Jakarta (ANTARA) - Melaju pada putaran kedua dalam karier tertingginya sebagai presiden, Joko Widodo merasa memiliki impian yang masih panjang dan ingin segera dituntaskan.
Akan tetapi, belum juga genap 5 bulan sejak dilantiknya, Indonesia dihadang pandemi yang perlahan namun pasti merontokkan sendi-sendi kehidupan mulai dari kesehatan sampai pada ujungnya ekonomi.
Ia pun harus berjibaku mencari jalan keluar terbaik dan menyeimbangkan solusi antara kesehatan dan ekonomi meski keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Namun, mewajibkan mereka untuk tak melakukan aktivitas ekonomi tak ubahnya memusnahkan mereka dengan cara yang berbeda.
Maka, banting setir dan reorientasi penggunaan anggaran pun dilakukan secara drastis dan signifikan, bahkan pada tahun berjalan APBN. Sebagian besar digunakan sebagai jaring pengaman sosial, subsidi, hingga dana hibah sebagai program pemulihan ekonomi nasional.
Baca juga: Presiden sebut 2020 sebagai tahun terberat dalam sejarah dunia
Di satu sisi, Jokowi pun menghadapi berbagai gempuran persoalan lain yang tak bisa sembarangan untuk diabaikan.
Mulai dari persoalan yang muncul akibat dampak pandemi, termasuk meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran, persoalan intoleransi, permasalahan radikalisme, terorisme, kekerasan HAM, serta berbagai tantangan internal dan eksternal lainnya.
Dewan Pembina Pusat Kajian Politik dan Keamanan (Puspolkam) Indonesia Sahat Martin P. Sinurat mengatakan bahwa pemerintahan Jokowi menghadapi tantangan terberat pada saat pandemi. Bukan sekadar ia harus menyelesaikan persoalan utama terkait dengan wabah, melainkan juga serangan dari lawan politiknya di tingkat internal.
Tak hanya itu, Presiden Jokowi juga harus menghadapi tekanan dunia internasional terkait dengan banyak hal bahkan tak melulu mengenai penanganan COVID-19 namun juga isu mengenai kawasan.
Sementara itu, di dalam negeri, ia menghadapi beragam persoalan mulai dari persoalan ekonomi yang rumit hingga intoleransi yang bahayanya laten dan pelik. Oleh karena itu, Presiden Jokowi layak mendapatkan dukungan masyarakat secara solid untuk mendorong kebangkitan negeri ini pascapandemi.
Baca juga: Presiden Jokowi sebut 2021 akan jadi tahun bersejarah
Optimis Pulih
Presiden Joko Widodo saat menjelang pergantian tahun sempat menyebut tahun 2020 sebagai tahun terberat sepanjang sejarah dunia.
Perkataannya bukan tanpa alasan, ia telah menghadapi bulan-bulan yang berat sepanjang 2020 dengan tekanan yang berlipat. Gempuran dari berbagai arah ia hadapi setiap saat, malah ia tampak telah sampai pada satu titik sulit untuk percaya terhadap siapa pun.
Bahkan, jajaran pembantunya pun banyak yang bergerak sendiri tanpa koordinasi satu sama lain sehingga membuat langkahnya kian berat. Ia sempat pula terbentur keadaan yang sulit saat ingin mengganti tim menteri kabinetnya lantaran tak ingin ada gejolak ketika pandemi sedang pada puncaknya.
Pola komunikasinya sempat dianggap sangat buruk ketika timnya justru terlihat berbenturan saat menerjemahkan kebijakannya di lapangan. Masyarakat sempat kebingungan arah ketika kebijakan yang disampaikan pemerintah tumpang-tindih.
Hal itu diperparah dengan kasus-kasus lain, bahkan pelanggaran HAM hingga terorisme, di satu pihak intoleransi makin meruncing. Tuduhan kriminalisasi ulama menjadi isu politik yang paling seksi untuk dituduhkan kepada pemerintahan Jokowi.
Sampai pada puncaknya, ketika dua menterinya dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus korupsi, Jokowi segera mengambil momentum tersebut untuk melakukan perombakan kabinetnya.
Kini timnya telah terbarui dengan tokoh-tokoh yang populer dan tegas pada kasus intoleransi. Jokowi sudah bulat tekad untuk tak lagi melakukan tawar-menawar dengan interaksi. Kado akhir tahunnya adalah pelarangan organisasi massa yang dianggap radikal, yakni melalui surat keputusan bersama (SKB) pelarangan kegiatan, penggunaan simbol, dan atribut serta penghentian kegiatan FPI.
Baca juga: FPI tidak dibubarkan karena tidak terdaftar
Menjelang tutup tahun, Presiden Jokowi mengajak masyarakat Indonesia untuk tetap bersyukur karena tetap mampu menghadapi persoalan global tersebut.
"Bangsa Indonesia, kita, juga tak luput dari cobaan yang tidak mudah ini. Tapi, kita harus bersyukur, alhamdulillah, kita mampu menghadapinya dengan ketegaran," katanya.
Menurut dia, meski diterpa dampak pandemi, Indonesia saat ini masih tetap dapat menjalankan roda kehidupan. Masyarakatnya juga mampu beradaptasi dengan cara-cara baru agar wabah ini dapat segera diatasi dan menyelesaikan satu per satu dampak perekonomian yang ditimbulkan.
Ia optimistis memasuki 2021 Indonesia mampu bangkit dan melahirkan banyak inovasi. Demikian halnya kondisi perekonomian yang akan berangsur membaik.
Vaksin menjadi pekerjaan rumah selanjutnya. Namun, diyakininya bahwa itu akan mengendalikan penyebaran virus corona.
Adapun di sisi masyarakat, Presiden Joko Widodo meminta peningkatan kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan, seperti mengenakan masker, menjaga jarak, dan rutin mencuci tangan serta tidak menganggap remeh penyebaran COVID-19.
"Dengan kesehatan masyarakat yang pulih, kepercayaan dunia meningkat, pemulihan ekonomi akan terjadi pada tahun 2021," kata Presiden.
Presiden mengajak seluruh pihak untuk bergerak bersama mengatasi ujian berat yang dirasakan sepanjang tahun 2020. Dengan komitmen dan kedisiplinan yang kuat, Kepala Negara berharap agar tahun 2021 menjadi catatan sejarah sebagai tahun pemulihan kehidupan.
Baca juga: Presiden: Indonesia akan bangkit, lakukan banyak inovasi di 2021
Kabar Baik
Ketua Umum DPP Gema Mathla'ul Anwar, Ahmad Nawawi Arsyad, berharap pemerintahan Jokowi-K.H. Ma’ruf Amin akan membawa kabar baik pada tahun 2021.
Bersama sejumlah organisasi lintas kepemudaan, Nawawi berharap agar negara dapat berdiri di atas semua agama, kepercayaan, suku, dan golongan.
Semua kementerian dan lembaga berkewajiban untuk memberikan kebijakan yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa membeda-bedakan suku, agama, etnis, dan golongan, sebagaimana yang telah diamanahkan oleh UUD NRI Tahun 1945.
Ia menyadari bahwa pembubaran ormas radikal menunjukkan ketegasan pemerintah untuk menangani dan meredam kasus-kasus intoleransi yang mungkin muncul di tengah pandemi.
Nawawi menyadari betapa rumitnya pemerintah yang harus berfokus menangani pada persoalan pandemi tetapi masih direpotkan dengan urusan radikalisme dan intoleransi berkepanjangan.
Sayangnya, kerap kali bahwa pembubaran organisasi hanyalah solusi awal yang sejatinya bukan akhir cerita melainkan masih butuh penuntasan tak sebentar.
Pasalnya, pemerintah berhadapan dengan ideologi yang diyakini pada setiap diri anggotanya. Ideologi nyaris tak bisa dimusnahkan. Bahayanya laten seperti kasus saat bangsa ini menghadapi laten komunis yang perlu puluhan tahun untuk membasminya.
Baca juga: Vaksinasi dunia: awal bagi akhir pandemi
Bangsa ini diajari untuk senantiasa merasakan trauma dan ketakutan untuk agar bisa membenci ideologi komunis. Sungguh harga yang tak murah.
Untuk itu, Nawawi mendorong pemerintahan Jokowi untuk tetap fokus membangun pada budaya toleransi, terutama pada pendidikan agama di Indonesia dengan mengedepankan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam pembelajaran berdasarkan Perpres Nomor 87 Tahun 2017 tentang Pendidikan Karakter. Dengan demikian, terbentuk karakter generasi muda yang berbudi pekerti luhur sesuai dengan warisan budaya Indonesia.
"Kita berperang melawan ideologi, sulit diberantas, kuncinya membangun karakter generasi muda sejak dini," katanya.
Maka, pada tahun 2021 diyakini sebagai tahun kebangkitan yang penuh pengharapan sebab semua telah lelah dengan ketidakpastian akibat pandemi. Semua ingin pemerintah Jokowi-K.H. Ma’ruf Amin memiliki cara tersendiri untuk menginisiasi kebangkitan negeri ini.