Jakarta (ANTARA) - Jika di satu pihak, rakyat Indonesia berhak mengklaim bahwa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan para anggota DPD, DPR, serta DPRD provinsi, kabupaten dan kota, telah berlangsung lancar dan aman, maka di lain pihak muncul berita duka.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengungkapkan bahwa hingga hari Minggu, 28 April 2019, tercatat total ada 287 anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dari 34 provinsi yang wafat. Provinsi Jawa barat tercatat punya angka tertinggi kematian anggota KPPS, yakni 89 orang, disusul Jawa Timur 39 orang, dan Jawa Tengah 31 orang.
Sedangkan jumlah anggota KPPS yang sakit ada 2.095 orang. Provinsi Jawa Barat tercatat punya angka tertinggi berkaitan dengan anggota KPPS yang sakit, yakni sebanyak 259 orang, disusul Jawa Tengah 246 orang, dan Sulawesi Selatan 191 orang. Sementara itu, tidak sedikit pula anggota Polri dan TNI, serta Bawaslu yang gugur karena menjalankan tugas negara.
Masyarakat perlu mengetahui bahwa demi suksesnya pesta demokrasi lima tahunan ini, pemerintah telah didirikan sedikitnya 800.000 tempat pemungutan suara (TPS) yang dilayani oleh kurang lebih tujuh juta orang petugas KPPS. Jadi dapat dibayangkan betapa berat dan mulianya tugas mereka.
Jangan dibayangkan bahwa tempat penugasan mereka gampang dijangkau dan dengan fasilitas yang serba lengkap dan menyenangkan misalnya di Jakarta Pusat.
Di Maluku Tengah, Provinsi Maluku, para anggota KPPS harus berjuang mati- matian untuk menyeberangi sungai yang arusnya amat deras sambil menggotong logistik Pemilu mulai dari kotak suara dan surat suara. Setelah melintasi sungai dengan mempertaruhkan nyawa, petugas KPPS harus berjalan kali berkilo-kilo meter agar bisa mencapai TPS yang dituju.
Tugas berat yang dilakukan petugas KPPS harus dikawal oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia supaya aman. Jadi dapat dibayangkan betapa berat dan rumitnya tugas para petugas KPPS ini.
Setelah pencoblosan dilakukan oleh para pemilih maka KPPS harus terus bekerja mulai dari melakukan penghitungan suara hingga dini hari bahkan pagi hari berikutnya. Selain itu, petugas KPPS juga bertanggung jawab mengawal rekapitulasi hingga menyetorkan suara secara berjenjang mulai dari tingkat kampung, kelurahan, kecamatan, kota dan kabupaten, provinsi. Jadi betapa rumit dan berjenjangnya beban kerja semua petugas KPPS tersebut.
Banyak di antara mereka yang harus sampai tak tidur alias begadang hingga dua atau tiga malam hanya demi suksesnya pesta demokrasi yang harus berlangsung jujur, adil, bebas dan rahasia ini. Karena itu, tak mengherankan jika sampai ada petugas KPPS yang harus jatuh sakit hingga meninggal dunia. Bahkan ada dua petugas wanita, misalnya, yang harus keguguran dalam menjalankan tugas mulia ini.
Karena itu, bergugurannya para petugas KPPS telah membuat pemerintah, melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, berkomitmen menyiapkan bantuan duka atau santunan bagi petugas KPPS yang meninggal dunia yang nilainya kurang lebih Rpp36 juta per orang. Sementara itu, untuk petugas yang sakit akan diberi uang, misalnya, mulai dari Rp16 juta hingga Rp30 juta per orang.
Walaupun angka-angka itu belum resmi diumumkan dan diatur dalam sebuah surat keputusan, para ahli waris atau keluarga yang ditinggalkan boleh bersyukur atas perhatian pemerintah tersebut. Diperkirakan uang santunan ini akan cair pada pekan-pekan ini juga.
Tercatat hingga Minggu (28/4) sebanyak 225 orang pejuang demokrasi yang terdiri dari petugas KPPS/KPU serta anggota Polri yang gugur saat mengawal proses Pemilu 2019.
Pemilu 2024
Hasil Pemilu 17 April ini diharapkan akan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 22 Mei mendatang. Tentu rakyat berhak berpendapat tidak akan muncul pertentangan atau keributan. Anggota DPD, DPR, masa bakti 2019-2024 akan dilantik pada bulan Oktober. Presiden dan wakil presiden 2019-2024 juga akan dilantik pada bulan Oktober.
Walaupun Pilpres dan Pileg akan berakhir pada Oktober mendatang, ternyata tugas bangsa Indonesia belum usai. Jika anggota DPR telah dilantik, maka tugas utama mereka adalah menyiapkan revisi Undang- Undang Pemilihan Umum Nomor 7 tahun 2017. Pasti DPR akan repot merivisi UU No. 7/2017 tersebut.
Sebanyak 16 partai politik tingkat nasional pasti akan memperjuangkan ambisinya masing-masing demi Pemilu 2024. Parpol-parpol ini belum tentu akan benar-benar memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara ini. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa partai-partai akan mati-matian memperjuangkan pribadinya sendiri.
Apabila DPR dan pemerintah mendatang bisa "cepat- cepat" membahas dan menyelesaikan revisi UU No. 7. Tahun 2017 maka barulah KPU dan Bawaslu bisa menyiapkan Pilpres dan Pemilu 2024. Akan tetapi karena sekarang sudah muncul usul untuk memisahkan Pilpres dan Pemilu sehingga tak sekaligus lagi maka hasilnya belum bisa diketahui apakah tetap dilakukan secara serentak ataukah dipisahkan.
Akan tetapi mudah-mudahan gugurnya begitu banyak petugas KPPS, Polri dan TNI akan menyadarkan semua politisi di Senayan untuk benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat dan negara Indonesia dan bukannya cuma kepentingan politik setiap parpol.
Tahun 2024 rasanya memang masih lama yaitu lima tahun lagi. Akan tetapi karena begitu banyaknya kepentingan politik maka biar bagaimanapun juga kepentingan KPPS lima tahun lagi tetap harus diutamakan sejak sekarang. Tentu tidak ada partai politik yang menginginkan gugurnya petugas KPPS, Polri dan TNI.
Pesta demokrasi harus menyenangkan dan menggembirakan rakyat dan bukannya menyengsarakan seseorang atau keluarga tertentu. Jadi semua pimpinan parpol, tokoh politik harus benar- benar sadar dan tahu diri bahwa mereka sama sekali tidak boleh membuat keluarga KPPS, TNI dan Polri malahan menjadi sedih alias berduka.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan sudah mengungkapkan bahwa kampanye selama delapan bulan ini terlalu lama sehingga harus dipersingkat. Mudah-mudahan ucapan Zulkifli ini pantas direnungkan oleh para politisi agar pada tahun 2024 tidak ada lagi korban yang "sia-sia", terutama dari jajaran KPPS, Bawaslu, Polri dan TNI.
Mudah-mudahan pengorbanan para "Pahlawan Demokrasi" pada tahun 2019 ini menjadi bahan renungan bagi pemerintah dan para politisi, sehingga diharapkan tidak akan ada lagi korban yang muncul pada Pemilu 2024.
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN Antara tahun 1982-2018, pernah meliput acara kepresidenan tahun 1987-2009.