New York (ANTARA) - Harga minyak naik untuk sesi ketiga berturut-turut pada akhir perdagangan Kamis (Jumat pagi WIB), karena optimisme atas rekor ekspor minyak mentah AS dan tanda-tanda bahwa kekhawatiran resesi mereda melebihi kekhawatiran atas lesunya permintaan di China.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember terangkat 1,17 dolar AS atau 1,3 persen, menjadi menetap di 89,08 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Desember bertambah 1,27 dolar atau 1,3 persen, menjadi ditutup di 96,96 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.
Harga sebagian didukung oleh data makroekonomi AS yang lebih kuat dari perkiraan.
Departemen Perdagangan AS melaporkan pada Kamis (27/10/2022) bahwa produk domestik bruto (PDB) AS tumbuh pada tingkat tahunan sebesar 2,6 persen pada kuartal ketiga, setelah dua kuartal berturut-turut mengalami kontraksi. Ekonom yang disurvei oleh The Wall Street Journal memperkirakan kenaikan 2,3 persen dalam PDB kuartal ketiga.
Dolar AS yang relatif lebih lemah juga memberikan dukungan untuk minyak. Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama lainnya, naik 0,81 persen menjadi 110,5870 pada akhir perdagangan Kamis (27/10/2022), tetapi masih turun sekitar 1,3 persen untuk minggu ini.
Data menunjukkan rekor ekspor minyak mentah AS, tanda harapan untuk permintaan serta spekulasi bahwa bank sentral dapat mendekati akhir siklus kenaikan suku bunga menambah dukungan, setelah Bank Sentral Eropa menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin.
"Harga minyak mentah reli setelah ekonomi AS bangkit kembali pada kuartal terakhir," kata Edward Moya, analis pasar senior di OANDA seperti dikutip oleh Reuters, mengacu pada laporan PDB yang lebih kuat pada kuartal terakhir, meskipun ia menambahkan kenaikan minyak dibatasi oleh pandangan bahwa perlambatan ekonomi tetap ada.
Namun demikian, kekhawatiran tentang permintaan China membatasi reli. Investor global melepas aset-aset China awal pekan ini karena ekonomi konsumen energi terbesar dunia itu dilanda kebijakan nol-COVID, krisis properti, dan turunnya kepercayaan pasar.