Jakarta (ANTARA) - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tjahjo Kumolo, menjelaskan alasan pemerintah menyesuaikan sistem kerja pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Penyesuaian sistem kerja pegawai ASN dilakukan untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan berjalan dengan baik dan mencegah terjadinya penyebaran Covid-19 di lingkungan Instansi Pemerintah," kata dia, dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Selasa malam (8/9).
Ia mengatakan pemerintah tentu harus memprioritaskan kesehatan pegawai ASN dalam pelaksanaan tugasnya untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik dapat berjalan secara baik dan efektif.
Baca juga: Bima Arya tegaskan jangan kendor penanganan Covid-19
Namun agar pegawai ASN tetap berkinerja maksimal, penyesuaian sistem kerja Pegawai ASN dilakukan dengan pendekatan flexible working arrangement, yaitu fleksibilitas di dalam pengaturan lokasi bekerja maupun dalam waktu bekerja.
Melalui skema pengaturan kerja yang lentur, pegawai ASN dapat bekerja di kantor atau bekerja di rumah/tempat tinggal.
Hal itu dicantumkan dalam SE Menteri PAN-RB Nomor 58/2020 sebagaimana telah diubah dengan SE Menteri PAN-RB Nomor 67/2020.
Dalam SE Nomor 67/2020, ditambahkan substansi bahwa yang mengatur jumlah pegawai yang melaksanakan tugas kedinasan di kantor maupun di rumah adalah pejabat pembina kepegawaian, dengan memperhatikan data zona risiko penyebaran Covid-19 yang ditetapkan oleh Satuan Tugas Penanganan Covid-19.
Baca juga: 24 dokter di Kepri terpapar COVID-19
Sebagai informasi, berdasarkan data yang didapat dari Satuan Tugas Penanganan Covid-19, pada 30 Agustus 2020 terdapat 65 Kab/Kota dengan Risiko Tinggi, 230 Kab/Kota dengan Risiko Sedang, 151 Kab/Kota dengan Risiko Rendah, 42 Kab/Kota Tidak Ada Kasus, dan 26 Kab/Kota Tidak Terdampak.
"Oleh karena itu, kami meminta agar PPK dalam membagi WFH dan WFO secara aktif memantau pergerakan/perubahan zona risiko pada lokasi Instansi pemerintah yang bersangkutan," kata Kumolo.
Bagi instansi pemerintah yang berada pada zona kabupaten/kota berkategori tidak terdampak/ tidak ada kasus, PPK dapat mengatur jumlah pegawai yang melaksanakan tugas kedinasan di kantor paling banyak 100 persen.
Bagi instansi pemerintah yang berada pada zona kabupaten/kota berkategori risiko rendah, PPK dapat mengatur jumlah pegawai yang melaksanakan tugas kedinasan di kantor paling banyak 75 persen.
Baca juga: Presiden: Fokus utama pemerintah tangani masalah kesehatan
Bagi instansi pemerintah yang berada pada zona kabupaten/kota berkategori risiko sedang, PPK dapat mengatur jumlah pegawai yang melaksanakan tugas kedinasan di kantor paling banyak 50 persen.
Bagi instansi pemerintah yang berada pada zona kabupaten/kota berkategori risiko tinggi, PPK dapat mengatur jumlah pegawai yang melaksanakan tugas kedinasan di kantor paling banyak 25 persen.
Tjahjo menambahkan, apabila suatu Instansi pemerintah berlokasi di wilayah dengan Penetapan Sosial Berskala Besar (PSBB), maka PPK juga dapat mempertimbangkan pelaksanaan tugas kedinasan di rumah secara penuh.
Baca juga: Pulihkan ekonomi, Apindo minta kendalikan dulu penyebaran COVID-19
"Kecuali, bagi instansi pemerintah dengan tugas dan fungsi yang bersifat strategis sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan mengenai Pedoman PSBB," kata dia.
Kendati, ada ketentuan penyesuaian jumlah pegawai ASN bekerja di rumah maupun bekerja di kantor, dia tetap meminta protokol kesehatan harus selalu dijalankan secara tegas oleh ASN, baik di lingkungan kantor maupun di luar kantor.
Untuk itu, dia meminta pemantauan dan pelaporan pelaksanaan kinerja pegawai terus dilakukan sesuai dengan Manajemen ASN yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan SDN aparatur, di antaranya:
1. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11/2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diubah dengan PP Nomor 17/2020,
2. PP Nomor 49/2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja,
3. PP Nomor 53/2010 tentang Disiplin PNS, dan
4. PP Nomor 30/2019 tentang Penilaian Kinerja PNS.
Baca juga: Faisal Basri kritik penanganan COVID-19 yang lebih berat ke ekonomi