Jakarta (ANTARA) - Wakil Presiden Ma'ruf Amin menegaskan bahwa stunting adalah kondisi yang menjadi sumber malapetaka, sehingga harus terus dicegah dan diatasi.
Wapres menyampaikan hal tersebut saat memberikan sambutan dalam "Halakah Nasional Pelibatan Penyuluh Agama, Dai dan Daiyah untuk Mendukung Percepatan Penurunan Stunting" yang dihadiri Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo serta para dai dan daiyah.
Pada 5 Agustus 2021, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting yang berisikan strategi nasional percepatan penurunan stunting. Angka prevalensi stunting di Indonesia pada 2021 sebesar 24,4 persen atau menurun 6,4 persen dari angka 30,8 persen pada 2018.
Wapres meminta agar stunting dan pencegahannya dapat menjadi salah satu materi ceramah para dai dan daiyah.
"Pertama, ajakan hidup bersih dan sehat. Stunting harus bersih, ketidakbersihan menimbulkan stunting. Jagalah kebersihan rumah dan lingkungan, termasuk stop buang air besar sembarangan, kotor itu tidak Islami sebenarnya, harus diedukasi dan dibiasakan agar hidup bersih," kata Wapres.
Kedua, ajakan makan makanan bergizi, terutama bagi ibu hamil, ibu menyusui, dan bayi berusia dua tahun.
"Asupan gizi yang baik menjadi kunci pertumbuhan dan perkembangan agar anak terhindar dari stunting. Makanan yang baik adalah yang bergizi, sehat, membawa manfaat, bukan hanya enak, tapi juga sehat dan tidak membahayakan," ujarnya.
Ketiga, Wapres berpesan agar orang tua memberikan pengasuhan yang baik kepada anak-anaknya. "Ayah dan ibu harus mengasuh anak dengan penuh tanggung jawab lahir dan batin, dunia dan akhirat. Pengasuhan di keluarga merupakan salah satu faktor pembentuk karakter dan kualitas manusia Indonesia ke depan," tambah Wapres.
Keempat, pentingnya pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, makanan pendamping ASI setelah 6 bulan, serta konsumsi tablet tambah darah (TTD) bagi remaja putri, calon pengantin, dan ibu hamil.
"Untuk pemberian ASI misalnya, dalam Q.S. Al-Baqarah: 233 disebutkan bukan hanya 6 bulan, tetapi bisa 24 bulan jika dikehendaki," kata Wapres.
Kelima, perkawinan harus dilakukan oleh pasangan berusia matang, baik fisik, psikologis, spiritual, maupun ekonomi, yaitu setidaknya pada usia 19 tahun sebagaimana ketentuan Undang-undang.
"Ini bukan soal boleh atau tidak boleh, tapi ini untuk kemaslahatan. Kalau dari agama boleh saja, sebelum 19 tahun itu boleh dinikahkan. Permasalahannya maslahat atau tidak? Jadi, pertimbangannya untuk menunda sampai kepada situasi itu, itu mengambil yang paling maslahat. Walaupun boleh, tapi tidak maslahat, lebih baik tidak dilakukan," papar Wapres.
Terakhir, Wapres meminta agar para penyuluh agama, dai dan daiyah mengajak masyarakat dengan cara-cara yang bijak (bilhikmah), dengan enak, dengan hikmat dengan ucapan yg bagus, ucapan mulia, ucapan santun, bermuatan edukatif (al-mau’idhatul hasanah), dan dengan keteladanan yang baik (al-uswatul hasanah) dengan pendekatan keagamaan yang bisa dipahami.
"Saya ingat dulu BKKBN itu untuk mendorong (program) Keluarga Berencana, ulama juga diadakan halakah berantai dari satu pondok ke pondok pesantren lain, diskusi tentang bagaimana akhirnya menghasilkan keluarga maslahat dan berhasil, jadi peran dai dan daiyah ini kalau diefektifkan, tidak asal-asalan, bisa memberikan efek besar seperti dulu menyukseskan Keluarga Berencana," jelas Wapres.
Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan tujuh provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi, yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT) 37,8 persen, Sulawesi Barat 33,8 persen, Aceh 33,2 persen, Nusa Tenggara Barat (NTB) 31,4 persen, Sulawesi Tenggara 30,2 persen, Kalimantan Selatan 30,0 persen, dan Kalimantan Barat 29,8 persen.
Sementara, terdapat lima provinsi dengan jumlah balita stunting terbesar, yaitu Jawa Barat sebanyak 971.792, Jawa Tengah 651.708, Jawa Timur 508.618, Sumatera Utara 347.437, dan Banten 268.158.