Jakarta (ANTARA) - Pertanian menjadi salah satu sektor yang mampu bertahan di tengah pandemi COVID-19 ketika semua sektor terpukul pandemi. Pertanian justru mengalami pertumbuhan di seluruh wilayah Indonesia, tak kecuali di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Bahkan angkanya di atas rata-rata nasional. Secara nasional pertumbuhan sektor pertanian mencapai 16,4 persen, sedangkan di NTB angkanya 20 persen.
"Yang tidak terdampak COVID-19 ini sektor pertanian. Artinya berkontribusi dan tidak terpengaruh pandemi," ujarnya.
Menurut Husnul Faozi, di tengah pandemi COVID-19, sektor pertanian menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi masyarakat di NTB, sehingga bisa memberikan nilai tambah dalam meningkatkan pendapatan masyarakat, tak terkecuali kalangan petani.
Karena, kata dia, sebagian besar mata pencarian masyarakat NTB bergerak di sektor pertanian.
Meski sektor pertanian tetap tumbuh dan tidak terdampak masa pandemi, pemerintah daerah dalam hal ini provinsi, kabupaten, dan kota, tentu tidak tinggal diam dalam membantu kehidupan dan roda ekonomi petani.
Sejumlah program pun sudah diluncurkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB melalui Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) Gemilang, yakni pemberian paket seperti sembako. Paket-paket ini menyasar masyarakat yang terdampak COVID-19.
Selain Program JPS dari Pemprov NTB, pemerintah pusat melalui Kementan juga sudah memberikan bantuan alat pascapanen, mesin parut, dan lainnya kepada petani di NTB. Termasuk, pemerintah melalui Bulog telah melaksanakan pembangunan pabrik pengolahan hasil pertanian yang dikelola secara profesional.
Pembangunan pabrik pengolahan beras modern di Kabupaten Sumbawa, sudah terlaksana pada Agustus-September 2020. Hingga saat ini masih dalam proses pengerjaan.
"Nanti kehadiran pabrik tersebut bisa menjadikan beras yang diolah menjadi lebih baik kualitasnya," katanya.
Sementara itu Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Lombok Tengah Lalu Iskandar mengatakan bahwa satu-satunya sektor pertanian yang pertumbuhannya 12 persen pertahun dalam situasi pandemi COVID-19 dibandingkan dengan sektor lainnya.
Artinya ada dampaknya tapi tidak terlalu parah seperti sektor lainnya seperti pariwisata, perindustrian, perdagangan.
"Karena faktanya petani tidak pernah berhenti mengolah tanah, menanam, memanen dan menjual hasil produksinya untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Sehingga petani dikatakan sebagai pahlawan pangan," katanya.
Curhat petani
Sementara itu salah satu Sekretaris Kelompok Tani Beriuk Pade Desa Tanak Rarang, Kecamatan Praya Barat, Lombok Tengah, Sudirman mengatakan pandemi tersebut tidak berdampak pada petani khususnya karena petani tetap melakukan penanaman padi.
Namun yang paling berdampak bagi petani itu adalah harga pupuk yang mahal dan langka serta obat-obatan.
"Dampak pandemi tidak begitu besar. Tapi pupuk langka yang buat petani sangat terdampak," katanya.
Ditegaskan, biaya produksi petani itu naik, ketika harga pupuk yang melambung tinggi dua kali lipat Rp600 ribu per kuintal dari harga pupuk subsidi Rp200 ribu per kuintal.
Sedangkan harga padi saat paneh biasanya menurun, sehingga pihaknya berharap bantuan dari pemerintah supaya ditingkatkan terlebih di saat pandemi ini.
"Harga pupuk yang mahal. Harapan supaya ada bantuan pupuk gratis bagi petani dan pupuk tidak mahal," katanya.
"Mau pandemi mau tidak, petani tetap bekerja di sawah," ujarnya.
Ketua Kelompok Tani Harapan Baru Desa Gemel, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah Japar mengatakan hal yang berbeda, bahwa pandemi itu berdampak kepada petani, karena daya beli masyarakat terhadap beras petani itu menurun, terlebih adanya bantuan raskin yang diberikan kepada masyarakat.
"Terdampak juga, harga gabah murah, daya beli masyarakat menurun," katanya.
Oleh sebab itu pihaknya berharap adanya bantuan dari pemerintah selain bantuan bibit padi, karena ekonomi petani itu juga ikut menurun dampak dari pandemi tersebut.
"Harapan ada bantuan uang untuk biaya tanam. Karena harga pupuk saat ini mahal dan langka. Petani juga terdampak," katanya.
Syukur salah satu petani di Desa Gemel mengatakan pandemi COVID-19 itu pada dasarnya tidak ada dampak pada petani. Asalkan, kebutuhan pupuk dan air bagi petani itu bisa terpenuhi dan sesuai dengan harapan petani.
Namun yang terjadi saat ini semua petani di Lombok Tengah khususnya mengeluhkan kelangkaan pupuk bersubsidi dan harga pupuk yang mahal Rp600 ribu per kuintal yang nonsubsidi.
"Pupuk langka akibat pandemi ini. Berdampak juga kalau itu. Tapi kalau aktivitas petani tentu tidak, karena petani tetap melakukan penanaman," katanya.
Menurutnya, dampak pandemi ini mengakibatkan ekonomi masyarakat sehingga ekonomi petani juga menurun karena produksi tanam semakin mahal dengan harga pupuk yang tinggi. Sehingga pihaknya berharap adanya bantuan dari pemerintah yang lebih di saat pandemi tersebut.
"Harapan ada bantuan lebih di saat pandemi. Kalau saat ini benih saja yang diberikan," katanya.
Justadi salah satu Petani Muda asal Desa Beleka juga mengatakan hal yang sama bahwa pandemi COVID-19 ini berdampak bagi petani, karena pandemi tersebut yang mengakibatkan pupuk langka dan harga mahal.
"Alasan itu yang disampaikan pengecer pupuk. Jadi ada dampaknya, meskipun tidak besar. Namun, kita berharap adanya perhatian dari pemerintah untuk kebutuhan petani terutama pupuk dan air serta obat-obatan," katanya.
Baca juga: Belajar memahami masalah petani Indonesia
Baca juga: Wamentan Harvick sebut korporasi petani patut dapat dukungan penuh