Jakarta (ANTARA Jambi) - Mimpi indah para pejabat negara untuk menerima uang muka Rp210,89 juta/orang bagi pembelian mobil pribadi sirna sudah akibat dicabutnya Peraturan Presiden(Perpres) Nomor 39/015, namun sejumlah pertanyaan tetap muncul pada benak rakyat seperti bagaimana kelanjutan dari munculnya peraturan itu terhadap para pejabat yang bertanggung jawab terutama para menteri.
Pada hari Minggu(5/4) di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Presiden Joko Widodo mengakui bahwa dirinya telah menandatangani Perpres 39 untuk menggantikan Perpres Nomor 68 tahun 2010 tentang pemberian uang muka bagi para pejabat negara untuk membeli mobil perorangan yang semula hanya Rp116,65 juta. Para pejabat itu adalah anggota DPR,DPD, hakim agung, anggota BPK serta anggota Komisi Yudisial.
"Tidak semua hal saya ketahui 100 persen. Artinya hal seperti itu seharusnya sudah 'discreening' apakah berakibat baik atau tidak terhadap negara dan itu coba dicek atas usul siapa. Kalau ada lima sampai 10 orang yang paraf atau tanda tangan, apakah harus saya cek satu per satu," kata mantan gubernur DKI Jakarta itu
Jokowi kemudian melanjutkan kalimatnya dengan mengatakan" Kalau gitu, engga usah ada administrator yang lain dong kalau presiden masih ngecek satu per satu".
Penambahan uang muka itu berawal dari permintaan Ketua DPR Setya Novanto yang kemudian dibicarakan di tingkat Mensesneg Pratikno, Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro serta Sekretaris Kabinet Andi Widjojanto. Namun kemudian setelah terbitnya Perpres baru itu, muncul reaksi keras dari masyarakat yang menentang pemberian uang muka itu.
Alasan masyarakat sangat berdasar atau kuat karena rakyat sedang dihantam kenaikan harga berbagai jenis barang mulai dari bahan bakar minyak,gas elpiji, serta harga berbagai kebutuhan pokok seperti sayur-mayur hingga beras. Menghadapi desakan atau tekanan dari berbagai kalangan itu, maka Jokowi tidak memiliki pilihan lain kecuali membatalkan Inpres 39 tersebut.
Sekalipun inpres itu sudah dicabut, tetap timbul pertanyaan demi pertanyaan pada rakyat mulai dari kenapa sampai Ketua DPR tega minta kenaikan jumlah uang muka pembelian mobil yang sifatnya hanya perorangan itu hingga mengapa pemerintah harus menyetujui tuntutan atau desakan dari Setya Novanto tersebut, dan apa konsekuensi yang harus ditanggung sejumlah pejabat dengan dicabutnya Inppres 39 tersebut..
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro misalnya hanya mengatakan bahwa pihaknya cuma sebatas memberikan masukan terhadap usul DPR sehingga tidak memprakarsai terbitnya Perpres itu. Ia juga mengatakan pemberian uang muka bagi mobil perorangan pejabat itu lebih hemat daripada pemerintah harus menyediakan mobil dinas.
Akan tetapi, terhadap Bambang pantas diajukan pertanyaan berapa miliar rupiah yang harus dianggarkan pemerintah bagi uang muka kendaraan perorangan ratusan pejabat negara?
Untuk anggota DPR saja yang jumlahnya 560 orang itu harus dikucurkan Rp219,89 juta kali 560 orang sehingga totalnya adalah Rp118,098 miliar. Kemudian 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) harus ada Rp27,83 miliar. Sebanyak 40 hakim agung bakal menerima Rp8,4 miliar, sembilan hakim Mahkamah Konstitusi Rp1,8 miliar, lima anggota Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK Rp1,05 miliar serta tujuh anggota Komisi Yudisial Rp1,4 miliar.
Dengan demikian untuk urusan mobil pejabat negara saja, harus digali anggaran pemerintah tidak kurang dari Rp158,8 miliar. Jumlah itu jika dibagi-bagikan ke sektor pendidikan misalnya untuk perbaikan gedung sekolah dasar maka tentu bisa dinikmati oleh ribuan atau bahkan puluhan ribu bahkan ratusan ribu siswa
Kesalahan kecil atau fatal?
Pembagian uang Rp158 miliar itu memang urung terjadi tapi persoalannya adalah bagaimana pertanggungjawaban moral atau politis para pejabat jika rakyat atau masyarakat tidak protes atau tidak marah besar terhadap keputusan para pejabat itu?
Para pejabat kemungkinan besar meluluskan permintaan DPR karena tidak ingin ribut dengan para wakil rakyat yang "sangat terhormat ini". Bisa saja ada pikiran dari para menteri daripada harus berdebat atau bertengkar dengan Senayan maka lebih baik tuntutan itu dipenuhi saja dengan Senayan daripada nantinya anggaran kementerian mereka diutak-atik atau "diserang" anggota DPR.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa bila ada kementerian membutuhkan anggaran maka ada saja wakil rakyat yang minta imbalan atau menjadi pelaksana proyek ataupun berbagai bentuk imbalan lainnya.
Karena itu pembatalan Perpres tahun 2015 ini harus diikuti dengan berbagai pembenahan lainnya agar kasus ini tidak terulang lagi pada masa mendatang, sehingga rakyat tidak lagi terganggu pikirannya oleh berbagai hal atau peristiwa yang tidak perlu. Karena itu, kemudian muncul wacana bagi reshuffle atau perombakan kabinet terutama para menteri atau pejabat tinggi yang terlibat dalam kasus ini. Tidak kurang dari Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla pun ikut berbicara tentang masalah tersebut..
"Ya tentu dievaluasi. Tapi belum dibicarakan(kemungkinan perombakan kabinet,red," kata Jusuf Kalla di Jakarta, Selasa(7/4).
Sementara itu, Mensesneg Pratikno dan Sekretaris Kabinet Andi Widjojanto yang keduanya ikut dalam proses terbitnya Perpres tentang uang muka bagi para pejabat negara itu juga menyatakan bahwa Presiden Jokowi belum berbicara tentang kemungkinan reshuffle kabinet.
"Presiden belum berbicara tentang itu," kata Andi Widjojanto.
Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah atau DPD Irman Gusman menyatakan bahwa perombakan itu tidak perlu menunggu kurun waktu satu tahun setelah Jokowi menjadi Presiden pada Oktober 2014 yang kemudian diikuti dengan pembentukan Kabinet Kerja.
"Jangan menunggu satu tahun agar kinerja kabinet bisa segera diperbaiki," kata Irman yang sudah dua kali menjadi anggota DPD.
Masyarakat jug bisa merenungkan komentar Jusuf Kalla lainnya yakni 'Pengawasan di kantor Presiden harus ditingkatkan. Harus lebih baik.
Dengan memperhatikan atau merenungkan komentar- komentar dari berbagai kalangan terutama para pejabat tinggi itu, maka rakyat membayangkan tentang betapa mendesak atau urgensinya melakukan perbaikan agar Presiden tidak mendapat masukan yang salah atau tidak tepat sehingga harus meralat keputusan yang sudah diambilnya apalagi masa jabatan Jokowi masih lama hingga Oktober 2019.
Sebagai Kepala Negara yang baru sekitar delapan bulan menduduki jabatan tertinggi di pemerintahan, maka Jokowi membutuhkan sekali staf-staf yang berani berkata"tidak" untuk mengambil keputusan yang bertentangan dengan situasi berat yang dihadapi rakyat seperti semakin melonjaknya harga kebutuhan rakyat ataupun semakin besarnya jurang antara rakyat yang makin susah dengan para pejabat negara yang bagaimanapun juga hidupnya sudah mapan atau membaik.
Jika di Istana Kepresidenan, hanya terdapat pejabat- pejabat inti yang baru mulai menikmati kehidupan yang enak sehingga melupakan rakyat miskin di sekitarnya maka bukan tidak mungkin masukan yang diterima Jokowi tidak sesuai dengan kebutuhannya sehingga berdampak negatif terhadap keputusan yang bakal diambil yang pada akhirnya tidak hanya merugikan Kabinet Kerja tapi juga seluruh rakyat .
Karena itu, usul evaluasi yang disampaikan Wapres Jusuf Kalla, serta Ketua DPD Irman Gusman agar perombakan kabinet atau apa pun namanya/ istilahnya tidak perlu menunggu waktu satu tahun perlu direnungkan atau dipikirkan Jokowi demi 250 juta rakyat di Tanah Air yang mayoritas hidupnya masih dalam kondisi " senin kemis" atau kesulitan yang luar biasa. (Ant)