dengan penyerahan syarat dukungan bakal pasangan calon perseorangan sejak 5 Mei 2024.
Penyerahan syarat dukungan tersebut ketika syarat usia calon masih merujuk pada usia saat penetapan paslon oleh KPU. Mereka yang mempersiapkan berkas dukungan tentu mengukur keterpenuhan syarat usia sesuai dengan ketentuan PKPU Nomor 9 Tahun 2020, yaitu ketika penetapan sebagai paslon oleh KPU.
Saat ini bakal pasangan calon perseorangan sudah sampai pada tahapan verifikasi administrasi oleh KPU daerah (provinsi dan kabupaten/kota).
Oleh karena itu, putusan MK menjadi strategis untuk meluruskan persoalan ini. Mahkamah Konstitusi dalam sejumlah putusan konsisten menegaskan bahwa persoalan usia adalah kebijakan hukum yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang.
Misalnya dalam Putusan MK No.141/PUU-XXI/2023 dan Putusan No.15/PUU-V/2007. Dengan demikian, pada tataran teknis, operasionalisasinya menjadi kewenangan dari KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Pakar kepemiluan Titi Anggraini mewanti-wanti Hakim Konstitusi Anwar Usman, yang juga paman Kaesang, agar tidak terlibat dalam memutus perkara pengujian syarat usia calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.
Perkara ini meski diajukan bukan oleh Kaesang Pangerep, materi perkaranya bisa berdampak pada pencalonan pria kelahiran 25 Desember 1994 ini pada Pilkada 2024.
Sesuai dengan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sebelumnya dan Kode Etik Hakim terkait dengan benturan kepentingan, Anwar Usman semestinya tidak terlibat dalam memutus perkara pengujian syarat usia tersebut.
Kejelasan perkara ini sangat dibutuhkan untuk kepastian hukum pencalonan Pilkada 2024. Apalagi, selama ini MK sudah terbiasa memutus cepat apabila substansi perkaranya sudah jelas dan aspek konstitusionalitasnya juga pasti.