Jakarta (ANTARA) - Sabtu ini, 238 warga negara Indonesia menyelesaikan proses karantina mereka di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, sejak dipulangkan dari episentrum wabah penyakit menular COVID-19 di berbagai kota di Provinsi Hubei, China, pada 1 Februari 2020.
Mereka menjalaninya dengan penuh kesadaran, termasuk kesadaran menerima konsekuensi setibanya di Tanah Air.
Kalau saja mereka tidak siap menerima konsekuensi itu tentu mereka akan lebih memilih bertahan di Wuhan, seperti yang telah dilakukan empat orang WNI lainnya.
Pilihan-pilihan itu memang tidak bisa dihindari karena sejalan dengan pilihan mereka untuk tinggal, baik tujuan bekerja maupun belajar, di China sebagai suatu negara yang masih saja mendapatkan stigma negatif dari sebagian masyarakat di Indonesia.
Ndilalahnya, wabah penyakit yang sudah merenggut lebih dari seribu nyawa manusia itu, terjadi di China.
Jika dicermati dari segi usia, maka 238 WNI yang dipulangkan dari Ibu Kota Provinsi Hubei itu rata-rata masih belia.
Enerjik dan dinamis melekat pada pembawaan sehari-hari mereka sebagai bagian dari pelajar Indonesia yang berkesempatan mengenyam pendidikan di luar negeri. Tidak banyak loh, masyarakat Indonesia yang memiliki kesempatan seperti mereka.
Sikap riang dalam menghadapi situasi apa pun klop dengan gemblengan tim gabungan TNI Angkatan Udara dan Kementerian Kesehatan RI selama mereka berada Natuna.
Mereka tertawa riang, bahkan ada yang berlagak seperti penari, saat disemprot cairan disinfektan begitu turun dari pesawat Batik Air yang baru mendarat di Bandar Udara Internasional Hang Nadim, Batam, sebelum ditempatkan di Natuna pada 2 Februari lalu.
Padahal di luar sana, orang-orang berunjuk rasa menolak kedatangan mereka yang dianggapnya dapat menularkan penyakit.
Begitu juga, saat pulang dari Natuna yang dijadwalkan pada Sabtu (15/2/2020) ini, mereka sepertinya sudah siap dengan kenyataan yang bakal dihadapinya di kampung halamannya nanti.
Mereka adalah generasi muda yang mungkin beberapa dekade mendatang akan menjadi pemimpin bangsa dan penggerak pembangunan negeri tercinta ini.
Sudah selayaknya mereka diperlakukan dengan adil dan manusiawi karena Kemenkes pun telah menyatakan bahwa mereka sehat dan terbebas dari paparan COVID-19. Lalu kesalahan apalagi yang bakal ditimpakan kepada mereka?
Swakarantina
Dibandingkan dengan beberapa negara lain, terutama di Eropa dan Amerika, masyarakat Indonesia relatif lebih dewasa dalam menyikapi maraknya wabah penyakit radang paru-paru (pneumonia) berat yang diakibatkan oleh virus corona jenis baru.
Gelombang rasisme yang sebenarnya lebih berbahaya daripada COVID-19 itu sendiri seperti di Eropa tidak banyak terlihat di Indonesia.
Agresivitas awak media di Indonesia dalam menyuguhkan berita-berita tentang wabah yang berasal dari Wuhan itu yang membukakan mata masyarakat terhadap bahaya penyakit menular itu.
Namun sering kali ditemukan berita-berita yang dipublikasikan oleh media massa, menimbulkan kegaduhan saat diunggah oleh media sosial yang memang dalam bekerja tidak dilandasi Kode Etik Jurnalistik.
Sampai-sampai ada seorang teman dari Beijing yang membatalkan rencana kepulangannya ke Indonesia lantaran didera ketakutan akan mengalami perundungan sosial.
"Wah, nanti saya akan dikejar-kejar media begitu sampai rumah," ujar seorang perempuan asal Bali yang tinggal di Beijing mendampingi suaminya itu.
Kenyataan itu tidak bisa ditolak. Dibutuhkan pikiran dewasa dan cara bertindak yang bijak dengan didasari kesadaran bahwa dia memang datang dari kota atau negara berisiko tertular penyakit mematikan.
Sejak mendarat di Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur (KLIA) sebelum melakukan penerbangan lanjutan ke Surabaya pada 3 Februari lalu, saya sudah menyadari akan konsekuensi itu.
Maka begitu kaki ini menginjakkan area terminal kedatangan di Bandar Udara Internasional Juanda, tidak ada pilihan lain kecuali harus kooperatif dengan memberikan keterangan yang sejujur-jujurnya kepada petugas kesehatan yang khusus dikerahkan untuk mencegah kemungkinan masuknya COVID-19 ke Bumi Pertiwi.
Bukan gagah-gagahan kalau sesampainya di kampung halaman saya harus melakukan karantina atas inisiatif sendiri, termasuk membatasi kontak dengan keluarga di rumah dan tetangga.
Terkejut dan merasa bersalah sempat menghinggapi saat sejumlah awak media, nasional dan lokal, di Tulungagung datang ke rumah bersama dengan dokter dan petugas Dinas Kesehatan setempat.
Beruntung rekan-rekan media mampu menyuguhkan informasi yang bisa mengedukasi masyarakat, meskipun ada komentar-komentar negatif yang menyertai pemberitaan itu sangat menyesakkan dada ini.
"Kenapa nggak dibawa ke Natuna sekalian," demikian seorang warganet mengomentari tayangan wawancara saya di salah satu media arus utama.
Terlintas penyesalan kenapa saya biarkan rekan-rekan media dan petugas kesehatan datang ke rumah kalau ternyata balasannya menyakitkan seperti ini.
Namun kembali dibutuhkan nalar yang jernih, apalagi tidak semua komentar bernada nyinyir seperti itu kan, gumam saya saat itu.
Masih ada kok yang simpati karena mau berusaha mencari tahu bahwa bagi orang yang tidak tinggal atau tidak pernah bepergian ke Wuhan tidak perlu diisolasi sampai 14 hari seperti program yang dijalani oleh 238 WNI di Natuna itu.
Saya pun dengan penuh kesadaran melakukan swakarantina ini untuk menjaga berbagai kemungkinan terburuk, apalagi sampai tulisan ini saya buat belum ada satu pun kasus COVID-19 di Indonesia.
"Langkah swaisolasi atau swakarantina yang dilakukan saudara Irfan dan keluarga ini sangat bagus dan bisa menjadi suri tauladan. Karena mereka dengan kesadaran tinggi mau melakukan karantina atas diri mereka secara mandiri karena tahu barusan bepergian atau beraktivitas di negara yang berisiko tinggi terpapar virus corona," kata Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Menular Dinkes Kabupaten Tulungagung Didik Eka, Kamis (6/2/2020).
Sepulang dua pekan dari karantina
Sabtu, 15 Februari 2020 15:22 WIB