Jakarta (ANTARA) - "Jaka Sembung Sang Penakluk" (Sisworo Gautama Putra, 1981) adalah film pertama yang mengadaptasi komik karya Djair Warniponakanda. Dibintangi oleh Barry Prima, film itu menampilkan cerita pertarungan Jaka Sembung melawan Rawa Rontek yang memiliki ilmu kebal.
Rawa Rontek memang sakti, ia susah mati. Meski tubuhnya dibelah berkali-kali menjadi beberapa bagian ia tak kunjung menemui ajalnya. Untuk menunjukkan betapa sakti mandraguna si Rawa Rontek maka banyak ditampilkan adegan-adegan kekerasan, sadis, penuh darah dan tentunya supranatural.
Tak hanya aksi belah-membelah badan Rawa Rontek, sadisme juga terjadi saat Parmin (nama asli Jaka Sembung) kalah melawan Rawa Rontek, kemudian matanya dicungkil dan disihir menjadi babi.
Rawa Rontek sebenarnya bukan karakter dari komik Jaka Sembung, dia adalah karakter dari cerita Djair lainnya yaitu "Si Tolol". Tetapi Rawa Rontek menjadi daya tarik yang dijual oleh produsen film itu.
Untuk memikat penonton, Rapi Films sebagai produsen bahkan membubuhkan kalimat sensasional: "Untuk pertama kalinya kesaktian ilmu Rawa Rontek difilmkan!!!" di poster promosi film.
Film ini lantas mendulang sukses, kemudian dilanjutkan dengan film "Si Buta Lawan Jaka Sembung" dua tahun setelahnya.
"Jaka Sembung Sang Penakluk" dapat dikategorikan sebagai film B. Istilah "Film B" memang belum membumi bagi penonton Indonesia, namun untuk penonton di luar Indonesia film-film sejenis ini mempunyai daya tarik hingga memiliki penggemar garis keras tersendiri.
Kritikus Ekky Imanjaya dan pengamat film Ivan Makhsara menyebut Mondo Macabro DVD yang berbasis di Inggris adalah salah satu distributor terbesar film jenis ini. Lewat tangan mereka pula "Jaka Sembung Sang Penakluk" bisa sampai ke depan mata penonton luar negeri.
Lalu apa sebenarnya Film B itu?
Ekky Imanjaya menyebut istilah Film B lahir dari praktik industri perfilman Hollywood yaitu double feature atau double bill, di mana teater akan menampilkan dua film untuk satu harga.
"Double feature itu selalu menayangkan dua film. Film utama itu film kelas A yang keren, blockbuster lah, dan film kedua itu disebut film B yang beranggaran rendah," kata dia.
Film-film B biasanya dijual borongan dengan film-film kelas A. Selain anggarannya rendah film-film B itu diproduksi dalam jumlah banyak dan waktu yang singkat untuk memenuhi kuota bioskop kala itu. Hal tersebut akhirnya mempengaruhi estetika film tersebut.
Kemudian istilah untuk film-film sejenis itu pun berkembang, ada film B, eksploitasi dan cult. Ekky mengatakan film eksploitasi memiliki artian yang kurang lebih sama dengan film B. Dalam film eksploitasi ada beberapa hal yang didayagunakan entah dalam promosinya atau temanya.
"Kalau di luar negeri film-film seperti itu enggak ada bintang filmnya, jadi dieksploitasilah cara pemasarannya. Kedua yang dieksploitasi adalah temanya, terutama bagian seks atau hal-hal yang berdarah. Ini sebenarnya ya film B juga," kata dia.
Ada pun film cult, menurut Ekky tak mesti merujuk pada film B atau film eksploitasi. Film cult banyak macamnya, selama suatu film memiliki penggemar fanatik untuk merayakan film itu berkali-kali, menonton berulang-ulang, dan mengambil kutipan-kutipan dari film tersebut, maka film itu layak disebut cult.
"Di Indonesia film-film cult itu seperti filmnya Rhoma Irama, Benyamin, 'Ada Apa Dengan Cinta' dan 'Unyil'. Jadi enggak harus selalu film B atau film eksploitasi. Apa saja, selama film itu punya penggemar yang terus menonton, membicarakannya dan merayakannya," kata dia.
Ivan Makshara menambah ciri lain untuk mengklasifikasikan suatu film sebagai kelas B, yaitu film cenderung mengeksploitasi genre, aktornya tidak terkenal, aktingnya datar dan menggelikan.
"Jika menggunakan efek spesial hasilnya terlihat mengada-ada, serta tak ada tujuan artistik yang jelas," kata dia.
Di Indonesia istilah film B, menurut Ivan ramai digunakan dewasa ini, terutama setelah reformasi. Melalui internet, tumbuhlah tipe penonton dan pembuat film yang paham Hollywood. Mereka biasanya aktif di forum , ikut kineklub, membuat kajian sampai membuat film sendiri.
"Nah mereka ini membawa masuk istilah itu, kultur dan teknik-teknik Hollywood. Dari mereka, mulailah ada klasifikasi untuk mendegradasi film-film yang dibuat asal-asalan, mereka menjulukinya kelas B," kata Ivan.
Khusus Indonesia, penggunaan istilah ini agak rancu karena berbeda dengan kondisi di Hollywood, kebanyakan para pencipta film sebenarnya tidak ada niatan membuat karya mereka menjadi kelas B.
Misalnya saja pada era 80-an, banyak film-film yang dibuat dengan modal produksi rendah menjadi tontonan utama di Indonesia. Sebutlah film Ratu Ilmu Hitam (1981) yang disutradarai oleh Imam Tantowi dan mendapat lima nominasi untuk Festival Film Indonesia 1982.
Ivan menilai ledakan ekonomi pada saat itu menjadi salah satu faktor permintaan besar para produsen film untuk memenuhi layar lebar dan layar tancap. Usaha memenuhi permintaan tersebut juga menjadi sebab produsen membuat film dalam jangka waktu yang singkat dan dana yang murah.
"So bad it's good"
Film-film B dan eksploitasi yang mayoritas mengangkat tema-tema mistik, horor serta ilmu hitam banyak bermunculan di era 80-an, hal itu tak terlepas dari adanya kebijakan "quota quickie" yang mengharuskan para importir film asing membuat lima film Indonesia sebelum mereka mengimpor satu film dari luar. Belakangan jumlah ini dikurangi menjadi satu film luar berbanding tiga film lokal.
Aturan tersebut awalnya dibuat untuk melindungi film nasional dari gempuran film-film luar. Keharusan memproduksi film ini membuat para produsen film memilih menggelontorkan dana rendah dan memproduksi film "asal-asalan" demi sekadar memenuhi kuota.
"Dalam seminggu bisa jadi dua film, kadang syutingnya di tempat yang sama dengan aktor yang sama. Jadi enggak heran kalau kualitasnya jelek karena dibuatnya tergesa-gesa. Bagaimana mau ada riset, penghayatan peran dan lainnya kalau buatnya cepat-cepat," kata Ekky.
Film-film seperti "Jaka Sembung", "Pembalasan Ratu Laut Selatan" atau "Perempuan di Sarang Sindikat" pada masanya dianggap tidak bermutu dan dipandang sebelah mata, namun menariknya film-film tersebut justru mendapat perhatian penonton luar.
Pada 1981, pemerintah membuat "Program Kerja Tetap Promosi dan Pemasaran Karya Indonesia di Luar Negeri" yang bertujuan untuk meloloskan film-film Indonesia ke kompetisi film-film internasional.
Perjalanan dimulai pada 1982, dari Manila Film Festival, Berlin hingga ke Cannes, mereka membawa film-film kultural edukatif yang dianggap dapat merepresentasikan Indonesia, sayangnya film-film itu tidak dilirik.
Namun saat di pasar film, film-film Indonesia yang dianggap tidak bermutu justru laku. Film yang pertama laku adalah film bertema kanibalisme berjudul "Primitif" (1980) yang dibintangi oleh Barry Prima. Film-film itu dibeli untuk diedarkan dalam bentuk video, VHS, dan juga acara tv.
"Film 'Primitif', 'Lima Cewek Jagoan', 'Ratu Ilmu Hitam' justru laku di pasar film. Secara enggak langsung pemerintah lah yang menyebarkan film-film ini ke luar," kata Ekky.
Ekky mengatakan film-film tersebut bisa laku karena dari segi bahasa film, genre horor lebih gampang dipahami secara audiovisual dibandingkan film-film komedi.
Namun "keanehan" di dalam film-film tersebutlah yang menjadi daya tarik utama bagi pentonton di luar.
"Film itu aneh, mereka enggak pernah liat film horor yang ada ilmu hitamnya. Seperti film 'Serbuan Halilintar' yang punya pil kalau diminum bisa tumbuh pohon, atau 'Mystic in Bali (Leak)', ada perempuan yang bisa keluar kepala dan ususnya, kan itu mengerikan dan bagi mereka itu aneh," kata dia.
Ekky menjelaskan Antropolog visual asal Amerika Karl Heider mengatakan ada beberapa hal yang menjadikan film-film Indonesia memiliki ciri khas di antaranya cerita legenda dan kompeni. Penggemar film cult di sana menyebut film-film Indonesia dengan "Crazy Indonesia"
Pengelompokan film-film itu ke dalam kelas B, eksploitasi atau pun cult awalnya datang dari kritikus dan akademisi. B bisa juga berarti bad (buruk/jelek), dia menilai film-film 80-an itu "so bad it's good". Meski penonton sadar film-film tersebut kualitasnya tidak baik, tetapi tetap mengandung nilai estetika tersendiri.