Jakarta (ANTARA) - Hadirnya Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional, tentu saja sangat menarik untuk dijadikan bahan diskusi. Setidaknya, ada beberapa hal yang patut diungkap.
Mengapa bangsa ini harus menunggu sampai 9 tahun untuk melahirkan lembaga pangan tingkat nasional? Semua paham pangan harus menjadi prioritas utama sebagaimana pesan Proklamator Bangsa Bung Karno sekitar 70 tahun lalu yang menyatakan pangan merupakan mati hidupnya suatu bangsa.
Pasti akan ada alasan logis yang patut disampaikan kepada publik. Padahal, bila para penentu kebijakan di bidang pangan ini memandang penting kehadiran lembaga pangan tingkat nasional dalam melakoni kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, idealnya tidak lebih dari 2 tahun sejak UU Pangan diterbitkan, lembaga pangan ini sudah terbentuk.
Kedua, Badan Pangan Nasional memiliki 11 fungsi yang harus diwujudkan dalam membangun tata kelola pangan yang berkualitas di negeri ini, baik dari sisi kebijakan atau pun tataran operasional. Ke-11 fungsi tersebut adalah koordinasi, perumusan dan penetapan kebijakan ketersediaan pangan, stabilisasi pasokan dan harga pangan, kerawanan pangan dan gizi, penganekaragaman konsumsi pangan, dan keamanan pangan.
Kemudian koordinasi pelaksanaan kebijakan ketersediaan pangan, stabilisasi pasokan dan harga pangan, kerawanan pangan dan gizi, penganekaragaman konsumsi pangan, dan keamanan pangan.
Lalu pelaksanaan pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran cadangan pangan pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara di bidang pangan;
pelaksanaan pengendalian kerawanan pangan dan pengawasan pemenuhan persyaratan gizi pangan; dan pelaksanaan pengembangan dan pemantapan penganekaragaman dan pola konsumsi pangan, serta pengawasan penerapan standar keamanan pangan yang beredar.
Berikutnya pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan di bidang pangan;
pengembangan sistem informasi pangan; dan koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Badan Pangan Nasional.
Fungsi lain adalah pengelolaan barang milik negara yang menjadi tanggung jawab Badan Pangan Nasional; pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Badan Pangan Nasional; dan pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Badan Pangan Nasional.
Peran Strategis
Mencermati Pasal 3 Bab I mengenai Tugas, Kedudukan dan Fungsi Perpres 66/2021 tersebut, jelas Badan Pangan Nasional diberi tugas yang cukup berat dan strategis.
Kehadiran Badan Pangan Nasional dalam panggung pembangunan, bukan hanya menambah hiruk pikuk kelembagaan pemerintah yang telah ada, tapi juga harus mampu melahirkan berbagai terobosan cerdas dalam pembangunan pangan itu sendiri.
Catatan kritisnya adalah apakah Badan Pangan Nasional bakal mampu menjadi solusi atas segudang persoalan pangan yang harus diselesaikan hingga tuntas?
Ingat, Badan Pangan Nasional berbeda dengan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian. Badan Pangan Nasional harus mampu menjawab tuntutan swasembada, ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan.
Itu sebabnya, Badan Pangan Nasional memiliki kehormatan dan tanggung jawab untuk mewujudkan Sistem Pangan Nasional dan tidak hanya membuat Sistem Ketahanan Pangan semata.
Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, memang ditugaskan Perpres 66/2021 untuk "menggodok" kelahiran Badan Pangan Nasional. Namun perlu dicamkan, Badan Pangan Nasional bukanlah jelmaan dari Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian.
Ketiga, UU Nomor 18 Tahun 2012 disusun oleh Komisi IV DPR RI. Artinya inisiasi membentuk lembaga pangan tingkat nasional memiliki semangat untuk menguatkan aspek produksi guna semakin mengokohkan ketersediaan pangan nasional.
Sikap pimpinan DPR yang menetapkan Badan Pangan Nasional sebagai Mitra Kerja Komisi IV, sudah cukup tepat.
Sebab, kalau semua telaah kementerian/lembaga mana saja yang selama ini menjadi mitra kerja Komisi IV DPR RI, semuanya terkait dengan urusan pangan.
Ada Kementerian Pertanian, ada Kementerian Kelautan dan Perikanan, ada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ada Perum Bulog. Semua kementerian/lembaga ini akan bermuara kepada pengertian pangan.
Jadi, sangat pas bila Badan Pangan Nasional menjadi mitra kerjanya Komisi IV. UU Nomor 18/2012 tentang Pangan pun menegaskan, yang dimaksud dengan pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah.
Yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Hal ini berbeda makna dengan arti ketahanan pangan. Pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau.
Serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Keempat, bagi bangsa ini yang seluruh masyarakatnya sangat bergantung kepada pangan dalam menyambung nyawa kehidupannya, soal pangan harus diurus secara serius, melalui kelembagaan pangan tingkat nasional yang mampu mengelola pangan secara utuh, holistik dan komprehensif.
Itu sebabnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 terkait urusan dan kewenangan, pangan telah ditetapkan sebagai urusan wajib yang tidak berhubungan dengan pelayanan dasar.
Tegas disebutkan, pangan bukan urusan pilihan, tapi wajib. Tingginya perhatian terhadap pangan dari sisi regulasi, menuntut kepada para pengambil kebijakan agar tidak main-main dalam mengelola urusan pangan.
Pesan Perpres 66/2021 secara tidak langsung meminta agar Badan Pangan Nasional mampu menjadi "prime mover" dalam tata kelola pangan sekaligus juga mampu tampil sebagai simpul koordinasi pembangunan pangan antarkementerian/lembaga di negeri ini, terlebih khusus antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
Komisi IV DPR yang ditetapkan sebagai mitra kerja Badan Pangan Nasional, tentu saja semakin memiliki kesempatan untuk mengkritisi kebijakan pangan yang digarap pemerintah.
Kemauan politik untuk mewujudkan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan, akan lebih terpola dan terukur.
Lewat 3 kementerian dan 2 lembaga yang menjadi mitra kerja Komisi IV, mestinya penanganan aspek hulu dari pengelolaan pangan akan lebih nyata lagi, terutama dalam sisi regulasi, penganggaran, dan pengawasan.
Pembangunan pangan di negara agraris, seharusnya tetap dijadikan skala prioritas dalam strategi pembangunan yang dipilih. Keandalan pengelolaan pangan tidak cukup hanya tertulis dalam segudang regulasi, namun yang lebih utama adalah bagaimana regulasi yang ada dapat terterapkan dalam pelaksanaan di lapangan.
Komisi IV DPR pasti memiliki kesempatan untuk mencermati mana yang menjadi titik kuat dan titik lemah tata kelola pangan itu sendiri. Semoga pembangunan pangan akan lebih baik dan berkualitas.
*) Entang Sastraatmadja adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.