Jakarta (ANTARA) - Untuk dapat membentuk kekebalan komunitas, sedikitnya 70 persen dari total penduduk Indonesia harus disuntik vaksin COVID-19. Penyuntikan tersebut sebaiknya dilakukan dalam waktu yang berdekatan atau serentak supaya kekebalan komunitas secara nasional dapat terbentuk.
Vaksinasi gelombang kedua akan dilaksanakan pada April 2021 sampai Maret 2022 dengan target 63,9 juta warga di daerah dengan risiko penularan tinggi dan 77,4 juta anggota masyarakat lain dengan pendekatan klaster sesuai dengan ketersediaan vaksin.
Namun kemudian muncul gagasan untuk mempercepat cakupan vaksinasi dengan membolehkan adanya vaksinasi mandiri oleh perusahaan swasta sehingga semakin cepat tercapai kekebalan imunitas.
Perusahaan beralasan mereka memerlukan program itu agar manajemen dan buruh mendapatkan kekebalan sehingga tidak perlu lagi berbagai macam tes paparan covid seperti tes antigen dan PCR yang berulang-ulang, yang biayanya lebih tinggi dibanding memunculkan kekebalan tubuh melalui vaksinasi.
Namun, sejumlah pihak juga meminta agar Pemerintah berhati-hati, teliti dan cermat dalam penyusunan regulasi tentang vaksinasi COVID-19 secara mandiri atau gotong royong guna menghindari hal-hal buruk dari pelaksanaan regulasi itu.
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Netty Prasetiyani Aher mengingatkan pemerintah bahwa program vaksinasi COVID-19 harus memperhatikan asas keadilan agar seluruh masyarakat Indonesia tak terkecuali rakyat miskin bisa mengakses vaksin itu.
Menurut dia, Negara harus memastikan program vaksinasi berada dalam kendali satu pintu agar transparan, mudah dievaluasi dan dilakukan pengawasan. Kran vaksin mandiri jangan sampai menimbulkan 'potong kompas' pengusaha dengan membeli langsung dari produsen yang membuka potensi konglomerasi dan komersialisasi. Jika sudah masuk skema konglomerasi maka rakyat miskin akan sulit mendapat vaksin.
Netty menuturkan pentingnya satu komando dalam program vaksinasi dan memperhatikan skema pengadaan vaksin sesuai aturan yang berlaku di Tanah Air. Selain otoritas penggunaan darurat (Emergency Use Authorization), ada juga standar kehalalan vaksin.
Sejauh ini baru vaksin dari Sinovac yang dapat persetujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Netty menyoroti hal itu terkait pemerintah mempertimbangkan vaksin mandiri atau gotong royong sebagai saran dari pengusaha, untuk meringankan pembiayaan dan mempercepat tercapainya kekebalan kelompok. Sekitar 26 juta karyawan badan usaha milik nasional (BUMN) dan swasta akan mendapat prioritas vaksinasi setelah tenaga kesehatan dan tenaga pelayanan publik.
Payung Hukum
Hingga saat ini belum ada payung hukum yang mengatur tentang vaksin mandiri, kecuali terkait proses pengadaan yang dapat dilakukan oleh badan usaha dengan menggunakan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 99 Tahun 2020.
Perpres itu memberi ruang pengadaan vaksin, termasuk jenis dan jumlahnya, melalui penunjukan langsung badan usaha penyedia, bahkan melalui kerja sama dengan lembaga atau badan internasional dengan persetujuan Menteri Kesehatan.
Netty mengingatkan pemerintah agar tidak memainkan celah hukum tersebut untuk memberikan prioritas pada kelompok pengusaha yang memiliki dukungan finansial dan mengabaikan masyarakat lainnya. Apalagi menurut Netty, jika di dalamnya ada motif tersembunyi berupa mengambil keuntungan di tengah kesulitan.
Sebelumnya Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan saat ini tengah menghimpun data jumlah perusahaan yang akan mengikuti program vaksinasi COVID-19 secara mandiri untuk karyawan dan keluarganya.
Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P. Roeslani mengungkap antusiasme swasta dari berbagai sektor sangat tinggi untuk mengikuti program vaksinasi mandiri. Terbukti banyaknya perusahaan dari sektor perbankan, manufaktur, tekstil, logistik dan sektor lainnya yang sudah mendaftar.
Minat besar untuk berpartisipasi itu berasal dari perusahaan-perusahaan padat karya dan perusahaan yang berada di zona merah.
Rosan menyebutkan program vaksinasi mandiri lebih efisien dibandingkan dengan mengeluarkan biaya untuk hal-hal lain, seperti tes antigen dan PCR. Selain itu, vaksinasi karyawan diyakini dapat mengembalikan jumlah pekerja ke jumlah normal sehingga produktivitas ikut membaik.
Pihak perusahaan berharap vaksinasi mandiri bisa segera dilaksanakan sehingga memberikan rasa aman dan nyaman dalam beraktivitas, dan yang terpenting iklim usaha segera pulih , perekonomian dapat bergerak.
Menurut dia, program vaksinasi mandiri akan dilakukan setelah vaksinasi terhadap sektor prioritas yang sudah ditetapkan pemerintah, yakni tenaga kesehatan dan petugas pelayanan publik. Diperkirakan pelaksanaan program vaksinasi gotong royong bisa mulai dilaksanakan dalam rentang kuartal I tahun 2021 hingga memasuki awal kuartal II tahun 2021.
Rosan memperkirakan sedikitnya 20 juta pekerja di sektor formal bisa mengikuti program vaksinasi mandiri tersebut.Total 40 persen dari angkatan kerja yang jumlahnya 130 juta orang adalah 52 juta orang. Sehingga, kemungkinan yang ikut adalah setengahnya, yakni sekitar 26 juta orang, atau setidaknya 20 juta pegawai.
Kadin juga memastikan bahwa program vaksinasi tersebut tidak dibebankan kepada karyawan, melainkan ditanggung oleh masing-masing perusahaannya. Adapun jenis vaksin yang akan digunakan di luar dari Sinovac atau merek lain yang ada dalam daftar program vaksinasi gratis pemerintah.
Sementara itu peneliti lembaga kajian ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menilai bahwa vaksin mandiri oleh perusahaan dapat mempercepat program vaksinasi pemerintah.
Rusli berharap program vaksinasi mandiri oleh perusahaan mengutamakan perusahaan-perusahaan padat karya seperti tekstil, elektronik, otomotif, manufaktur dan logistik sebab sektor-sektor itu cukup besar kontribusinya terhadap perekonomian nasional.
Di samping itu, vaksin mandiri oleh perusahaan juga dapat mempercepat tercapainya target kekebalan masyarakat (herd immunity) setidaknya mencapai 70 persen dari total penduduk Indonesia.
Kendati demikian, Rusli mengatakan bahwa program vaksinasi mandiri oleh perusahaan tidak boleh dibebankan kepada karyawan, melainkan ditanggung oleh masing-masing perusahaan. Karena itu ia menyarankan agar pemerintah memberikan insentif fiskal bagi perusahaan-perusahaan yang melaksanakan vaksin mandiri.
Insentif itu sebagai kompensasi pemerintah kepada perusahaan yang melaksanakan vaksin mandiri karena pada dasarnya vaksin harus dapat diakses secara cuma-cuma atau gratis oleh masyarakat.
Baca juga: Menkes: Vaksin mandiri untuk percepat program vaksinasi
Baca juga: Komisi IX DPR: masih banyak warga enggan divaksin COVID-19
Masih mengkaji
Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pemerintah masih mengkaji mekanisme pelaksanaan vaksinasi COVID-19 secara mandiri dalam upaya mempercepat pencapaian kekebalan komunitas.
Presiden juga mengaku mendapat banyak pertanyaan dari sejumlah pengusaha yang menginginkan program vaksinasi mandiri itu sehingga perlu ada kajian secara matang.
Menurut Kepala Negara, Indonesia perlu mempercepat pelaksanaan vaksinasi dengan jangkauan sebanyak-banyaknya, termasuk dengan biaya yang ditanggung oleh perusahaan.
Mungkin bisa diberikan izin vaksinasi mandiri, asal merek vaksinnya berbeda dan tempat vaksinasinya juga berbeda, kata Presiden yang menisyaratkan "lampu hijau" untuk vaksinasi mandiri.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang juga Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KCP-PEN) mengaku, pemerintah sedang menyiapkan regulasi terkait vaksinasi COVID-19 secara mandiri, yang dapat dilakukan industri atau perusahaan kepada karyawannya.
Dalam regulasi tersebut pemerintah akan menetapkan sektor-sektor industri tertentu untuk vaksinasi mandiri, termasuk juga hal-hal teknis lainnya seperti sumber vaksin. Perusahaan memberikan Vaksin kepada karyawannya juga secara gratis. Airlangga mengatakan sumber vaksin untuk program mandiri akan berbeda dengan program vaksinasi gratis sebelumnya.
Sementara Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui ada kemungkinan vaksinasi COVID-19 mandiri bisa dilakukan oleh korporasi, dengan syarat untuk semua karyawannya bukan hanya untuk direksi dan jajaran atas perusahaan saja.
Namun Menkes mengakui hal itu belum final karena masih didiskusikan. “Kami terbuka untuk diskusi karena objektif kami adalah vaksinasi sebanyak-banyaknya, secepat-cepatnya, dan semurah-murahnya," katanya.
Ia mengatakan sudah berbicara dengan beberapa menteri lain tentang kemungkinan vaksinasi secara mandiri di luar vaksinasi yang diprogramkan pemerintah.
Menurut Menkes yang harus diperhatikan dari vaksinasi mandiri tersebut adalah jangan sampai muncul narasi di masyarakat bahwa yang memiliki uang dan bisa membeli mendapatkan vaksinasi lebih cepat. "Vaksinasi mandiri nanti saja setelah vaksinasi wajib untuk tenaga kesehatan dan pekerja publik sudah diberikan. Jangan langsung di depan," katanya.
Menurut dia, pengadaan vaksin untuk vaksinasi mandiri juga harus dilakukan di luar pemerintah. Itu berarti pihak swasta yang mengadakan sendiri melalui produsen vaksin. "Yang penting vaksinnya ada di WHO, disetujui oleh BPOM, dan datanya harus satu dengan data pemerintah. Jangan sampai berantakan," katanya.
Program vaksinasi COVID-19 secara mandiri atau gotong royong memang dapat ikut mempercepat pelaksanaan vaksinasi di Tanah Air kekebalan komunitas yang penting untuk mengatasi pandemi juga tercapai. Namun penyusunan regulasinya harus hati-hati, teliti dan cermat sehingga tidak terjadi hal-hal buruk dalam pelaksanaannya.
Baca juga: Freeport tunggu persetujuan Kemenkes lakukan vaksinasi mandiri
Baca juga: Kadin data perusahaan yang akan ikut program vaksinasi mandiri