Jakarta (ANTARA) - Warga Banggai, Sulawesi Tengah, dikagetkan dengan guncangan kuat gempa dengan magnitudo 6,9 pada Jumat, 12 April 2019, tepatnya pada pukul 18.40 WIB.
Pusat gempa berada di 1,90 Lintang Selatan dan 122,54 Bujur Timur dengan kedalaman gempa berada pada 10 kilometer.
Gempa yang terjadi saat menanti waktu shalat isya tersebut menimbulkan kepanikan warga, yang langsung berlarian ke perbukitan dan tempat tinggi lainnya untuk menyelamatkan diri.
Sebagian besar warga Kota Luwuk, Ibukota Kabupaten Banggai berlarian menuju Bukit Keles menyebabkan jalan raya ke bukit itu nyaris macet total.
Guncangan gempa yang dirasakan kuat oleh warga ternyata juga memicu dikeluarkannya peringatan dini tsunami oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
BMKG mengeluarkan peringatan tsunami dengan status waspada khususnya untuk Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Status waspada berarti masyarakat diarahkan untuk menjauhi pantai dan sungai. Daerah yang berpotensi tsunami adalah di Kecamatan Toili, Morowali. Masyarakat di daerah tersebut diminta untuk mengungsi.
Pada pukul 19.48 WIB BMKG mengakhiri peringatan dini tsunami. Berdasarkan pantauan citra satelit BMKG, ketinggian gelombang air laut di Kabupaten Banggai dan sekitarnya pasca gempa antara 0,5 hingga satu meter. Artinya masih normal.
Hingga pukul 21.30 WITA belum ada laporan korban maupun kerusakan akibat gempa tersebut. Namun, masyarakat masih tetap bertahan di tempat ketinggian hingga situasi benar-benar aman.
Kepanikan warga tentunya tidak lepas dari trauma akibat gempa kuat yang juga mengguncang Sulawesi Tengah tepatnya di Kota Palu, Sigi dan Donggala pada hari yang sama 28 September 2018.
Gempa berkekuatan magnitudo 7,7 yang terjadi usai adzan magrib itu disusul gelombang tsunami di pantai barat Sulawesi pada pukul 18.02 WITA.
Pusat gempa berada di 26 km utara Donggala dan 80 km barat laut kota Palu dengan kedalaman 10 km. Saat itu, gelombang setinggi lima meter menghantam Kota Palu.
Peristiwa tersebut juga disusul dengan likuifaksi, yaitu pencairan tanah sehingga menimbulkan kerusakan yang masif serta korban jiwa dalam jumlah yang besar.
Terdata akibat gempa bumi, tsunami dan likuifaksi yang terjadi di akhir September 2018 itu, jumlah korban jiwa mencapai 3.397 orang meninggal dunia, 4.426 orang luka-luka, 221.450 orang mengungsi dan terdampak serta 69.139 unit rumah rusak.
"Gempa ini sama tipenya 'strike slide' (pergerakan mendatar), mirip, cuma lokasi berbeda," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati yang menyebutkan gempa tersebut setipe dengan gempa yang mengguncang Palu pada September lalu.
Kendati memiliki kesamaan, Dwikorita belum dapat memastikan apakah gempa itu akan semakin kuat sebagaimana di Palu.
Berdasarkan ulasan BMKG, Sulawesi Tengah, merupakan salah satu daerah rawan bencana gempa bumi di Indonesia, karena terletak dekat dengan sumber gempa bumi yang berada di darat dan di laut.
Sumber-sumber gempa bumi tersebut terbentuk akibat proses tektonik yang terjadi sebelumnya. Sumber gempa bumi di laut berasal dari penunjaman Sulawesi Utara yang terletak di sebelah utara Pulau Sulawesi, sedangkan sumber gempa bumi di darat bersumber dari beberapa sesar aktif di daratan Sulawesi Tengah, salah satunya adalah Sesar Palu Koro.
Sesar Palu Koro merupakan sesar utama di Pulau Sulawesi dan tergolong sebagai sesar aktif.
Wilayah Sulawesi Tengah paling tidak telah mengalami 19 kali kejadian gempa bumi merusak sejak 1910 hingga 2013. Beberapa kejadian gempa bumi merusak tersebut pusat gempa buminya terletak di darat.
Kejadian gempa bumi dengan pusat gempa bumi terletak di darat di sekitar lembah Palu Koro diperkirakan berkaitan dengan aktivitas Sesar Palu.
Sesar Palu-Koro sendiri terbentuk dari tumbukan yang juga dihasilkan oleh NNW-
SSE Palu-Koro dengan gerakan sesar sinistral (mengiri).
Pergerakan sesar ini juga dikarenakan oleh gaya transtensional, yang terdiri dari gaya transpressive (menekan) dan extensional (perluasan).
Patahan Palu-Koro memanjang dari palu ke arah Selatan Tenggara melalui Sulawesi Selatan bagian Utara melewati Teluk Palu menuju ke Selatan Bone sampai di laut Banda.
Sesar ini diduga sebagai salah satu sesar yang sangat mengkhawatirkan. Pergeseran pada lempeng-lempeng tektonik yang cukup aktif di sesar Palu Koro membuat tingkat kegempaan di wilayah itu juga dikategorikan cukup tinggi.
Wilayah yang rawan akibat aktivitas sesar ini, antara lain Kabupaten Buol, Tolitoli, Donggala, dan Kota Palu.
Rawan Gempa
Indonesia merupakan daerah rawan gempa bumi karena dilalui oleh jalur pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu Lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik.
Lempeng Indo-Australia bergerak relatif ke arah utara dan menyusup ke dalam lempeng Eurasia, sementara lempeng Pasifik bergerak relatip ke arah barat.
Jalur pertemuan lempeng berada di laut sehingga apabila terjadi gempa bumi besar yang dangkal maka akan berpotensi menimbulkan tsunami sehingga Indonesia juga rawan tsunami.
Belajar dari pengalaman kejadian gempa bumi dan tsunami di Aceh, Pangandaran dan daerah lainnya yang telah mengakibatkan korban ratusan ribu jiwa serta kerugian harta benda yang tidak sedikit, maka sangat diperlukan upaya-upaya mitigasi baik di tingkat pemerintah maupun masyarakat untuk mengurangi risiko akibat bencana gempa bumi dan tsunami.*
Baca juga: BPBD Sulteng belum terima laporan resmi dampak gempa di Banggai
Baca juga: BMKG: Gelombang air laut masih normal pascagempa Banggai
Baca juga: Gempa Banggai tak pengaruhi jalur Manado-Gorontalo