Jakarta (ANTARA) - Di tengah ruangan 2x6 meter itu, seorang anak lelaki duduk di kursi biru menghadap kaca tak tembus pandang di depannya. Di antara ia dan kaca tak tembus pandang tersebut, dua wanita dewasa tampak serius berbicara dengan anak itu. Mereka bertiga duduk melingkari sebuah meja pendek khusus untuk anak-anak dengan tinggi sekitar 80 sentimeter.
Dari pembicaraan mereka, tampak anak tersebut sedang diajari pelajaran dasar matematika tentang kalkulasi waktu, mulai dari detik, menit, hingga jam. Seorang wanita di kanan depan anak itu bertanya mengenai soal-soal perkalian kepada anak itu, seperti 1 jam sama dengan berapa menit dan sebagainya. Anak itu pun berpikir sejenak dan kemudian menjawab pertanyaan dari perempuan itu.
Ketika anak itu mengetahui jawabannya benar, diangkatnya kedua tangan yang tampak sebagai sebagai ekspresi gembira. Pelajaran pun terus berlanjut. Anak itu terlihat begitu asyik dengan angka dan tanda-tanda matematis di atas kertas coretannya.
Tepat di pintu yang sudah terbuka 10 detik lalu, dua pria berdiri mengamati interaksi antara ketiga manusia di sekeliling meja mungil itu. Ketika sebelumnya pintu dibukakan dari luar, anak itu tampak tetap asyik dengan hitung-hitungannya.
Seorang pria di pintu lalu mengucap ‘halo’ kepada anak itu tapi anak itu tidak merespons. Kemudian seorang pria lain di pintu buka suara dan bertanya kepada anak itu, "Mengapa ia tidak menjawab sapaan ‘halo’ yang baru saja ia dengar?"
Beberapa detik kemudian, mengetahui ada orang lain yang sedang berdiri dalam ruangan, anak itu memalingkan badannya ke belakang, menatap dengan penuh senyum sambil sekali-kali melihat coretan matematika yang sedang dikerjakannya. Susah ditebak apa yang ingin dikatakannya saat itu.
Anak itu lalu berkata ‘halo’ dengan nada bicara yang begitu ceria. Segera ia kembali pada keasyikannya belajar matematika. Dua perempuan di depannya juga terlihat telaten mengajari anak itu.
Di ruangan lain yang lebih luas, seorang anak perempuan bermain ditemani oleh seorang wanita dewasa. Ruangan itu penuh dengan sarana bermain anak, seperti jejaring dari tali yang sepertinya digunakan untuk bergelantungan. Kemudian ada seluncuran, terowongan kecil, bola karet, dan benda-benda untuk anak bermain lainnya.
Anak itu berlarian ke sana dan ke mari dengan begitu ceria. Ke mana anak itu berlarian dan bermain, wanita dewasa itu mengikuti sambil membimbingnya. Percakapan kecil terjadi di antara mereka.
Wanita dewasa itu menunjukkan cara memainkan sebuah peralatan, dan anak perempuan itu hanya tertawa dan terus bermain dengan caranya sendiri. Decak tawa gembira anak itu memenuhi seisi ruangan seraya ia bermain.
Masih ada beberapa ruangan lain di tempat tersebut yang seyogyanya untuk anak-anak yang memiliki kondisi khusus, dalam hal ini anak penyandang gangguan spektrum autisme.
Singkat cerita, tempat anak-anak belajar dan bermain tersebut adalah Pusat Terapi dan Sekolah Khusus Autisme SmartKid yang terletak di Tanjung Duren, Grogol Petamburan, Jakarta Barat.
Adapun autisme adalah gangguan perilaku dan interaksi sosial akibat kelainan perkembangan saraf otak. Kondisi tersebut menyebabkan penyandangnya sulit berkomunikasi, berhubungan sosial, dan belajar.
Klinik tersebut menyediakan jasa layanan yang membantu anak-anak penyandang autisme berkembang dengan berbagai macam jenis terapi yang disediakan, mulai dari terapi musik, terapi wicara, terapi okupasi, serta jenis terapi lainnya.
Agus, terapis wicara di klinik anak autisme tersebut, menyatakan bahwa setiap bulan klinik tempatnya bekerja bisa menerima hingga 36 anak autis untuk dibina dan diajarkan beberapa keterampilan tertentu.
Adapun anak-anak yang dititipkan orang tuanya di klinik tersebut berusia mulai dari 1 sampai 12 tahun. Dari-dari anak-anak tersebut, anak usia di bawah 7 tahun adalah yang paling banyak.
Agus menunjukkan ruangannya bekerja memberikan terapi dan pelajaran bagi anak-anak autis, khususnya yang memiliki masalah dalam berbicara. Dalam ruangan tersebut terdapat sejumlah alat praktik, seperti huruf-huruf, dan sarana baca lainnya.
Selain itu, terdapat juga sebuah cermin besar yang digunakan agar anak-anak yang ia bina dapat melihat mimik muka sendiri saat sedang melafalkan sebuah kata atau huruf. Anak autis yang berlatih bicara sambil melihat mimik muka dan gestur bibir dapat mempercepat kemajuan pelatihannya.
Sebagai seorang terapis wicara, Agus menyampaikan pandangannya mengenai gejala autisme yang dapat dilihat pada seorang anak usia 1 tahun. Anak usia 1 tahun, ketika dipanggil orang tua, misalnya, maka anak itu seharusnya sudah bisa menoleh ke kanan atau ke kiri untuk merespons panggilan tersebut.
Kemudian, ketika umur 2 tahun, anak itu seharusnya sudah bisa memanggil ayah atau ibunya, atau meminta makan dengan cara atau kata-kata tertentu. Intinya pada usia 2 tahun, anak sudah bisa menunjukkan aksi bahwa ia butuh makan atau minum atau kebutuhan lainnya.
Kebanyakan orang tua, ketika anak belum bisa menunjukkan perkembangan-perkembangan itu pada usia tersebut, misalnya, mulai berkata-kata pada usia 2 tahun, akan dianggap biasa saja.
Agus menyarankan orang tua untuk segera berkonsultasi dengan dokter terkait masalah perkembangan anak tersebut. Konsultasi dengan dokter pada gejala autisme pada usia dini akan sangat membantu perkembangan anak.
Kacamata medis
Psikiater sekaligus Ketua Yayasan Autisme Indonesia, dr. Melly Budhiman menegaskan bahwa autisme bukanlah sebuah penyakit. Dengan demikian, autisme juga bukan untuk disembuhkan karena memang bukan penyakit. Autisme, menurut dia, adalah gangguan perkembangan fungsi otak.
Menurut Melly, tidak ada ciri fisik bayi atau anak di bawah 3 tahun yang menunjukkan bayi tersebut menyandang autisme. Mereka lahir normal, cantik, dan ganteng sebagaimana bayi-bayi pada umumnya.
Ia menyebut tiga indikator utama pemeriksaan atau pengamatan yang harus dilakukan oleh dokter untuk menyimpulkan bahwa seorang anak menyandang autisme atau tidak.
Tiga indikator pemeriksaan tersebut adalah komunikasi, perilaku, dan interaksi sosial. Ketiga indikator tersebut mesti diperhatikan benar-benar oleh psikiater sebelum memberi justifikasi dan kemudian penanganan.
Bahkan, ia menyarankan orang tua agar pergi ke psikiater lain ketika psikiater yang satu menyebut anak mereka tidak mengalami gangguan perkembangan, hanya dengan menilai secara dangkal satu indikator di atas.
Dengan memperhatikan benar-benar kondisi anak sejak bayi menggunakan tiga indikator tersebut, gejala autisme seharusnya dapat dideteksi lebih dini.
Meskipun demikian, banyak juga bayi yang bertumbuh normal hingga usia 1,5 sampai dengan 2 tahun, dan kemudian perkembangannya mundur. Orang tua harus waspada ketika pada usia 2 tahun, anak mereka belum juga bisa mengeluarkan kata-kata yang berarti.
Melly berkata bahwa dokter yang mengerti soal anak autisme akan menilai cara anak berkomunikasi. Dalam hal ini, jika anak bersangkutan belum bisa berbicara, dokter tersebut akan melihat komunikasi nonverbal yang digunakan anak tersebut.
Komunikasi nonverbal yang dimaksud adalah komunikasi gerak-gerak tertentu, atau mimik muka yang tajam, misalnya. Jika anak tersebut tidak dapat berkomunikasi secara verbal ataupun nonverbal, maka orang tuanya harus waspada.
Indikator berikutnya adalah perilaku anak. Anak autis biasanya tidak peduli dengan lingkungan sekitar dan tidak bisa diatur. Selain itu, kadang juga membuat gerakan-gerakan aneh, lompat-lompat, teriak-teriak, hingga lari ke sana ke mari.
Kemudian anak autis juga biasanya membuat gerakan berulang, seperti mengepak-ngepakkan tangan seperti seolah-olah terbang. Dengan kondisi anak yang demikian, orang tua mesti lebih waspada lagi.
Indikator yang ketiga adalah interaksi sosial anak. Anak autis kelihatan tidak mau bergaul dengan siapa pun. Ketika diajak berbicara, anak autis akan melihat ke lain tempat, seolah tidak ada yang mengajaknya berbicara.
Selain itu, ketika dipanggil, anak autis tidak menengok ke arah panggilan, dan ketika didekati dia akan cengar-cengir tidak mau didekati. Singkatnya, anak autis seperti tidak membutuhkan sosialisasi dan tidak butuh teman bermain.
Anak autis memiliki interaksi sosial yang terlambat. Pada dasarnya, manusia adalah mahkluk sosial. Atas dasar itu, anak berusia 6 atau 7 bulan biasanya senang diajak bergurau atau bercanda, dalam hal ini bersosialisasi. Namun anak autis itu kebalikannya, yakni senang menyendiri.
Dengan tiga gejala tersebut, yakni masalah pada komunikasi, perilaku, dan interaksi sosial, seorang anak pada umumnya dikatakan mengalami gangguan perkembangan yang disebut gangguan spektrum autisme.
Indikator lainnya selain ketiga indikator utama tersebut adalah emosi yang tidak menentu dan tidak terkendali. Jika kemauannya tidak dikabulkan, anak autis biasanya berguling-guling, bahkan respons ekstremnya membentur-benturkan kepalanya ke lantai atau tembok.
Kadang, anak autis juga mencakar, menggigit, menjambak, dan menyakiti dirinya sendiri. Demikian cara dia menyampaikan emosinya.
Lebih jauh, ada juga ciri tambahan sensoris pada anak autis. Salah satu dari indra anak autis bisa lebih tajam daripada orang kebanyakan, entah itu indra pendengaran, penglihatan, peraba, penciuman, atau pengecap.
Misalnya, anak autis akan kesakitan jika mendengar suara yang lumayan keras dan kemudian menutup telinganya. Itu karena indra pendengarannya terlalu tajam. Atau dapat juga ia tidak tahan cahaya, tidak dapat bersinggungan langsung dengan pasir, dan sebagainya.
Semua hal tersebut, menurut Melly, pada dasarnya adalah keterlambatan perkembangan fungsi otak. Dalam hal ini, pusat berbicara manusia adalah otak, demikian juga pusat perilaku dan interaksi sosial. Oleh karena itu, penyelesaian masalah autisme pada anak adalah penyelesaian masalah di bagian otak.
Perlakuan yang tepat pada anak autisme mesti didahului oleh pendeteksian titik masalah pada otak anak dengan metode biomedis. Dengan metode tersebut, titik masalah pada otak anak yang menyebabkannya autis dapat ditemukan, sehingga kemudian dapat dicarikan solusinya.
Biasanya melalui metode pemeriksaan biomedis, ditemukan pembengkakan atau inflamasi pada bagian-bagian tertentu otak anak. Pada umumnya pembengkakan tersebut diakibatkan oleh faktor keturunan atau alergi otak terhadap kandungan zat makanan tertentu.
Setelah menemukan masalah pada otak anak, berbagai macam solusi kemudian dapat dilakukan. Salah satunya adalah melalui terapi fungsional dengan contoh praktiknya seperti disajikan pada awal tulisan ini.
Terapi tersebut bertujuan untuk mengajarkan anak autis berperilaku baik, mengajarkan dia berbicara, melatih kepekaan sensoriknya, melatih anak menjaga keseimbangan tubuhnya, melatih otot-otot halus anak, melatihnya segala hal yang menjadikan perilaku anak normal kembali.
Melihat lebih jauh
Salah satu penyebab autis yang paling berbahaya adalah keracunan logam berat, seperti timbal, merkuri, aluminium atau arsenik. Ini faktor yang tidak dapat diselesaikan oleh terapi saja. Dewasa ini, kandungan zat-zat tersebut sudah banyak ditemukan pada berbagai macam makanan dan produk yang digunakan oleh manusia.
Lebih parahnya lagi, polusi udara juga ternyata dapat membawa zat-zat tersebut kepada tubuh manusia, khususnya timbal. Jika anak memiliki sistem detoks yang mumpuni, zat asing nan berbahaya tersebut dapat ditangkal, namun jika lemah maka tubuh anak berpotensi dimasuki zat-zat tersebut.
Makin tinggi kandungan zat berbahaya tersebut pada tubuh anak, maka kian besar kemungkinan IQ anak tersebut menurun. Hal tersebut juga didukung oleh sifat zat-zat tersebut yang menumpuk dan tersebar ke seluruh bagian tubuh, seperti kuku, rambut, dan sebagainya.
Selain polusi, ikan laut juga berpotensi membawa zat-zat berbahaya. Hal tersebut imbas tercemarinya laut oleh limbah industri. Zat paling berbahaya di laut adalah merkuri. Merkuri adalah zat perusak otak nomor satu di dunia yang secara tidak sadar dikonsumsi oleh manusia termasuk anak.
Oleh karena itu, menyelesaikan masalah anak autis bukanlah perkara sederhana, apalagi mengandalkan terapi saja. Butuh kinerja multidimensional untuk mendukung penyelesaian masalah tersebut. Orang tua dalam hal ini butuh penjagaan ketat terhadap anaknya, terutama dari polusi udara dan makanan-makanan yang berpotensi dicemari.
Selain itu, menjaga lingkungan tetap bersih tentunya tidak hanya untuk mencegah jumlah anak autis bertambah, tetapi untuk kebaikan bersama, untuk generasi masa depan yang sehat dan terbebas dari zat-zat berbahaya. Tidak ada yang tidak terancam oleh keberadaan zat berbahaya di laut, di udara, dan di tanah Bumi ini.
Semua manusia, entah yang hidup sekarang atau pada masa depan, terancam sehingga menjaga lingkungan tetap sehat menjadi tanggung jawab setiap insan.
Melalui penjelasan dari praktisi yang paham akan bidangnya tersebut, dapat disimpulkan bahwa setiap insan berkontribusi akan banyak hal dengan menjaga kesehatan lingkungan.
Dengan menjaga lingkungan tetap sehat, setiap insan berkontribusi mencegah anak-anak baru lahir atau masih dalam kandungan terkontaminasi oleh zat-zat berbahaya tersebut.
Mencegah anak-anak mengidap autis berarti kita berkontribusi bagi masa depan bangsa.