Padang (ANTARA) - Seorang warga di Jorong Dalam Koto, Nagari Taeh Baruah, Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Limapuluhkota, Restu Ayu (29) tampak mencolok dengan mata birunya dan kulit yang kuning langsat.
Di rumah itu, selain Restu Ayu, dua orang lainnya juga bermata biru, yakni anaknya Yusuf usia 10 bulan dan ibunya, Darmi Wilta (62).
Kedua mata mereka berwarna biru, namun hanya Darmi Wilta yang mengalami gangguan pendengaran sejak lahir.
Restu Ayu mengaku, konon cerita yang berkembang di keluarganya, dulu buyutnya ada yang menikah dengan orang Belanda, sehingga menurunkan mata biru ke generasi berikutnya.
"Keluarga saya ada sekitar belasan orang bermata biru, ada yang tinggal di Batam, Pekanbaru, dan Malaysia," kata Restu Ayu.
Tapi ia juga tidak menampik, bahwa keturunan Belanda kemungkinan hanya cerita yang belum tentu kebenarannya.
Meskipun demikian, ia dan keluarganya tetap menjalani kehidupan seperti orang-orang pada umumnya, tidak ada yang berbeda.
Sementara warga di Jorong Galanggang Tangah, Nagari Sungayang, Kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, umumnya tahu siapa keluarga bermata biru di daerah itu.
Adalah Tuti Fariani (58), seorang guru yang memiliki mata biru di sebelah kanan, sementara anaknya Muthia Eriani (30) justru kedua matanya berwarna biru.
Si mata kucing
Muthia memiliki anak, yakni Amira (5) memiliki iris mata sebelah kanan berwarna biru dan Gibran (2,5), yang masing-masing setengah iris matanya berwarna biru pucat dan hitam.
Menurut Muthia, karena matanya yang berwarna biru, ia sempat dipanggil dengan panggilan Si Mata Kucing.
Meskipun demikian, ia merasa tidak tersinggung dan menanggapi hal itu biasa, dan tetap percaya diri.
"Kalau Amira memang agak kurang suka ditanya-tanya tentang matanya, kalau bisa santai saja, dia tidak mau dianggap berbeda dan ingin berbaur dengan anak-anak seusianya," kata Muthia yang mantan tenaga kesehatan di Tanah Datar itu.
Muthia mengatakan kondisi keluarganya yang demikian tidak mengganggu, namun memang matanya agak sensitif dengan cahaya terang, sehingga sering berlinang saat terpapar sinar matahari.
"Tapi kalau kurang cahaya, Muthia bisa melihat lebih jelas, bahkan membaca buku di cahaya yang remang pun bisa," kata Muthia.
Perlu pemeriksaan lanjut
Dokter Spesialis Mata RSAM Achmad Mochtar Bukittinggi, dr Romi Yusardi SpM menjelaskan orang-orang bermata biru tersebut kemungkinan mengalami Hipopigmentasi Iris, atau kekurangan pigmen pada bagian mata sehingga kondisi bola matanya terlihat kebiru-biruan.
"Penderita kemungkinan mengalami kelainan pada mata, selain kurangnya pigmen pada iris. Untuk memastikannya perlu dilakukan pemeriksaan oleh dokter mata, untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang memiliki gejala mirip Sindrom Waardenburg," kata Romi.
Ia menjelaskan fungsi iris mata untuk mengatur jumlah cahaya yang masuk ke mata, maka jika pigmennya kurang akan transparan, cahaya akan masuk lebih banyak.
Akibatnya, kata Romi, jika mata terkena sinar matahari akan merasa sangat silau dan berair, namun karena sudah sejak kecil, penderita sudah terbiasa dan tidak mengeluh.
Menurutnya, untuk memastikan mereka memiliki Sindrom Waardenburg memang harus diperiksa lebih lanjut dan detail ke dokter mata dan THT.
"Siapa tahu selama ini memang banyak orang-orang dengan Sindrom Waardenburg di negeri kita, tapi luput dari perhatian," kata Romi.
Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sumbar, dr Jacky Munilson SpTHT, menambahkan untuk memastikan bahwa mereka orang dengan Sindrom Waardenburg harus berkolaborasi dengan dokter lain seperti dokter THT, dokter anak dan dokter mata.
"Untuk itu, kita harus memeriksanya bersama, bahkan sampai DNA-nya harus diperiksa. Karena yang bisa membuktikan adalah dengan pemeriksaan DNA, kita lihat mutasi gen, betul atau tidak," kata Jacky yang merupakan dokter spesialis THT itu.
Kemudian untuk tata laksananya, kata Jacky, tergantung kondisi pasien tersebut, jika seandainya ada gangguan pendengaran, harus dilakukan terapi.
Nantinya, akan diputuskan apakah bisa dengan alat bantu dengar atau menggunakan implan.
"Untuk alat bantu dengar ini, harganya tergantung kebutuhan, mau butuh yang mana. Kalau alat yang bagus, bisa menghilangkan bising lingkungan. Semakin canggih, semakin mahal," katanya.
Alat bantu dengar itu, harganya beragam, mulai Rp2 jutaan sampai puluhan juta, ujar Jacky.
Sosialisasi ke masyarakat
Dokter THT Sub Bagian THT Komunitas di RSUP Dr. M. Djamil, Padang, dr Nirza Warto SpTHT, mengatakan belum memiliki data pasien terkait Sindrom Waardenburg di Padang.
Nirza mengatakan orang-orang dengan Sindrom Waardenburg yang memiliki gangguan pendengaran, akibat kelainan di koklea, bagian telinga dalam.
Di dunia THT sendiri, Sindrom Waardenburg persentasenya 3 persen dari gangguan tuli kongenital.
"Gangguan pendengaran akibat Sindrom Waardenburg ini bisa terdeteksi melalui skrining awal, atau bisa terdeteksi setelah ada permasalahan," ujarnya.
Menurut dia, kebanyakan gangguan pendengaran ini terdeteksi ketika orangtua mengeluh anak mereka tidak bisa berbicara saat usianya sudah dua tahun ke atas.
Seharusnya, kata Nirza, hal itu bisa dideteksi lebih dini sebelum anak berusia enam bulan.
Oleh karena itu, RSUP Dr.M.Djamil Padang melakukan skrining awal kepada bayi-bayi yang lahir dengan risiko di ruang ICU anak, berkolaborasi dengan Bagian Anak.
Bagian THT, kata dia, memastikan, masalah pendengaran ini ada atau tidak pada bayi-bayi itu.
"Jika memang ada ditemukan Sindrom Waardenburg, bisa saja nanti kita akan membuat rekap khusus tentang itu bekerjasama dengan bagian anak," katanya.
Selanjutnya, kata Nirza, ia juga gencar sosialisasi kepada rekan sejawat maupun kepada khalayak umum, terkait deteksi sejak dini gangguan pendengaran pada anak.
Sosialisasi tersebut dilakukannya saat memberikan materi pada seminar, maupun di media, dan website yang ia kelola.
Ketidakmampuan mendengar, akan berpengaruh kepada komunikasi verbal, sekolah, emosi, dan sosialnya.
"Tugas kami sebagai dokter THT, memastikan seluruh sistem pendengaran berjalan dengan baik," katanya.
Dilansir dari U.S National Library of Medicine, sindrom Waardenburg dapat dialami sekitar 1 dari 40.000 bayi yang baru lahir.
Nama sindrom ini diambil dari nama D.J. Waardenburg, dokter mata asal Belanda yang pertama kali mengidentifikasinnya pada tahun 1951.*
Kisah orang-orang bermata biru dari Ranah Minang (2)
Sabtu, 31 Oktober 2020 17:08 WIB