Jambi (ANTARA Jambi) - Sejumlah apotik di Kota Jambi diduga menjual obat di atas Harga Eceran Tertinggi, namun hal ini belum mendapat tindakan dari Dinas Kesehatan Kota Jambi maupun Provinsi Jambi.
Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, Sabtu, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 069/Menkes/SK/II/2006 tentang pencantuman Harga Eceran Tertinggi (HET) pada label obat.
Namun berdasarkan pantaun, sejumlah apotik masih banyak menjual obat di atas HET dan tidak memberikan informasi harga obat yang benar dan transparan bagi masyarakat.
"Setiap obat di apotik perlu mencantumkan HET pada kotak atau label obat. Berdasarkan Permenkes itu, HET yang dicantumkan pada label obat adalah Harga Netto Apotik (HNA) ditambah PPN 10 persen dan ditambah margin apotik 25 persen," kata salah seorang dokter enggan dituliskan namanya.
Menurut dia, munculnya Permenkes mengenai HET obat bertujuan menyikapi banyaknya variasi harga obat yang beredar di apotik maupun di pasaran yang telah menimbulkan ketidakpastian bagi masyarakat dalam memperoleh obat yang dibutuhkan.
Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jambi, Hj Andi Pada menyatakan pengawasan penjualan obat di apotik dan sosialisasi harga HET merupakan urusan Dinas Kesehatan kabupaten/kota.
"Itu urusan Dinas Kesehatan kabupaten/kota dan bukan urusan Dinas Kesehatan provinsi," ujarnya via pesan singkat.
Secara terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Kota Jambi Polisman Sitanggang ketika dikonfirmasi mengatakan, pihaknya tidak tahu jika ada apotik yang menjual obat di atas HET.
"Saya tidak tahu dan nanti saya tanya dulu," ujarnya via telepon.
Mengacu pada Permenkes, apotik atau pedagang besar farmasi seharusnya tidak menjual melebihi ketentuan HET dikarenakan di dalam HET sudah ada komponen untuk keuntungan apotik sebesar 25 persen ditambah PPN 10 persen.
Selain itu, berdasarkan UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pasal 7 ayat maka pelaku usaha berkewajiban memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
Dalam pasal 62 ayat 1 pelaku usaha yang melanggar tersebut diancam hukuman pidana paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar.
Apabila ditemukan pelanggaran maka pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh pemerintah pusat, Kementrian Kesehatan maupun Badan Pengawas Obat dan Makanan bersama dengan pemerintah daerah.(Ant)