Langsa, Aceh (ANTARA Jambi) - Muhammad Hussein (29), salah seorang pengungsi etnis Rohingya yang ditemui di kamp penampungan Kuala Cangkoi, Aceh Utara, Kamis (5/6), tampak antusias ketika diperlihatkan foto pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyui melalui telepon pintar.
"Tentu saja saya kenal, dia adalah orang yang berani melawan pemerintah. Saya dengar dia ingin jadi Presiden Myanmar," ucap Hussein dalam Bahasa Melayu yang terbata-bata.
Beberapa rekan-rekan Hussen juga tampak bersemangat dan berusaha mengomentari sosok pemimpin oposisi Myanmar tersebut dalam Bahasa Myanmar yang dicampur dengan bahasa isyarat.
Hussein yang mengaku pernah bekerja selama empat tahun di Malaysia, kemudian menerjemahkan rekan-rekannya tersebut dengan mengatakan mereka berpendapat, meski Suu Kyi itu seorang pemberani, tapi bukan untuk memperjuangkan nasib etnis Rohingya.
Sementara pengungsi lainnya, terutama kaum wanita, hanya menggeleng pelan ketika ditanya apakah mengenal atau setidaknya pernah mendengar nama pemenang Nobel Perdamaian tersebut.
Selama lebih dari 20 tahun perjuangannya, dunia mengakui Suu Kyi sebagai sosok yang berani dan gigih dalam memperjuangkan demokrasi menghadapi penguasa militer di Myanmar yang otoriter.
Suu Kyi pernah menghabiskan waktu lebih dari 15 tahun sebagai tahanan rumah semasa mantan rezim junta militer akibat usaha tidak kenal lelah memperjuangkan demokrasi di Myanmar.
Pengorbanannya karena harus berpisah dengan anak-anak dan suami warga negara Inggris yang sakit, serta perjuangannya untuk membebaskan rakyat Myanmar dari rasa takut, membuatnya dipuja dan mendapat banyak simpati dari seluruh dunia.
Bahkan Bono, anggota grup musik rock U2 asal Irlandia, sengaja membuat lagu berjudul "Walk On" pada 2001 sebagai bentuk kekaguman atas perjuangan Suu Kyi.
Berselang sepuluh tahun kemudian, sutradara Luc Besson asal Inggris pun tidak ketinggalan dengan membuat film layar lebar tentang Suu Kyi berjudul "The Lady" yang diperankan Michelle Yeoh.
Tapi, suara lantang yang disampaikan Suu Kyi saat memperjuangkan demokrasi bagi Myanmar, justru hampir tidak terdengar saat berhadapan dengan masalah etnis Rohingya yang tertindas di negara sendiri.
Sikap diam Suu Kyi soal kelompok minoritas Muslim yang mendiami negara bagian Rakhine yang berbatasan dengan Bangladesh itu, membuat banyak kalangan mulai meragukan niat tulus dan perjuangan wanita berusia 69 tahun tersebut.
Hammad Nazir, sukarelawan dari Islamic Welfare Trust, sebuah organisasi kemanusiaan asal Birmingham, Inggris menilai bahwa Suu Kyi sekarang bukan lagi seorang pejuang demokrasi yang berpihak kepada kaum tertindas.
"Saya menilai sekarang memosisikan diri sebagai seorang politikus yang mengejar ambisi menjadi presiden," ujar Nazir yang ditemui di lokasi kamp pengungsi Birem Bayeum, Aceh Timur, saat menyampaikan bantuan dari organisasinya.
Lebih jauh, warga Inggris keturunan Pakistan itu mengatakan perhatian dunia saat ini tertuju ke sebuah wilayah di barat Myanmar, dimana satu juta Muslim Rohingya yang tidak diakui kewarganegaran mereka, sehingga hidup dalam kondisi tertindas dan diskriminatif.
"Dari situlah akar dari segala permasalah yang ada sekarang ini dan Suu Kyi juga harus bicara lantang untuk membela mereka," tutur pria yang berpostur tinggi besar itu.
Sikap tidak peduli Suu Kyi atas penderitaan etnis Rohingya, juga sangat disesalkan oleh Dalai Lama, pemimpin spiritual umat Buddha asal Tibet yang juga sama-sama penerima Hadiah Nobel Perdamaian.
"Ini sangat menyedihkan. Dalam masalah Burma (Myanmar), saya berharap Aung San Suu Kyi, sebagai pemenang Nobel, bisa melakukan sesuatu," kata Dalai Lama seperti yang dikutip harian The Australian beberapa waktu lalu.
Dalai Lama mengakui bahwa ia memahami posisi sulit Suu Kyi di Myanmar, dimana mereka yang menyatakan simpati terhadap kaum Muslim akan mendapat kecaman.
"Tapi meski demikian, saya kira dia bisa melakukan sesuatu," katanya menanggapi sikap diam Suu Kyi.
Politik Pragmatis
Suu Kyi pun kemudian dinilai mulai memainkan politik praktis dengan mengabaikan nurani dengan untuk mengejar ambisi tertinggi di bidang politik, yaitu menjadi Presiden Myanmar.
Phil Robertson, Wakil Direktur Asian Human Rights Watch, menilai pemenang Nobel itu telah berubah menjadi sebuah kekecewaan besar karena gagal berada di garda depan untuk memperjuangkan hak azasi manusia.
Pada saat pemerintah Myanmar harus bertanggung jawab atas arus pengungsi Rohingya, di saat itu pula Suu Kyi gagal menggunakan "kekuatan moral" yang dimilikinya untuk membantu kaum minoritas tersebut.
Tapi, hanya beberapa bulan menjelang datangnya peluang terbesar dalam karir politiknya menghadapi pemilu, Suu Kyi pun menghadapi tekanan dari mayoritas pemeluk Buddha yang menganggap kaum minoritas Muslim Rohingya sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.
Memperjuangkan Rohingya bisa berarti Suu Kyi menghadapi risiko kalah dalam pemilihan dan itulah sebabnya berbicara soal Rohingya bukan menjadi pilihan baginya saat ini.
Nasib suku Rohingya, salah satu minoritas yang paling teraniaya di dunia, semakin memburuk sejak 2012 ketika terjadi kerusuhan berdarah yang menelan puluhan jiwa dan menyebabkan 140.000 orang harus hidup sengsara di kamp pengungsi.
Kekerasan tersebut memicu gelombang kerusuhan anti-Muslim di Myanmar dan muncul bersamaan dengan meningkatnya nasionalisme Buddha secara berlebihan yang menebar kebencian terhadap kaum minoritas.
Kelompok biksu garis keras menerjemahkan undang-undang dengan target kaum minoritas Muslim, termasuk rencana untuk memperkenalkan peraturan keluarga berencana dan pencabutan "kartu putih", identitas yang dimiliki oleh etnis Rohingya.
Liga Nasional Untuk Demokrasi, partai yang dipimpin Suu Kyi menyatakan bahwa mereka secara tegas menolak undang-undang soal agama yang kontroversial karena diskriminatif terhadap kaum wanita dan kelompok minoritas.
Pada 19 Mei 2015, Suu Kyi memang pernah berkomentar dengan mengatakan bahwa pemerintah Myanmar harus memecahkan masalah pengungsi Rohingya dalam sebuah pertemuan langsung dengan publik ketika 3.500 pengungsi mendarat di Thailand, Malaysia dan Indonesia.
Sebelumnya, Suu juga pernah mengungkapkan bahwa ia memang tidak berbicara mewakili Muslim Rohingya karena ia ingin mendorong rekonsiliasi antara kelompok Buddha yang mayoritas dengan kelompok Muslim.
"Tapi jangan lupa bahwa kekerasan tersebut dilakukan oleh kedua belah pihak. Itulah sebabnya mengapa saya memilih untuk tidak berpihak. Sudah tentu rekonsiliasi tidak bisa dilakukan jika saya memihak," katanya memberi alasan. (Ant)
Aung San Suu Kyi,mana suaramu?
Sabtu, 6 Juni 2015 9:01 WIB
......Memperjuangkan Rohingya bisa berarti Suu Kyi menghadapi risiko kalah dalam pemilihan dan itulah sebabnya berbicara soal Rohingya bukan menjadi pilihan baginya saat ini......