Surabaya (ANTARA Jambi) - Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan bahwa anak autis dapat tumbuh sebagai anak normal dengan kasih sayang, dukungan serta pendidikan yang tepat sesuai kondisinya.
"Mereka bisa hidup normal sebagai anak normal. Mereka bisa tumbuh kembang secara normal, jika diberi kasih sayang dan pendidikan yang tepat. Ini bukan penyakit tapi ini kondisi dari seorang anak yang memang lahir dengan kondisi itu," kata Menkes disela-sela peninjauan Puskesmas Dupak, Surabaya, Selasa.
World Autism Day diperingati setiap 2 April dan selama bulan April juga dikenal sebagai World Austism Month yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat mengenai kondisi yang membutuhkan perlakuan khusus tersebut.
Autisme sendiri bukanlah kondisi mental yang langka dimana Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa satu di antara 150 anak usia 5-16 tahun mengalami kondisi autis dalam berbagai tingkatan.
Menkes juga berharap agar tidak ada lagi diskriminasi terhadap penderita autisme terutama anak-anak dan agar masyarakat memberikan dukungan sosial dan menerima para penderita autis dalam pergaulan.
"Sebenarnya autisme itu, kalau gak didiskriminasi tapi diberi 'social support' (dukungan sosial), diberi perawatan, cinta, dan pdidikan yang baik, tidak ada alasan mereka terpisah dari masyarakat," ujar Menkes.
Nafsiah mengakui tindakan diskriminasi terhadap penderita autisme di Indonesia telah mulai menurun sehingga angka penemuan penderita autisme meningkat namun Menkes berharap agar diskriminasi sama sekali dihapuskan.
"Ini perlu sekali seluruh masyarakat mengerti anak autis bukan penjahat, anak autis bukan orang yang harus disingkirkan. Justru dengan pendekatan inklusif mereka bisa tumbuh kembang secara wajar," kata Menkes.
Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Diah Setia Utami mengatakan, di Indonesia pada awal tahun 2000, angkanya berkisar satu di antara 800 anak, namun ia menekankan bahwa pendataan itu masih "under diagnosis" dimana diperkirakan jumlahnya jauh lebih banyak daripada itu.
"Masih banyak kasus yang belum terdeteksi sehingga sulit diketahui berapa banyak penderita autis sebenarnya," katanya.
Gejala awal autisme yang tidak spesifik seringkali membuatnya sulit dibedakan dengan kondisi lainnya seperti hiperaktif atau ADHD dan membuatnya semakin sulit untuk didiagnosis.
Oleh karena itu, Diah menyebut Kementerian Kesehatan melatih kader hingga ke tingkat PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) untuk membantu mensosialisasikan gejala autis kepada para orang tua untuk dapat melakukan diagnosis mandiri.
"Jadi jika ibu melihat anaknya diam-diam saja, main sendiri dan memiliki kesulitan untuk berinteraksi secara emosional dengan orang lain maka harus dicurigai dan dibawa untuk konsultasi ke puskesmas," papar Diah.
Ketidakmampuan berinteraksi secara emosional dengan orang lain disebut Diah merupakan gejala yang paling umum dalam autisme dan jika seorang anak didiagnosis mengalami kondisi tersebut akan dirujuk lebih lanjut ke rumah sakit untuk bertemu dokter spesialis.
Diharapkan para orang tua dapat mengenali kondisi tersebut sejak dini sehingga perawatan akan menjadi lebih awal dan anak diharapkan dapat lebih mudah menerima terapi yang dibutuhkan seperti terapi bicara, terapi untuk mengontrol emosi atau terapi untuk dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga dapat hidup seperti anak normal lainnya.
"Untuk perawatan memang sangat individual, tergantung dari kondisi yang dialami, tapi semakin cepat diketahui semakin baik," kata Diah.(Ant)