Jambi (ANTARA Jambi) - Kepala Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi Tri Siswo mengatakan, saat ini modus penjarahan lahan hutan dilakukan dengan cara memanfaatkan warga Suku Anak Dalam (SAD) di daerah tersebut.
"Saat ini telah ada sejumlah perusahaan yang berani secara terang-terangan merambah kawasan hutan dengan memanfaatkan warga SAD," katanya di Jambi, Minggu.
Modus yang digunakan, warga SAD sengaja dipelihara, lalu mereka dirayu dan disuruh membuka lahan baru di kawasan hutan yang akan menjadi target penguasaan.
Setelah hutan berhasil dibuka oleh para SAD, para penjarah akan menawarkan barter lahan tersebut dengan barang, seperti sepeda motor, TV, bahkan mobil.
"Ini modus baru yang kita temui. Dalam pengamatan kami, sepanjang lima tahun ini sudah beribu-ribu hektare hutan berpindah tangan ke beberapa perusahaan dengan modus memanfaatkan warga SAD ini," jelasnya.
Trisiswo mengakui, penjarahan hutan ini diotaki oleh aktor intelektual sehingga pihaknya kesulitan dalam menghadapi kasus ini. Masih ada sembilan bentuk perbuatan tindak pidana di bidang kehutanan di daerah tersebut yang terjadi.
Kejahatan kehutanan tersebut yakni penebangan pohon, perambahan, pembakaran, penambangan, konservasi kawasan hutan tidak mengikuti ketentuan, perburuan liar, dan pengangkutan hasil hutan tanpa izin dan penguasaan hasil hutan tidak sah serta membawa alat berat tanpa izin sah ke lokasi hutan.
"Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya kejahatan itu. Faktor utama lantaran Polhut tidak melaksanakan patroli dengan benar," katanya.
Selain itu, juga karena semakin bertambahnya jumlah penduduk di sekitar hutan, terbatasnya lapangan kerja dan masyarakat miskin di sekitar hutan.
"Terbukanya akses masyarakat setempat terhadap pemanfaatan hutan. Rendahnya kapasitas SDM, tapal batas tidak jelas, tidak terpadunya tata ruang dan masyarakat tidak mematuhi peraturan perundangan juga menjadi faktor penyebab," ujarnya.
Fachrurozi, Kasi Pembalakan Liar Wilayah 1 Kemenhut menjelaskan, beberapa kendala yang melatarbelakangi sulitnya penegakan hukum atas tindak kejahatan di bidang hutan (Tipihut) ini dikarenakan lemahnya kelembagaan.
"Akibatnya, hutan cenderung menjadi properti bersama yang implikasinya terjadi ekploitasi berlebihan, maraknya Tipihut, pembakaran hutan, perambahan dan pertambangan liar. Saat ini tidak ada lagi rekruitmen Polhut sebagai pemangku kawasan," katanya.
Sistem yustisi juga berpengaruh terhadap penegakan hukum. Saat ini hukum belum menjadi alat efektif mengatasi Tipihut. Rendahnya integritas moral oknum aparat dalam penegakan hukum juga menjadi persoalan.(Ant)