Makanan khas tradisional dari Sumatra Barat lompong sagu sudah dikenal sejak lama dan masih diminati sampai sekarang.
Meski tergolong tua dan susah untuk dijumpai pada era modern seperti sekarang, seorang penjual bernama Yeni masih senantiasa menjual jajanan tersebut.
Yeni menuturkan bahwa berjualan lompong sagu awalnya dirintis dari neneknya secara turun temurun.
Bisnis kuliner digeluti keluarganya sejak 2010, tepatnya pascagempa Padang yang terjadi di akhir 2009.
"Ya, resep lompong sagu diwariskan secara turun-temurun. Saya bersama keluarga mengelola usaha ini," katanya.
Dengan modal seadanya, pondok kecil beratapkan seng dan terpal serta beralaskan tanah dibangun untuk menjadi fondasi lapak untuk menjajakan lompong sagu.
Meski tempatnya kelihatan tak semewah tempat jajanan lain, relatif banyak pembeli yang menyukainya, mulai dari kalangan mahasiswa hingga orang tua.
Hal ini terlihat dari beberapa pembeli yang singgah untuk membeli lompong sagu di kedai Yeni. Salah satunya adalah seorang ibu paruh baya berbaju gamis cokelat mengendarai mobil merah memesan lompong sagu relatif cukup banyak.
Lompong sagu adalah kue khas tradisional dari Sumatra Barat yang memiliki bentuk sederhana, lonjong, dan pipih, serta terbungkus daun pisang yang atasnya sedikit terbakar. Ketika daun dibuka, aroma khas lompong akan mengudara dan membuat siapa pun yang menciumnya akan berselera untuk segera menyantapnya.
Secara tekstur, pewarta Antara menilai isian dalam lompong sagu agak kenyal dan berwarna cokelat karamel. Ketika digigit, gula aren dan pisang akan memenuhi mulut dengan rasa yang unik dan nikmat.
Cara membuatnya tidak begitu rumit, hanya menggunakan bahan dasar tepung sagu, kemudian dicampur dengan pisang, kelapa, dan gula aren.
Adonan lalu dibungkus daun pisang untuk dibakar di atas pemanggangan menggunakan sabut kelapa.
"Kalau menggunakan sabut lebih murah," tambah Yeni.
Keunikan makanan ini berasal dari gula aren yang meleleh dengan sempurna di antara adonan tepung dan pisang. Manisnya pisang dan gula berpadu menjadi satu.
Bukan itu saja, daun pisang juga membawa citarasa tersendiri. Banyak makanan di Minangkabau yang menggunakan daun pisang sebagai alas sebuah makanan, sama halnya di Pulau Jawa yang menyajikan nasi uduk menggunakan daun pisang agar nasi yang disajikan terasa lebih enak.
Setelah dipanggang dan dikipas sesekali, barulah lompong sagu siap disantap. Ukurannya tidak besar. Karena itulah biasanya pembeli akan memesan lebih dari satu lompong untuk dibawa pulang.
Dengan Rp2.000,00, lompong sagu bisa dinikmati siapa saja.
Yeni mengaku omzet dari hasil berjualan lompong sagu tidak menentu, tergantung pada kondisi. Misalnya, saat hujan, jarang ada pembeli.
Biasanya dalam sehari dia mendapatkan keuntungan sekitar satu juta rupiah. "Ya, biasanya sekitar itu (satu juta rupiah). Untuk membuat lompong sagu, biasanya menghabiskan 3 gantang (liter) sagu," ujarnya.
Selain lompong sagu, perempuan berusia 44 tahun tersebut juga menjual makanan lain, seperti palai bada (pepes ikan) dengan harga relatif murah sebesar Rp10 ribu.
Dalam sehari, keluarganya bisa membuat 400 s.d. 500 lompong sagu dan pepes ikan untuk dijual.
Meski cuaca kurang bersahabat, Yeni beserta Ibu dan saudaranya tetap optimistis bahwa jualan hari ini akan laku.
Kedai lompong sagu buka dari pukul 10.00 atau 11.00 hingga pukul 18.00.
Nasib Lompong Sagu
Pewarta disuguhi segelas air mineral sambil mendengarkan cerita si pemilik kedai dan nasib usahanya kelak.
Di kedai sederhananya, terlihat beberapa meja kayu panjang yang dialas dengan kertas plastik bermotif hijau dan kursi kayu yang didesain untuk lesehan.
Saat ditanya apa rencana selanjutnya terkait dengan bisnis keluarganya tersebut, perempuan berbaju kurung kuning itu terlihat berpikir sebentar sambil mengulum senyum.
"Mungkin saya akan menyediakan aneka minuman, seperti kopi dan teh. Saya rasa akan cocok untuk dimakan bersama lompong sagu. Doakan saja, ya," katanya lagi.
Makanan tradisional seperti lompong sagu amat sukar ditemui, apalagi di Ibu Kota. Karena kurangnya eksistensi dan tergerus oleh makanan modern lainnya, penjualnya pun makin sulit ditemukan, seolah tidak ada lagi yang menyenangi kuliner khas Sumatra Barat tersebut.
Yeni mengakui bahwa keluarganya dahulu memiliki beberapa kedai sederhana berupa pondok kayu, seperti di daerah Ampang ini, yaitu di Gunung Pangilun, Kecamatan Padang Utara; Kurao Pagang, Kecamatan Nanggalo dan Kampung Lalang, Kecamatan Kuranji, Padang, Provinsi Sumatra Barat.
Namun, kini keluarganya hanya aktif mengelola satu kedai di Jalan Ampang Raya.
Ibu Yeni, Kartini, mengatakan bahwa pihaknya akan terus berjualan lompong sagu demi mempertahankan makanan tradisional pada era serbadigital seperti saat ini.
Ibu paruh baya yang kini menginjak usia 66 tahun itu tidak takut dengan segala kemungkinan buruk yang menimpa bisnis keluarganya itu.
"Tuhan sudah menggariskan rezeki masing-masing pada umat-Nya, jadi tidak perlu khawatir kalau soal itu," ucapnya.
Sesekali mereka sekeluarga bercanda mengisi kekosongan waktu dan menanti pelanggan tiba untuk membeli lompong sagu dan pepes ikan mereka.
Musim hujan seharusnya membuat para pelanggan berdatangan karena lompong sagu sangat cocok dinikmati ketika udara dingin. Akan tetapi, kenyataannya tidak seindah itu, justru hujan biasanya menghambat usaha keluarga Kartini.
Akan tetapi, Kartini tak mengeluh. Dengan tekun, dia mengipasi lompong sagu yang asapnya mengepul-ngepul ke udara.
"Ada palai bada (pepes ikan) juga, mau coba? tawarnya.
Pewarta Antara menikmati kedua panganan yang diolah dengan cara dipanggang tersebut. Dari segi ukuran, lompong sagu terlihat lebih kecil.
Meski kecil dan sederhana, makanan seperti ini harus dijaga agar tidak punah. Kartini dan Yeni adalah dua orang contoh yang merupakan penyelamat tradisi budaya di daerah dengan mempertahankan rasa dan eksistensi lompong sagu.
"Saya akan terus berjualan, dahulu pernah ditawari untuk buka kedai di Jakarta. Akan tetapi, karena tak mendapatkan izin tempat berjualan, batal dan hanya jualan di Padang," imbuh Yeni.