Jakarta (ANTARA) - AKBP Dedy Tabrani, polisi yang menembak seorang teroris bom Sarinah pada tahun 2016, meraih gelar doktor pada Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK-PTIK) Jakarta.
Sidang promosi doktor secara daring dipimpin Kombes Pol. Dr. Hadi Purnomo dengan Sekretaris AKBP Dr. Benny Maringan Saragih.
Baca juga: Polisi: enam tersangka serangan Thamrin ikut mufakati aksi
Lima tim pengujinya adalah Prof. Dr. Burhan Djabir Magenda, Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, Dr. Reza Idria, Dr. Sidratahta Muhtar, dan Dr. Herdy Sahrasad.
Promotor dalam sidang yang berlangsung pada hari Rabu (14/10) adalah Dr. Achyar Yusuf Lubis dengan Co-Promotor Noorhuda Ismail, Ph.D dan Angel Damayanti, Ph.D.
Dalam sidang promosi doktoral itu, Dedy mampu mempertahankan disertasinya dan resmi menyandang gelar doktor dengan nilai 98,66 atau summa cum laude, dan masa pendidikan 2 tahun 4 bulan.
Dedy adalah perwira polisi yang berhasil menembak mati seorang teroris saat baku tembak setelah peristiwa peledakan di Starbucks Coffee, Jalan M.H. Thamrin, kawasan Sarinah, Jakarta Pusat, 4 tahun silam.
Saat itu, alumnus Akademi Kepolisian kelahiran Banda Aceh, 15 Oktober 1976, itu menjabat sebagai Kapolsek Metro Menteng Jakarta.
Atas andilnya dalam penanganan tindak terorisme Sarinah itu, Deddy bersama 16 anggota Polri lainnya yang ikut juga berjasa dalam kasus yang sama mendapatkan penghargaan pin emas dari Kapolri (ketika itu) Jenderal Pol. Badrodin Haiti.
Baca juga: BOM JAKARTA - 16 polisi dapat penghargaan
Dedy yang kini menjabat Wakapolresta Tangerang itu mengaku tertarik mengambil disertasi tentang terorisme karena latar belakangnya awal bertugas adalah di Gegana Antiteror yang kemudian membuatnya banyak belajar tentang ilmu kepolisian, terorisme, dan intelijen.
Sementara itu, salah satu penguji Dr. Sidratahta Muhtar mengapresiasi gelar doktor dan nilai yang diraih Dedy yang dinilainya sebagai mahasiswa tekun dan religius.
Menurut Sidratahta, Polri perlu menempatkan para doktor ilmu kepolisian sebagai lini depan untuk pencerahan masyarakat dalam aspek sosial, hukum, isu-isu demokrasi, dan sebagainya.
"Ini agar polisi tetap mendapat tempat di hati masyarakat yang sedang alami demokratisasi," kata Sidratahta.