Semarang (ANTARA) - Siapa pun yang akan ikut bursa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota setidaknya mengenal betul geografis dan karakteristik masyarakat, termasuk kearifan lokal tempat mereka berlaga.
Dengan menguasai "medan tempur", mereka akan lebih mampu menuangkan ide/gagasan dalam visi dan misi serta program kerja yang lebih menitikberatkan pada kepentingan rakyat.
Solusi yang mereka tawarkan berpotensi mendapat sambutan positif calon pemilih karena menyentuh pada kebutuhan laten (tersembunyi), bukan sebatas memenuhi keinginan masyarakat semata.
Setidaknya program kerja 5 tahun ke depan menyentuh pada kebutuhan hidup layak seperti kecukupan akan pangan, sandang, kesehatan, pendidikan untuk putra/putri mereka minimal sampai sekolah lanjutan tingkat atas, dan papan melalui program perumahan murah yang terjangkau.
Visi dan misi mereka tentunya tidak lepas dari kehidupan masyarakat yang aman, nyaman, sehat, makmur, dan sejahtera. Oleh karena itu, bagi siapa pun yang bakal maju dalam pilkada, perlu menginventarisasi problematika yang terjadi di suatu provinsi, kabupaten, maupun kota seawal mungkin.
Di sinilah peran partai politik (parpol) sangat penting sebelum mendaftarkan mereka sebagai pasangan calon, baik pada pemilihan gubernur/wakil gubernur, pemilihan bupati/wakil bupati, maupun pemilihan wali kota/wakil wali kota.
Dalam penjaringan bakal pasangan calon, misalnya, tidak hanya berpatokan pada hasil survei. Akan tetapi, melihat sejauh mana mereka menguasai arena, kemudian menguji kemampuan mereka dalam mengatasi problematika di tengah masyarakat yang kelak mereka pimpin.
Dengan demikian, partai politik dan/atau gabungan parpol pengusung pasangan calon tidak sekadar kepentingan politik elektoral semata, tetapi melalui "rahim parpol" melahirkan calon pemimpin yang betul-betul mumpuni sekaligus selaras dengan ekspektasi rakyat.
Mumpung saat ini masih ada ruang dan waktu yang relatif cukup untuk menyeleksi bakal pasangan calon yang mendaftar ke parpol peserta Pemilu 2024. Sesuai dengan jadwal, Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru membuka pendaftaran calon peserta pilkada pada tanggal 27—29 Agustus 2024.
Setelah jadwal penetapan pasangan calon pada tanggal 22 September 2024, peserta pilkada setidaknya sudah mengantongi "jurus jitu" yang akan mereka tawarkan kepada calon pemilih pada masa kampanye, 25 September—23 November mendatang. Setelah masa tenang selama 3 hari, masyarakat menggunakan hak pilihnya pada tanggal 27 November 2027.
Bahan kampanye
Agar rasa aman dan nyaman masyarakat tidak terusik akibat "banjir langganan" yang selalu menghantui mereka, pasangan calon sudah memetakan daerah rawan banjir sekaligus memberi solusi. Misalnya, pembangunan dam lepas pantai sepanjang pantai utara Jawa Tengah, membuat bendungan/tanggul, dan teknologi pencegah banjir lainnya.
Khusus di Jawa Tengah, daerah yang mengalami genangan akibat curah hujan tinggi, luapan air sungai, ataupun kerusakan bendung/tanggul yang mengancam areal persawahan, jalan, dan permukiman melanda di sejumlah daerah, antara lain, Kabupaten Demak, Grobogan, Kendal, Kota Semarang, Pati, Kudus, Brebes, Tegal, Pekalongan, Kebumen, Magelang, Purworejo, Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, Sragen, Karanganyar, Cilacap, Banjarnegara, Banyumas, dan Purbalingga.
Baik pasangan Pilgub Jateng maupun peserta pilkada di kawasan rawan banjir mulai memilih teknologi pencegah banjir yang sesuai dengan daerah masing-masing.
Begitu pula mereka yang berlaga di daerah rawan kekeringan seperti Kabupaten Cilacap, Kebumen, Purworejo, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, Grobogan, Jepara, Kudus, Blora, Rembang, Pati, dan Demak.
Peserta pilkada paling tidak menawarkan inovasi mengatasi kekeringan pada musim kemarau agar ketersediaan air untuk kebutuhan konsumsi masyarakat dan keperluan pertanian tetap terjaga. Apalagi, pada musim kering diperparah dampak perubahan iklim dan pemanasan global.
Pasangan calon yang bertarung di daerah yang masuk kawasan rawan letusan gunung berapi tampaknya perlu memitigasi bencana untuk mencegah korban jiwa.
Mereka setidaknya memiliki gambaran menyelamatkan penduduk di sekitar puncak gunung berapi yang rawan terhadap bahaya primer berupa lelehan lava, semburan api, luncuran awan panas piroklastik, gas vulkanis beracun dan bahaya sekunder berupa aliran lahar hujan, banjir bandang, dan longsoran material vulkanik.
Bahaya tersebut khususnya mengancam kawasan Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, Boyolali, Klaten, Kota Magelang, dan Gunung Slamet di Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal, Brebes, dan Kota Tegal. (Sumber: Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Buku I & II Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Tahun 2021)
Khusus wilayah selatan Jawa Tengah merupakan kawasan rawan gempa bumi karena relatif lebih dekat dengan zona tumbukan lempeng benua dan terdapat sebaran garis-garis sesar aktif yang terdapat di Kabupaten Cilacap, Kebumen, Purworejo, Klaten, dan Wonogiri.
Peristiwa gempa bumi signifikan terakhir terjadi pada tanggal 27 Mei 2006 berkekuatan 6,3 skala Richter (skala magnitudo lokal), yang mengguncang bagian selatan Pulau Jawa dan berdampak hingga radius 95 km dari pusat gempa meliputi Kabupaten Klaten, Sukoharjo, Boyolali, Wonogiri, Purworejo, Magelang, Kebumen, Temanggung, dan Karanganyar.
Selain itu, sejumlah kabupaten/kota di Jawa Tengah juga masuk kawasan rawan gelombang pasang seperti Kabupaten Cilacap, Kebumen, Purworejo, Wonogiri, Rembang, Pati, Jepara, Demak, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Kota Semarang, Pekalongan, dan Tegal.
Dalam program kerja masing-masing pasangan calon, tampaknya perlu pula ada langkah-langkah antisipasi yang riil, terutama di daerah rawan tsunami. Kawasan ini meliputi pesisir pantai selatan berhadapan dengan Samudra Hindia yang terdapat di Kabupaten Cilacap, Kebumen, Purworejo, dan Wonogiri.
Berdasarkan catatan Pemprov Jateng, tsunami terakhir terjadi pada tanggal 17 Juli 2006 akibat gempa bawah laut di Samudra Hindia dan menimbulkan jatuhnya korban jiwa, kerusakan sarana dan prasarana perikanan, serta kerusakan lingkungan pantai di Cilacap, Kebumen, dan Purworejo.
Beberapa kabupaten/kota di Jawa Tengah juga masuk kawasan rawan abrasi. Pengikisan tanah daratan kawasan pesisir pantai utara ini berakibat pada kerusakan kawasan pertambakan, pelabuhan, dan permukiman di Kabupaten Rembang, Pati, Jepara, Demak, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Kota Semarang, Kota Pekalongan, dan Kota Tegal.
Bencana angin topan juga pernah terjadi di Kabupaten Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Wonosobo, Magelang, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Blora, Pati, Kudus, Jepara, Demak, Kota Semarang, dan Pekalongan.
Begitu pula gas beracun juga pernah melanda wilayah di sekitar kawah Sinila, Timbang, Sikendang, Sibanteng, dan Sileri di kawasan Pegunungan Dieng. Bencana ini mengancam areal permukiman dan pertanian desa-desa sekitarnya di wilayah perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo.
Ada secercah harapan pada program serta visi dan misi mereka yang akan berlaga pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah menjawab kebutuhan masyarakat di 35 kabupaten/kota.
Setidaknya program kerja itu menyentuh keamanan dan ketertiban masyarakat, mempertebal rasa aman dan nyaman masyarakat meski tinggal di daerah rawan bencana, meningkatkan daya beli walau harga sembako mengalami fluktuasi yang tak menentu, kemudian mewujudkan Jawa Tengah lumbung pangan nasional.