Semarang (ANTARA) - Flyer (pamflet) dan media sosial Aisha Weddings yang menjadikan anak-anak dan remaja serta orang tua sebagai target promosi untuk melakukan perkawinan di usia antara 12 dan 21 tahun belakangan ini menjadi bahan perbincangan warganet.
Pemilik Pondok Pesantren Miftahul Jannah Pudjiono, Bedomo Jambu Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, ini terbukti melanggar Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kemudian Pengadilan Negeri Ungaran, Kabupaten Semarang, pada tanggal 24 November 2010 memvonis selama 4 tahun penjara dengan denda Rp60 juta.
Dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp300 juta dan paling sedikit Rp60 juta.
Dijelaskan pula dalam Ayat (2) bahwa ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Empat tahun setelah Syekh Puji divonis, undang-undang ini diubah dengan Undang-Undang 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Kasus ini seyogianya menjadi pembelajaran semua pihak sekaligus peringatan bagi mereka yang akan menggunakan jasa Aisha Weddings untuk menikahi anak di bawah umur.
Baca juga: Polisi dalami laporan KPAI soal Aisha Weddings
Selain mempromosikan layanan nikah siri dan perkawinan anak, bisnis penyelenggara perkawinan ini juga menawarkan jasa untuk mencarikan jodoh atau pasangan bagi anak dan perempuan berusia 12—21 tahun.
Tidak pelak lagi mereka yang peduli terhadap perlindungan anak, termasuk Maju Perempuan Indonesia (MPI), memberikan perhatian serius terhadap Aisha Weddings.
Dalam media sosialnya, lembaga bisnis penyelenggara perkawinan Aisha Weddings, juga mempromosikan perkawinan usia muda dan perkawinan siri.
Layanan jasa yang ditawarkan oleh Aisha Weddings adalah mencarikan jodoh bagi anak-anak perempuan dan perempuan muda yang akan dikawinkan, memfasilitasi proses perkawinan secara poligami, dan memfasilitasi perkawinan poligami.
Layanan jasa yang ditawarkan ini tak ubahnya seperti praktik perdagangan orang, khususnya perdagangan orang jenis "pengantin pesanan". Begitu respons Koordinator MPI Lena Maryana Mukti melalui percakapan WhatsApp kepada ANTARA.
Aisha Weddings justru melakukan sesuatu yang tidak selaras dengan upaya keras negara untuk menghentikan segala bentuk kekerasan dan kejahatan terhadap perempuan dan anak melalui legislasi maupun berbagai program pemberdayaan, dan pencegahan perdagangan orang, pencegahan perkawinan anak, serta mendorong perkawinan secara tercatat demi melindungi perempuan dan anak.
Layanan jasa Aisha Weddings yang mempromosikan perkawinan anak dan perkawinan siri, menurut Lena Maryana Muktim, jelas meresahkan masyarakat serta bertentangan dengan agenda nasional dalam perlindungan anak dan upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
Bahkan, promosi perkawinan anak dan perkawinan siri tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, yang mewajibkan orang tua untuk mencegah perkawinan anak.
Selain itu, juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menentukan bahwa perkawinan harus tercatat.
Apa yang dilakukan Aisha Weddings berpotensi berpotensi melanggar Pasal 7 UU Perkawinan, yang mengatur batas usia perkawinan minimal bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun.
Dalam Pasal 7 UU Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.
Selanjutnya, dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur, orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
Pemberian dispensasi oleh pengadilan wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.
Lebih dari itu, MPI menilai praktik perjodohan yang ditawarkan oleh Wedding Organizer mengarah pada praktik perdagangan orang karena menggunakan posisi rentan dan relasi kuasa yang timpang, yang mengakibatkan eksploitasi dan memberi keuntungan pada pihak yang menjodohkan.
Maju Perempuan Indonesia mengapresiasi tindakan cepat Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam menanggapi fenomena promosi perkawinan anak oleh Wedding Organizer.
Sehubungan dengan promosi perkawinan anak dan perkawinan siri, MPI merekomendasikan sebagai berikut: pertama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk memperkuat sosialisasi usia minimal perkawinan dan upaya pencegahan perkawinan anak, sampai ke tingkat desa.
Kedua, Kementerian Sosial memasukkan kerentanan anak-anak menjadi korban perkawinan anak, sebagai komponen perlindungan sosial, khususnya dalam pemberian bantuan sosial.
Ketiga, Kementerian Informasi dan Komunikasi untuk memeriksa kasus promosi perkawinan anak tersebut, dan menutup akun media sosial yang mempromosikan perkawinan anak
Keempat, Kepolisian Republik Indonesia untuk mengusut kejahatan siber (cyber crime) terkait dengan promosi perkawinan anak dan perdagangan perempuan dan anak perempuan, terselubung.
Kelima, penyelenggara dan pengelola media sosial untuk turut mendukung upaya-upaya pencegahan dan penghapusan perkawinan anak serta segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan.
Keenam, Kementerian Agama untuk menerbitkan aturan untuk menegakkan Undang-Undang Perkawinan, terutama terkait dengan praktik perkawinan siri, terlebih jika perkawinan siri tersebut dilakukan terhadap anak perempuan.
Apa yang direkomendasi oleh MPI ini patut ditindaklanjuti oleh pihak terkait demi melindungi anak bangsa.