Jambi (ANTARA) - Pengelolaan kawasan mangrove (bakau) yang berada di wilayah timur Provinsi Jambi dilakukan berbasis kemasyarakatan.
Ada yang berada di dalam kawasan hutan dalam bentuk cagar alam dan ada di area penggunaan lain (APL). Kawasan mangrove yang berada dalam kawasan hutan dalam bentuk cagar alam di kelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi.
Sementara kawasan mangrove dalam bentuk APL dikelola berbasis kemasyarakatan yang di gagas oleh KKI Warsi.
Kawasan mangrove yang berada di kawasan hutan dalam bentuk cagar alam luasnya sekitar 4.126,60 hektar dan luas kawasan dalam bentuk APL sekitar 2.625 hektar.
"Kawasan mangrove dalam bentuk cagar alam berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur," kata Kepala BKSDA Jambi Rahmad Saleh.
Sementara kawasan mangrove dalam bentuk APL sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Kondisi mangrove di Jambi, dapat di katakan dalam kondisi baik dan juga tidak baik. Dikatakan baik karena kelestarian mangrove di Jambi hingga saat ini masih terjaga dan dikatakan tidak baik karena di beberapa titik kawasan mangrove terdapat masyarakat yang melakukan aktivitas perekonomian dengan melakukan alih fungsi lahan, seperti mengubah kawasan mangrove menjadi lahan perkebunan, pertanian dan tambak ikan.
Baca juga: BRGM butuh dana awal Rp18,4 triliun untuk rehabilitasi mangrove kritis
Baca juga: Rehabilitasi hutan mangrove di Sumsel butuh peran swasta
Pelestarian mangrove
Pengelolaan dan pelestarian mangrove di daerah itu dilakukan berbasis kemasyarakatan, khususnya kawasan mangrove dalam bentuk APL. Tidak ada instansi pemerintah yang memiliki wewenang mengelola kawasan APL seperti kawasan cagar alam, taman nasional dan kawasan hutan lainnya.
Pada umumnya banyak masyarakat yang mengelola kawasan APL dengan mengalihfungsikan lahan menjadi perkebunan dan lahan pertanian. Sementara jika dilakukan alih fungsi lahan terhadap kawasan mangrove maka ekosistemnya akan rusak.
Maka dari itu KKI Warsi mendorong masyarakat untuk tetap melestarikan mangrove dan juga memanfaatkan kawasan dengan tidak merusak ekosistemnya.
Salah satu yang dilakukan yakni mengelola kawasan mangrove menjadi kawasan ekowisata. Dengan dijadikan kawasan ekowisata maka ekosistem magrove dapat terjaga dan kelompok masyarakat yang mengelola memiliki pendapatan dari kawasan tersebut.
Pemerintah Daerah setempat melalui Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Tanjung Jabung Barat mendukung kegiatan itu.
"Tidak hanya menjadikan kawasan ekowisata, namun juga terdapat program pelestarian lainnya seperti pembuatan bibit pohon bakau oleh kelompok tani untuk di tanam kembali di kawasan mangrove," kata Ade Candra.
Pengelolaan berbasis kemasyarakatan tersebut tidak hanya dilakukan di kawasan APL, namun juga di kawasan mangrove yang berada di cagar alam turut dikelola oleh masyarakat.
Pengelolaan mangrove yang berada di cagar alam dilakukan berdasarkan zonasi, di antaranya zonasi perlindungan total, blok rimba dan zona rehabilitasi.
Untuk zona rehabilitasi adalah kawasan mangrove yang dialihfungsikan oleh oknum warga dan saat ini dilakukan rehabilitasi dengan melibatkan masyarakat.
Baca juga: BRGM sebut enam strategi percepatan rehabilitasi mangrove
Baca juga: Pemkot Surabaya diminta kembangkan kawasan lahan basah
Perdes dan pohon asuh
Agar kawasan mangrove yang dikelola oleh masyarakat memiliki kekuatan hukum maka KKI Warsi mendorong Pemerintah Desa setempat menerbitkan peraturan desa (Perdes) tentang perlindungan dan pengelolaan mangrove berkelanjutan.
Di dalam Perdes tersebut terdapat aturan yang mengikat masyarakat untuk tidak melakukan alih fungsi lahan kawasan mangrove menjadi lahan perkebunan, pertanian dan tambak.
Selai itu, di dalam Perdes tersebut juga mengatur tentang pendanaan pengelolaan kawasan mangrove tersebut, terutama dana yang dikelola untuk ekowisata kawasan mangrove tersebut.
Saat ini sedang dilakukan pendataan luas kawasan mangrove, khususnya yang berada di Desa Pangkal Babu tersebut.
Perdes tersebut diterbitkan untuk melindungi masyarakat dan kawasan mangrove di daerah itu. Artinya, masyarakat tetap dapat melakukan aktivitas perekonomian di kawasan tersebut dengan tidak merusak ekosistem mangrove.
Salah satu contoh, dengan adanya ekowisata di kawasan mangrove tersebut, maka industri rumahan yang memproduksi berbagai makanan dan kerajinan untuk dijadikan cenderamata yang dijajakan kepada wisatawan yang berkunjung.
Tidak hanya Perdes, KKI Warsi turut menggagas pohon asuh di kawasan mangrove tersebut. Polanya yakni warga atau masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap kelestarian mangrove mengasuh satu pohon dengan mendonasikan sejumlah uang dalam setiap tahunnya.
Selanjutnya uang yang di donasikan tersebut akan digunakan oleh pengelola mangrove, dalam hal ini masyarakat di Desa Pangkal Babu yang telah di tunjuk untuk merawat pohon tersebut.
"Dana yang didonasikan tersebut akan di manfaatkan untuk melestarikan kawasan mangrove. Pohon bakau yang dijadikan pohon asuh memiliki kriteria, seperti pohon bakau yang sudah besar dengan ketentuan lingkar pohon tertentu, usia pohon yang sudah dewasa dan beberapa kriteria lainnya," kata Ade Candra.
Dengan sistem dan pola tersebut maka kelestarian ekosistem mangrove dapat terus terjaga dan masyarakat di sekitar kawasan mangrove mendapatkan manfaatnya, baik secara ekologis maupun secara ekonomis.
Baca juga: Bappenas susun peta jalan pengelolaan lahan basah untuk mangrove
Baca juga: KKP bangun kebun bibit mangrove di Pasuruan Jawa Timur
Kesadaran masyarakat
Pengelolaan mangrove berbasis masyarakat di daerah itu dapat dilakukan dengan baik karena masyarakat setempat memiliki kesadaran yang baik terhadap manfaat dari kawasan mangrove tersebut.
Menariknya, saat dilakukan pertemuan, masyarakat di daerah itu sangat antusias melestarikan mangrove karena melindungi perkebunan mereka dari terjangan angin kencang dari laut.
Di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, sebagian besar penghasilan masyarakat di daerah itu dari hasil perkebunan kelapa. Dimana perkebunan kelapa masyarakat di desa tersebut masih berada di kawasan pantai.
Karena masih berada di kawasan pantai maka angin yang bertiup dari laut cukup kencang. Jika tidak ada hutan mangrove maka angin tersebut langsung menerjang perkebunan kelapa milik masyarakat dan berpotensi menyebabkan pohon kelapa rubuh dan patah.
Kawasan mangrove tersebut berfungsi menahan terjangan angin dari laut.
Selain itu, masyarakat di daerah itu turut menyadari bahawa kawasan mangrove merupakan tempat bagi biota laut berkembang biak seperti udang dan ikan. Jika kawasan mangrove tidak ada maka biota laut akan kehilangan tempat untuk berkembang biak.
Sebagian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan terancam, jika biota laut menghilang.
Baca juga: KKP diharapkan berkolaborasi dengan Kemendes kembangkan wisata bahari
Baca juga: Aceh Jaya kembangkan ekowisata mangrove 300 hektare
Tempat singgah burung
Kelestarian kawasan mangrove juga menjadi tempat persinggahan bagi ribuan burung yang bermigrasi. Tepatnya di Pantai Cemara yang berada di Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjab Timur.
Burung migrasi itu melakukan perjalanan mengelilingi dunia setiap tahunnya dan kawasan mangrove di pantai cemara menjadi salah satu tempat persinggahan bagi mereka.
Burung migrasi tersebut memasuki kawasan mangrove di Pantai Cemara mulai dari November, Desember, Januari dan Februari. Terdapat beberapa kelompok burung migrasi yang singgah di Pantai cemara yang datang silih berganti.
Burung migrasi tersebut biasanya dari China dan Rusia, sebelum sampai ke Australia dan New Zealand mereka singgah di wilayah Pantai Cemara karena menyimpan makanan yang cukup sebelum sampai ke tujuan selanjutnya.
Terdapat sekitar 23 jenis burung yang singgah di kawasan Pantai Cemara sehingga melestarikan mangrove bukan sekadar untuk mangrove, tetapi juga untuk biota laut, kebun kelapa masyarakat dan jadi destinasi antara bagi burung yang bermigrasi.*
Baca juga: Kelestarian mangrove penting buat tingkatkan kinerja perekonomian desa
Baca juga: Riau masih jadi prioritas restorasi gambut dan mangrov