Jambi (ANTARA Jambi) - Manajer Lapangan program Pelestarian Harimau Sumatera Taman Nasional Kerinci Seblat (PHS-TNKS) menilai sanksi atau hukuman terhadap pelanggaran pelestarian satwa di Indonesia hingga saat ini masih lemah sehingga harimau Jawa dan harimau Bali sampai mengalami kepunahan.
Tindakan atau perlakuan hukum terhadap pelanggaran pelestarian satwa di Tanah Air masih sangat lemah, sehingga dua spesies harimau khas Indonesia, yakni harimau Jawa dan harimau Bali sampai punah.
Kondisi itu pula yang dihadapi harimau Sumatera saat ini, kata Manajer Lapangan PHS-TNKS Dian Risdianto di Jambi, Selasa.
Salah satu indikasi kelemahan tersebut adalah pada tindakan pencegahan terjadinya pelanggaran terhadap pelestarian harimau atau satwa pada umumnya seperti tidak ada pasal yang menegaskan adanya hukuman terhadap rencana pembunuhan satwa.
Akibatnya setiap pelanggaran yang terjadi meskipun indikator untuk menjerat pelaku sudah sangat kuat seperti adanya perencanaan dan barang bukti berupa peralatan seperti jerat atau senjata api, namun tetap saja pelaku tidak bisa dijerat oleh hukum, kalau rencana jahatnya tersebut belum terjadi.
"Kalau pada KUHP ada pasal pembunuhan terencana, sementara pada UU Pelestarian Satwa sama sekali tak ada pasal tersebut, tindakan hukum hanya bisa diberikan pada pelanggaran yang sudah terjadi semisal terjadi perburuan atau penjeratan satwa, itupun kalau satwa yang diburu didapati sudah mati sebagai barang bukti," ujar Dian.
Selama ini, yang bisa ditindak secara hukum adalah para pelaku yang telah tertangkap tangan dengan barang bukti berupa kulit harimau, kulit beruang, tanduk rusa atau berupa satwa kecil yang masih hidup seperti trenggiling, landak, dan burung.
Sanksi yang diberikan pun terbilang sangat lemah, pelaku hanya dihukum antara tiga bulan hingga hukuman maksimal tiga tahun penjara, padahal tuntutan maksimal lima tahun penjara ditambah denda.
ia mengatakan, dari enam kasus yang telah ditindak secara hukum atas pelanggaran yang terjadi dalam kawasan TNKS, selama ini para pelaku kebanyakan hanya dihukum tiga bulan penjara, sementara para oknum yang terlibat tidak jarang hanya mendapat sanksi administratif berupa mutasi dari instansi pemerintah tempat kerjanya.
Selain itu, hukuman terhadap pemburu atau pelaku pelanggaranpun tidak dihitung dari kuantitas pelanggaran yang telah dilakukan, misalnya antara pelaku yang baru membantai satu harimau dengan yang telah membantai sepuluh atau belasan harimau ancaman hukumannya tetap hanya dalam satuan atau hanya dianggap satu pelanggaran bukannya dihitung sebanyak jumlah korbannya seperti KUHP, kata Dian.
Akibat lemahnya sanksi hukum inilah, para pemburu atau pelaku tidak mendapatkan kesadaran, sehingga banyak di antara mereka yang menjadi residivis satwa kambuhan setelah mereka keluar dari penjara menuntaskan hukumannya.(Ant)